Menguak Lapisan Persoalan Perizinan Batubara di Sumsel (Bagian-1)

Menurut sejarahnya, penambangan batubara di Sumatera Selatan sudah mulai dilakukan sejak 1919 oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Tanjungenim. Penambangan ini dilakukan dengan metode penambangan terbuka (open pit) dan penambangan bawah tanah (close pit) hingga tahun 1940.

Pada era kemerdekaan, operasi pertambangan batubara dilanjutkan oleh Perusahaan Negara Tambang Arang Bukit Asam (PN TABA) yang kemudian berubah menjadi PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk atau biasa disingkat PT BA sejak 1968.

Baru kemudian dibawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono eksploitasi batubara dan pemberian izin besar-besaran diberikan. Hal itu tak terlepas dari rencana program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sumatera Selatan pun dicanangkan sebagai daerah lumbung energi. Gubernur Sumsel saat itu, Syahrial Oesman pun lantang mengkampanyekan “Sumsel Lumbung Energi, Sumsel Lumbung Pangan”.

Para kepala daerah maupun para pengusaha, mengetahui jika Sumsel memiliki cadangan batubara sebesar 18,13 miliar ton atau 60% dari cadangan batubara nasional. Mutu cadangan batubara pada umumnya berjenis lignit dengan kandungan kalori antara 4800-5400 Kcal/kg.

Cadangan batubara tersebut baru dikelola PT. Bukit Asam dan PT. Bukit Kendi pada lokasi Kabupaten Muara Enim. Sedangkan cadangan sebanyak 13,07 miliar ton belum dikelola sama sekali. Amat menggiurkan. Jika dieksploitasi, maka sekitar 2,7 juta hektar dari 8,7 juta hektar luas Sumatera Selatan yang akan digunakan.

Pada 2009, atau tahun pertama periode kepresidenan SBY yang kedua, sekitar 1,2 juta hektar lahan diberikan izin penambangan batubara. Selanjutnya, 2010 seluas 928.700 hektar; 2011 seluas 483.881 hektar; dan 2012-2013 seluas 205.000 hektar.

Baca juga: Gurat Hitam Tambang Batubara di Wajah Peradaban Megalitikum

 

Otonomi Daerah, Izin pun Banyak Dikeluarkan

Bermula dari Kabupaten Lahat, sejumlah pemerintah daerah di Sumatera Selatan pun lalu berlomba-lomba mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), seperti Muaraenim, Musi Rawas Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir (OKI), Pali, dan lainnya. Lokasi izin baru pun, dapat dilakukan dengan membatalkan Kuasa Pertambangan (KP) yang pernah dikeluarkan ataupun telah berjalan sebelumnya.

“Saya menduga semangat otonomi daerah dan lumbung energi itu yang membuat adanya dorongan untuk melakukan eksplorasi batubara di Sumsel secara besar-besaran,” kata Rabin Ibnu Zainal, Direktur Pinus (Pilar Nusantara), sebuah lembaga nonpemerintah yang memantau pertambangan batubara di Sumsel kepada Mongabay Indonesia.

Sebagai contoh, Bupati Lahat saat itu, Harunata yang lewat SK No.540/29/Kep/Pertamben/2005 tertanggal 24 Januari 2005, yang berisi pembatalan KP di atas lahan seluas 14.190 hektar yang sebelumnya merupakan area KP PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk. Selanjutnya Bupati Lahat mengeluarkan IUP kepada sejumlah perusahaan swasta untuk beroperasi di Lahat,

Persoalan ini terus berlanjut hingga PT BA Tbk melaporkan mantan Bupati Harunata (2003-2008) ke KPK. Mila Warman sebagai Direktur Utama PT BA didampingi oleh Patrialis Akbar, yang saat itu menjadi Komisaris Utama PT BA, melapor ke KPK atas dugaan potensi kerugian Negara sebesar 2,3 miliar dolar.

Namun hingga kini, kasus ini pun belum ada penyelesainnya.

“Kami tetap memperjuangkannya, meskipun lokasi sudah ditambang oleh sejumlah perusahaan,” ungkap Roy Ubaya, manager Humas PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk lewat telepon, saat dihubungi Mongabay Indonesia (20/04).

 

Kegiatan PT. Bukit Asam. Sumber Foto: Facebook PT. Bukit Asam (Persero) Tbk

 

Persoalan maraknya pemberian IUP yang dikeluarkan Bupati di Sumatera Selatan, menyebabkan batubara pun sertamerta menjadi komoditas yang “booming”. Siang dan malam batubara digali dan dibawa keluar dari Sumatera Selatan. Bukan hanya melalui kereta api, juga ribuan truk dan ratusan tongkang.

