Masyarakat Pining Siap Denda Para Perusak Hutan Leuser

 

 

Pada akhir 2016 lalu, masyarakat Kemukiman Pining, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh mendeklarasikan penolakan apapun jenis pertambangan di dalam hutan Leuser. Mereka berjanji akan menolak tambang hingga hari kiamat.

Kini, penolakan pengrusakan hutan Leuser dari daerah tersebut kembali digaungkan. Atas kesepakatan bersama, masyarakat Pining akan mendenda Rp10 juta untuk setiap orang bagi yang merusak hutan.

Kesepakatan tersebut ditandatangani sembilan penghulu atau Kepala Desa di Kecamatan Pinin. Wilayah itu adalah Kampung Ekan, Kampung Uring, Kampung Gajah, Kampung Lesten, Kampung Pertik, Kampung Pining, Kampung Pepelah, Kampung Pintu Rime, serta Kampung Pasir Putih.

Masyarakat adat di Kemukiman Pining menilai, hutan Leuser adalah warisan yang harus dijaga dan dilestarikan untuk generasi selanjutnya. Jika hutan rusak, masyarakat akan menderita, karena bencana alam maupun lahan pertanian masyarakat yang terganggu.

“Kami akan melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan hutan Leuser dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” sebut Abu Kari, tokoh adat Pining, saat penandatanganan kesepakatan bersama itu, pada 27 April 2017.

 

Baca: Sampai Kapan Pun, Masyarakat Pining Tetap Tolak Tambang

 

Dihadapan Sembilan Kepala Desa, perangkat Kecamatan dan perwakilan Pemerintah Kabupaten Gayo Lues, Abu Kari mengatakan, nenek moyang masyarakat Pining dan Aceh keseluruhan telah menjaga hutan Leuser. Bahkan, mempertahankannya dari penjajah Belanda.

“Hutan ini adalah sumber air bagi sebagian besar masyarakat Aceh khususnya yang tinggal di Kabupaten Gayo Lues, Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Tamiang, dan Kota Langsa. Kalau hutan Leuser di Pining rusak, yang akan menerima dampaknya juga saudara-saudara kami juga.”

Abu Kari mengatakan, kesepakatan adat yang telah dibuat di Pining adalah, pengrusak hutan dan penangkap ikan yang melakukan kerusakan akan didenda Rp10 juta per orang. Uang denda adat tersebut akan dipakai untuk kegiatan adat yang berhubungan dengan penyelamatan hutan.

“Sementara pemburu satwa, akan kami serahkan ke aparat kepolisian untuk diproses sesuai hukum yang berlaku.”

Sekretaris Yayasan HaKA Badrul Irfan mengatakan, peraturan yang dikeluarkan masyarakat Pining, Gayo Lues ini, merupakan peraturan bersama untuk menjaga kelestarian kawasan hutan, sungai, serta sumber daya alam lainnya.

“Dalam aturan itu, ada sanksi bagi perusak lingkungan seperti peracun ikan, pengeboman, penyetruman, dan lainnya. Dendanya minimal Rp1 juta dan maksimal Rp10 juta per orang.”

Selain sanksi, sebut dia, peraturan tersebut juga mengatur kearifan lokal masyarakat Pining. Seperti padang penggembalaan atau bahasa setempat disebut Blang Peruweren. Kemudian, ada kawasan hutan kampung atau Bur Pruteman, kawasan sumber air masyarakat atau Aih Aunen. Kawasan-kawasan tersebut diperuntukkan sesuai kebutuhan masyarakat.

Badrul Irfan mengatakan, peraturan tersebut membuktikan begitu kuatnya komitmen masyarakat Pining menjaga kelestarian hutan, sungai, serta sumber daya alam lainnya. “Ini patut ditiru oleh masyarakat lain di Provinsi Aceh guna memastikan kelestarian hutan dan sumber daya alam di sekitar mereka. Kami yakin aturan yang dibuat ini juga akan diawasi oleh masyarakat setempat secara ketat.”

 

Sumber air yang berada di Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, merupakan potensi alam sekaligus sumber energi air yang harus dijaga dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Jangan dirusak. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Apresiasi

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh, Saminuddin mengatakan, kesepakatan masyarakat yang mendenda perusak hutan dan sungai merupakan hal baru. Ini sangat positif karena masyarakat ikut menjaga kelestarian alam.

“Kesepakatan masyarakat untuk mendenda perusak lingkungan merupakan langkah baik. Patut diapresiasi karena masyarakat telah mempunyai kesadaran dan kepedulian untuk melindungi hutan dari perusak.”

Saminuddin menambahkan, kesadaran itu tumbuh karena masyarakat merasakan langsung akibat dari kerusakan hutan. Misalnya, terganggunya air sungai yang selalu mereka butuhkan. Biasanya, pelaku adalah pendatang atau dilakukan oleh segelintir orang.

“Kami berharap peran serta masyarakat untuk menjaga hutan dari perusak akan mengurangi tekanan terhadap hutan. Tentu saja masyarakat lainnya bisa membuat kesepakatan seperti ini, untuk melindungi hutan dari segela kerusakan,” ungkap Saminuddin, awal pekan ini.

Selain sebagai sumber air masyarakat, hutan di Provinsi Aceh khususnya Kawasan Ekosistem Leuser merupakan habitat satwa dilindungi seperti badak, gajah, harimau dan orangutan sumatera. Perambahan hutan untuk perkebunan, pertambangan dan peruntukan lainnnya telah menyebabkan habitat satwa kunci itu terganggu.

“Populasi gajah sumatera ada di hutan Aceh, jika habitatnya terganggu jumlahnya akan  berkurang. Konflik dengan manusia juga akan sering terjadi,” sebut Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo.

Sapto memastikan, hutan alami sangat penting untuk bagi kehidupan berbagai satwa. Bila habitat tidak dijaga, konflik satwa liar juga tidak akan pernah selesai di Aceh. “Habitat gajah sumatera itu, lebih 80 persen berada di luar kawasan hutan. Kita harus bersama menjaganya.”

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,