Investigasi Kematian Gajah di Kebun Sawit, BKSDA: Terbaik Cabut Izin

 

 

Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut), masih investigasi penyebab kematian gajah Sumatera liar dari Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di pinggiran aliran sungai dalam perkebunan sawit PT PT Perkebunan Inti Sawit Subur (PISS), di Desa Barak Gajah, Langkat, Sumatera Utara (Sumut).

BKSDA menegaskan, izin perkebunan sawit tak bisa ada di hutan produksi terbatas (HPT), dan seharusnya dicabut hingga tak mengancam kehidupan satwa.

Hotmauli Sianturi, Kepala BBKSDA Sumut, mengatakan, jalan satu-satunya mencabut izin usaha perkebunan PISS, dan menggembalikan jadi hutan atau direstorasi. Dengan begitu, katanya, satwa TNGL yang keluar kawasan bisa bermain bebas tanpa harus berhadapan dengan kebun sawit.

“Point utamanya, kembalikan lagi jadi kawasan hutan. Perkebunan sawit harus direstorasi kembali, segera dicabut izin perusahaan perkebunan demi menyelamatan populasi gajah Sumatera kita, ” katanya.

Dalam kasus ini, katanya, BKSDA dari sisi satwa. Yang lebih berkompeten melakukan tekanan adalah pemangku wilayah, dalam hal ini Balai Besar TNGL (BBTNGL).

“Jadi tergantung pemegang otorita. Kalau memang mau saat ini juga izin usaha perkebunan sawit bisa dicabut. Mengapa tidak? Itukan kawasan hutan, tak harusnya diberikan HGU. Sekali lagi, ini untuk penyelamatan habitat gajah,” katanya.

 

 Diracun?

Analisis awal BKSDA, katanya, ada dugaan kuat gajah mati tak wajar. Hotmauli Sianturi, Kepala BBKSDA Sumut, mengatakan, satwa kunci dan maskot TNGL mati diduga diracun. “Itu dilihat dari ciri-ciri kematian yang tak wajar, di bagian dekat mata dan mulut ditemukan bekas cairan warna putih,” katanya. Satuwa juga mati di aliran sungai dalam kebun sawit milik, PISS.

 

Dokter hewan dari Vesswic mengobati gajah terluka di kebun sawit PT PISS. Foto: Ayat S Karokaro

 

Dari ciri-ciri kematian itu, katanya, kalau gajah terkena racun, akan pergi mencari air dan fokus utama mencari badan sungai untuk bisa meminum air sebanyak-banyaknya. Tujuannya, menetralisir racun dalam tubuh. “Ada dugaan kuat kalau gajah mati karena diracun.”

Meskipun demikian, penyebab pasti masih meunggu hasil akhir pemeriksaan tim medis.

Dari data mereka, perkebunan sawit ini, di hutan produksi terbatas (HPT) yang seharusnya tak beizin hak guna usaha (HGU) perkebunan. Sebelum wilayah ini jadi perkebunan sawit, merupakan homerange gajah liar, yang setiap tiga hingga empat bulan sekali melintas.

Dulu, katanya, kawasan itu hutan. Setelah jadi perkebunan sawit, konflik antara satwa dengan manusia terjadi. Walau kasus kematian gajah di kebun ini kali pertama, tetapi sebelumnya sudah banyak ditemukan satwa ini masuk area perkebunan, kena jerat seling baja, dan beberapa kasus lain.

Apa tanggapan BBTNGL? Ardi Andono, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III BBTNGL, mengaytakan, dengan PISS selama ini sudah terjalin kerjasama dan koordinasi cukup baik. Kalau ada satwa keluar TNGL ke perkebunan sawit mereka, perusahaan tegas tak akan ganggu. Mereka berjanji akan melaporkan pada petugas jika melihat gajah dan satwa lain keluar dari kawasan.

Namun, katanya, jadi masalah apabila satwa masuk ke area rambahan masyarakat sekitar perusahaan. Hingga kini, belum semua masyarakat memahami dan bisa diajak kerjasama.

Ketika ditanya soal rekomendasi BBKSDA Sumut agar izin perkebunan sawit dicabut, dia sangat setuju. Namun, katanya, prosedur tak mudah.

Dia bilang, HGU perkebunan sawit kepada PISS sudah ada sebelum ada penetapan TNGL. Penyelesaian masalah ini, katanya, semestinya lintas kemeterian atau instansi, bukan TNGL dan BKSDA saja.

“Kalau kami dari BBTNGL setuju sekali jika kawasan ini kembalikan jadi hutan produksi terbatas. Tetapi harus ada melibatkan pihak terkait lainnya.”

 

Anak gajah yang terkena jerat seling baja di PT PISS, beruntung berhasil dievakuasi. Foto: Ayat S Karokaro

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,