Mendorong Terbentuknya Jejaring KKP Bentang Laut Sunda Banda

Sunda Banda Seascape (SBS) atau Bentang Laut Sunda Banda, merupakan kawasan penting bagi konservasi lingkungan pesisir Indonesia. Kawasan ini meliputi wilayah laut tiga provinsi yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Luasnya mencapai 151,3 juta hektar.

Selain menjadi lumbung ikan, kawasan ini juga kaya dengan kearifan lokal dan potensi pariwisata bahari. “Bentang Laut Sunda Banda adalah salah satu habitat penting untuk perikanan global,” kata Muhammad Erdi Lazuardi, Project Leader Bentang Laut Sunda WWF Indonesia di Denpasar pada akhir Maret lalu.

Erdi mengatakan, Bentang Laut Sunda Banda termasuk dalam kawasan Segitiga Terumbu Karang atau Coral Triangle, pusat keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia. Selain Coral Triangle yang meliputi tujuh negara, pusat keanekaragaman hayati dunia juga berada di Amazon, Amerika Selatan dan Congo Basin di Afrika.

Sebagai kawasan dengan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia, Coral Triangle menjadi sumber penghidupan bagi setengah miliar penduduk Bumi. Dengan kekayaan sekitar 75 persen spesies terumbu karang dunia dan lebih dari 2.000 spesies ikan di dalamnya, Segitiga Terumbu Karang mampu menyumbang 10 persen suplai pangan laut dunia.

“Posisi Bentang Laut Sunda Banda tidak bisa dilepaskan dari pentingnya posisi Coral Triangle dalam ekosistem kelautan dan perairan dunia,” ujar Erdi.

 

 

Bentang Laut Sunda Banda sendiri terdiri dari tiga sub-bentang laut yaitu Lesser Sunda di bagian selatan meliputi wilayah kepulauan Nusa Tenggara, Inner Banda Arc di sisi timur di dekat Laut Arafura, serta kawasan selatan dan timur Sulawesi. Dia membentang dari sisi timur Bali hingga Laut Timor.

 

Degradasi Habitat

Namun, sebagian besar kawasan perairan di Bentang Laut Sunda Banda saat ini menghadapi sejumlah tantangan. Pertama tingginya eksploitasi sumber daya ikan. Dibandingkan sepuluh Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) lain di Indonesia, penangkapan spesies laut di kawasan Bentang Laut Sunda Banda termasuk eksploitatif.

Hal tersebut sesuai dengan data status tingkat eksploitasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Beberapa spesies di WPP Bentang Laut Sunda Banda, seperti cumi-cumi, udang, lobster, kepiting, demersal dan rajungan sudah masuk warna merah.

“Artinya, sudah terlalu banyak eksploitasi sehingga upaya penangkapan harus dikurangi,” kata Erdi.

Tantangan lainnya adalah degradasi habitat dan keanekaragaman hayati lautan. Status Indonesia sebagai negara penyumbang plastik terbesar kedua setelah Cina berdampak terhadap menurunnya kualitas hayati lautan. Begitu pula dengan luasnya hutan mangrove hilang di Indonesia yang mencapai 52.000 hektar per 1,5 tahun.

“Hal itu juga berdampak terhadap kondisi kawasan laut dan perikanan di Bentang Laut Sunda Banda,” ujar Erdi.

Selain sebagai sumber penghidupan bagi penduduk di kawasan, Bentang Laut Sunda Banda juga memikat para penikmat pariwisata bahari, termasuk wisata bawah laut. Bali sudah lebih dulu terkenal sebagai kawasan wisata menyelam karena keindahan bawah lautnya, katakanlah di Nusa Penida atau Tulamben.

 

Tingginya aktivitas pariwisata turut memberikan tekanan terhadap kawasan pesisir dan laut di Bentang Laut Sunda Banda. Foto : Anton Muhajir

 

Tempat lain yang makin populer saat ini di kawasan Bentang Laut Sunda Banda adalah Flores dengan tempat wisata bahari semacam Pulau Komodo, Pulau Riung, dan seterusnya. Kondisinya yang memiliki banyak pulau kecil membuat Bentang Laut Sunda Banda menarik ribuan wisatawan.