Paralel, berbagai persoalan yang dirasakan oleh masyarakat pun muncul. Misalnya soal ganti rugi lahan antara masyarakat dengan perusahaan, serta terganggunya transportasi di jalan umum. Belum lagi tentang dampak lingkungan.

Hampir setiap hari terjadi kemacetan atau kecelakaan, bahkan hingga yang menyebabkan tewasnya para pengguna jalan. Adapun jalan negara yang digunakan Lahat-Kotabumi sejauh 383 kilometer, Lahat-Palembang sejauh 276 kilometer, serta Lahat-Tanjung Api-Api sejauh 286 kilometer. Akhirnya terhitung 1 April 2012, Gubernur Sumsel berikutnya, Alex Noerdin mengeluarkan surat keputusan larangan angkutan batubara melintasi jalan umum.

 

Baca juga: Persoalan Angkutan Batubara di Sungai Musi: Dari Tongkang Tabrak Tiang Jembatan Hingga Sebarkan Debu

 

“Sejak banyaknya penambangan swasta, terutama yang beroperasi di Kabupaten Lahat, berbagai persoalan pun muncul. Mulai dari soal ganti rugi lahan, angkutan batubara, hingga dampak lingkungan,” jelas Sutrisman Dinah, jurnalis senior yang turut mendorong lahirnya organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan (20/4).

“Sebenarnya dari dulu, kalau persoalan dampak lingkungan batubara dari operasi PN TABA atau PT BA sudah ada, tapi di bawah kekuasaan rejim Orde Baru, sulit masyarakat melakukan protes,” lanjutnya.

 

Debu dari aktifitas angkutan batubara selalu menimbulkan polusi debu. Baik debu batubara maupun maupun debu dari jalan yang rusak. Foto Taufik Wijaya

 

IUP dicabut, Gubernur pun Digugat

Maraknya pemberian izin yang dikeluarkan oleh Bupati, tidak luput dari berbagai persoalan. Hal ini pula yang membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melakukan Korsup sejak tahun 2014 yang baru berakhir Maret 2017 lalu.

Dari 359 IUP yang dikeluarkan pemerintah, KPK menilai hanya 175 IUP yang dinilai layak beroperasi karena sekitar 31 perusahaan tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Lalu, dari 241 perusahaan wajib pajak hanya 18 perusahaan yang melaporkan penghitungan pajak.

“Setelah Korsup KPK itu, kami melakukan monitoring proses Clear and Clean (CnC) terhadap 175 perusahaan pertambangan batubara dengan menggunakan Permen No.43 Tahun 2015,” ungkap Rabin. “Hasilnya Pemerintah Sumsel mencabut 34 IUP dan mengakhiri 43 IUP lainnya.”

Menurut Rabin, selanjutnya lewat SK Gubernur di tahun 2016, Pemerintah Provinsi Sumsel pun melakukan tindakan.

Pencabutan 34 IUP tersebut pertama melalui Keputusan Gubernur Sumsel No.622/KPTS/DISPERTAMBEN/2016 tentang pengakhiran izin usaha pertambangan di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU); satu IUP milik PT Buana Mineral Harvest, dua IUP milik PT Gumay Prima Energi, satu IUP milik PT Mitra Bisnis Hervest dan satu IUP milik PT Tomarindo Dwi Mulia.

Di Kabupaten Muaraenim satu IUP milik PT Palembang Power Energi. Di Kabupaten Lahat, satu IUP milik PT Bhakti Abadi Sriwijaya, PT Bukit Bara Alam, dua IUP milik PT Delapan Inti Power, dua IUP milik PT Gerindo Laksana Karya, satu IUP milik PT Kemilau Samudera Berlian, dua IUP milik PT Lematang Bukit Serelo, dan satu IUP milik PT Merapi Energi Nusantara.

Di Kabupaten Musirawas, satu IUP milik PT Bara Gas Indonesia, PT Bintang Delapan Mineral, dua IUP milik PT Duta Inti Tata Nusantara, satu IUP milik PT Dwiprima Usaha Perkasa, PT Energi Bara Indonesia, PT Energi Bara Prima, PT Musi Energi Indonesia, PT Panca Metta (PT Wahana Alam Semesta), PT Putra Djahasa, PT Roomel Energi, PT Stasiunkota Sarana Permai, dan PT Tambang Sejahtera Bersama.