Namun, Erdi mengatakan, beberapa aktivitas pariwisata justru menimbulkan tekanan lebih besar pada ekosistem pesisir. Dalam skala besar, masifnya pembangunan sarana pariwisata di kawasan konservasi perairan bisa menjadi contoh. Di tingkat lebih kecil, perilaku turis yang tidak paham nilai-nilai pelestarian juga berbahaya, seperti menyentuh penyu saat snorkeling atau menginjak terumbu karang saat menyelam.

“Jika tidak dikendalikan, mass tourism bisa menjadi ancaman kelestarian lingkungan pesisir di kawasan Bentang Laut Sunda Banda,” katanya.

 

Perlunya Jejaring KKP

Salah satu cara mencegah agar kawasan Bentang Laut Sunda Banda tidak makin mengalami degradasi lingkungan, menurut Erdi, adalah dengan penguatan kawasan konservasi melalui pendekatan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan (KKP).

Hal tersebut penting karena Bentang Laut Sunda Banda merupakan satu kesatuan. Spesies pari manta yang menjadi ikon pariwisata di Nusa Penida, Bali tapi daya jelajahnya mencapai Pulau Komodo, NTT. Jika tidak ada jaringan KKP di tiga wilayah tersebut, maka bisa saja pari manta ikon Nusa Penida akan mendapat gangguan ketika berenang melintasi kawasan lain di timur Bali.

Saat ini, KKP baru berada di tingkat lokal. Contohnya Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Alor dan KKPD Flores Timur. Keduanya di NTT. Padahal, adanya Jejaring KKP di kawasan Bentang Laut Sunda Banda akan memudahkan koordinasi antar-provinsi terkait isu-isu strategis.

Untuk mendorong lahirnya Jejaring KKP di kawasan Bentang Laut Sunda Banda, pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah pernah mengajak tiga gubernur di NTB, NTT, dan Bali untuk mendiskusikan. Namun, menurut Erdi, hanya Gubernur NTT yang merespon.

(baca : Jalan Berliku Mewujudkan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Bali)

 

Petani rumput laut di Nusa Penida menghadapi tantangan rebutan ruang di tengah ancaman pariwisata. Foto : Anton Muhajir

 

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Bali I Made Gunaja mengakui bahwa Jejaring KKP di Bentang Laut Sunda Banda memang belum menjadi agenda DKP Provinsi Bali. “Kami belum sampai ke sana. Tahun ini masih fokus internal dulu,” katanya.

Gunaja mengatakan, saat ini Provinsi Bali masih menyelesaikan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Salah satu kendalanya ketika muncul Undang-Undang No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengubah wewenang pengaturan provinsi dari sebelumnya hanya 4-12 mil menjadi 0 – 12.

“Akibat perubahan itu, kami jadi kurang persiapan membuat zonasi,” ujarnya.

Menurut Gunaja hingga saat ini Bali sendiri bahkan belum memiliki zonasi wilayah laut di tingkat provinsi. Kawasan yang diatur baru Teluk Benoa. Itu pun karena statusnya sebagai kawasan strategis nasional. “Untuk wilayah laut lain secara de jure belum ada payung hukum yang mengatur,” lanjutnya.

Padahal, kawasan laut dan perairan Bali memiliki kegiatan tinggi, terutama untuk pariwisata dan transportasi. “Kalau ini tidak segera kami buat zonasi, kami takut tidak kebagian karena kalah cepat dengan penggunaan kegiatan lain. Contohnya Nusa Penida kan untuk aktivitas diving dan snorkling di situ. Jangan sampai tahu-tahu dipakai untuk jalur kapal juga,” tambahnya.

Seperti NTT, sebagian wilayah di Bali sebenarnya juga sudah punya KKP di tingkat lokal. Misalnya KKPD Nusa Penida di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung seluas 20.057 hektar. KKPD Nusa Penida ini diatur oleh Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan yang diluncurkan pada November 2010. Dia merupakan bagian dari penerapan Coral Triangle Initiative (CTI) bersama lima negara lain, yaitu Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon.

Kawasan lain di Bali yang sudah memiliki peraturan perlindungan perairan adalah KKP Buleleng dan Jembrana. Namun, statusnya masih pencadangan. Masih sebatas rencana dan belum disahkan.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,