Di Kabupaten Musi Banyuasin satu IUP milik PT Pacific Global Utama. Di Kabupaten Ogan Komering Ilir yakni satu IUP milik PT Karya Inti Energi. Selanjutnya di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur yakni satu IUP milik PT Asta Maharanita, PT Indonesia Multi Energi, PT Jaya Manggala Sakti, PT Muara Enim Power Energi, PT Resources Development Indonesia, dan PT Tiramana.

Di Kabupaten Empat Lawang yakni satu IUP milik PT Bangka Inti Selawang Segantang, PT Bangka Plasma Segantang, serta PT Lumbungnesia. Di Kabupaten Banyuasin, satu IUP milik PT Samu Rimau Persada, PT Samu Musi Persada, dan PT Basindo Karya Utama.

 

Klik pada gambar untuk memperbesar

 

Sedangkan lewat Keputusan Gubernur Sumsel No.723/KPTS/DISPERTAMBEN/2016. Di Kabupaten Lahat, IUP yang dicabut milik PT Andalas Bara Sejahtera, PT Bagus Karya, dan PT Tri Kencana Mulia.

Di Kabupaten Musi Rawas Utara yakni IUP milik PT Gorby Global Energi dan PT Mura Bumi Energi. Di Kabupaten Musi Rawas, IUP milik PT Dutasura Suryatama dan PT Tanjungmas Sentosa Jaya.

Di Kabupaten Banyuasin, IUP milik PT Basindo Keluang Utama dan PT Unitrade Daya Mandiri. Selanjutnya di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan yakni satu IUP milik PT Indomas Mineral Utama, dua IUP milik PT Maduchon Indonesia, serta satu IUP milik PT Bintan Mineral Resource. Di Kabupaten Banyuasin yakni IUP milik PT Pampangan Palm Resources, PT Bumi Andalas Perkasa, dan PT Anugerah Bara Mustika.

Lewat Keputusan Gubernur Sumsel No.724/KPTS/DISPERTAMBEN/2016 yakni di Kabupaten Musi Rawas mencabut IUP milik PT Brayan Bintangtiga Energi dan PT Sriwijaya Bintangtiga Energi, serta di Kabupaten Musi Rawas Utara satu IUP milik PT Brayan Bintangtiga Energi.

Terakhir, lewat Keputusan Gubernur Sumsel No.725/KPTS/DISPERTAMBEN/2016 mencabut IUP di Kabupaten Muaraenim untuk PT Duta Energi Mineratama, PT Trans Power Indonesia, PT Alam Jaya Energy, dan PT Synfueis Indonesia. Di Kabupaten PALI (Penungkal Abab Lematang Ilir) yakni dua IUP milik PT Guna Bara Sarana.

Di Kabupaten Ogan Komering Ilir, dua IUP milik PT Kedurang Anugrah Abadi, satu IUP milik PT Pinang Mineral Resources, PT Trinusa Dharma Utama, dan PT Adhikara Energi Prima.

Kabupaten Ogan Ilir untuk satu IUP  PT Lion Multi Resources. Di Kabupaten Lahat satu IUP milik PT Batubara Lahat. Terakhir, di Kabupaten Musi Rawas Utara satu IUP milik PT Mandiri Agung Jaya Utama dan PT Sugico Pendragon Energi.

Belum sempat mendorong upaya reklamasi dan pascatambang, dampak dari keputusan Gubernur Sumatera Selatan mencabut 34 IUP berbuah gugatan ke pengadilan dari sejumlah perusahaan pada Februari 2017 lalu. Penggugat menyatakan Gubernur Sumatera Selatan dan Kepala Dinas Energi dan dan Sumber Daya Mineral Sumatera Selatan  telah bertindak sewenang-wenang dan membawa kasus ini ke PTUN Palembang.

“Saat ini dalam proses persidangan,” kata Rabin.

Adapun perusahaan yang menggugat yakni PT Mitra Bisnis Harvest, PT Bintan Mineral Resource, dan PT Buana Minera Harvest yang menggugat Kepala Dinas Energi dan dan Sumber Daya Mineral Sumatera Selatan. Kepala Dinas Energi dan dan Sumber Daya Mineral Sumatera Selatan dinilai sikap diam terhadap surat permohonan keberatan dan kronologis perizinan penggugat.

Sementara PT Batubara Lahat, PT Andalas Bara Sejahtera, PT Brayan Bintang Tiga Energi dan PT Sriwijaya Bintang Tiga Energi yang menggugat surat keputusan Gubernur Sumsel.

“Kini berbagai upaya yang didorong KPK beberapa waktu lalu, tergantung dari keputusan PTUN Palembang,” jelas Rabin mengakhiri.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,