Jari-jemari Apri membolak balik biji coklat dan pinang yang dijemur di atas keramba jaring apung (KJA) miliknya. Sesekali pria berumur 32 tahun ini memilih beberapa biji coklat busuk dan membuang ke laut.
Sebelum ini, Apri, nelayan keramba, terpaksa banting setir jadi petani dan pekerja serabutan. Hal ini dia lakukan sejak kapal Hong Kong tak lagi masuk dan membeli kerapunya.
Sudah dua tahun belakangan dia dan puluhan nelayan keramba lain mati suri. Keramba bernilai ratusan juta yang biasa berisi kerapu macan ini tampak kosong. Hamparan biji coklat dan pinang menutupi permukaan keramba.
Pemandangan ini tak hanya terlihat di keramba Apri juga sebagian besar nelayan di Dusun Masabuk, Desa Sikakap, Kecamatan Sikakap, Kepulauan Mentawai.
Setidaknya, ada 28 keramba lain di Selat Sikakap yang hampir tak berfungsi. Padahal harga keramba yang sebagian besar bantuan pemerintah itu, berkisar Rp200 juta-Rp300 juta, tergantung besar kecilnya.
Apri mengisahkan, dulu keramba-keramba ini budidaya kerapu macan. Nelayan tradisional menangkap kerapu, lalu dijual ke nelayan keramba. Selanjutnya, nelayan keramba memelihara kerapu sampai berat cukup dan kapal berbendera Hong Kong datang membeli ikan ini hidup-hidup.
Saat itu, perekonomian berjalan baik nelayan penangkap kerapu bisa menghasilkan Rp500.000 setiap kali menjual ikan ke nelayan keramba. “Saat kapal Hong Kong masih ada membeli hasil keramba, kita sangat sejahtera. Satu hari bisa Rp500.000. Kita jual ikan masih hidup, harga cukup tinggi,” katanya.
Sejak aturan larangan kapal asing menangkap ikan ke Indonesia hidup nelayan Sikakap penangkap kerapu langsung menurun. Dari penghasilan cukup, sekarang jadi pekerja serabutan. Banyak mereka banting stir jadi buruh dan petani. Sesekali masih mencari ikan untuk dijual ke warga.
Merosotnya pendapatan nelayan karena pemilik keramba tak lagi sanggup membeli kerapu tangkapan nelayan. Dulu pemilik keramba membeli kerapu nelayan Rp90.000 perkg. Kerapu janang merah dan hitam dibeli Rp130.000 perkg. Ikan dijual biasa berukuran 1,5 kg lebih.
Sejak kapal luar tak lagi datang, nelayan keramba pernah menjual kerapu ke penampung lokal namun harga sama dengan ikan karang lain, Rp25.000 perkg.
Kondisi ini tak menguntungkan mereka, karena biaya makan kerapu di keramba sangat besar. Sekali tabur, bisa sampai 30 kilogram untuk satu petak atau lubang keramba, sebulan bisa habis 60 kilogram pakan.
Nelayan sudah sering menyampaika keluhan ke pemerintah. Apri dan nelayan nyaris putus asa karena hingga kini tak ada solusi dari pemerintah. Mereka berharap, pemerintah mencarikan pasar bagi budidaya kerapu.
“Masyarakat dikenalkan dengan budidaya kerapu, diberi bantuan keramba, lalu pasa dimatikan. Harusnya, begitu bantuan diberikan, bantuan bibit, pakan dan pasar juga diberikan. Untuk apa keramba itu hanya terapung-apung di lautan?”
Kini, kerapu hasil tangkapan nelayan hanya dijual mati dan dikirim pakai fiber ke Padang. “Jika dulu kondisi hidup, harga Rp90.000 perkg, sekarang jual harga mati Rp25.000 perkg,” katanya seraya bilangbanyak warga alih jadi kerja serabutan.
Mereka berharap, pemerintah mencarikan investor guna mengelola sektor kelautan di Mentawai, seperti investasi kapal, keramba dan sektor perikanan lain. Selain itu, masyarakat juga diajarkan cara menangkap dan budidaya ikan.
Hal serupa juga disampaikan tokoh masyarakat Sikakap, Bin Geas dalam pertemuan dengan Staf Ahli Gubernur Bidang Pemerintahan Pemerintah Sumatera Barat, Jefrinal Arifin di Sikakap, beberapa waktu lalu.
Dia meminta, pemerintah mencarikan solusi bagi nelayan-nelayan di Sikakap dan Pagai agar bisa kembali beroperasi. “Bapak bisa lihat dan cek di dekat sini, banyak keramba nelayan tak lagi berfungsi, padahal investasi menurut saya sangat menjanjikan. Orang-orang belum meliriknya,” katanya.
Efendi, Ketua Asosiasi Himpunan Pengusaha Budidaya Ikan saat dihubungi Mongabay mengatakan, satu sisi peraturan Menteri Susi membatasi ruang gerak kapal asing ke Indonesia ada benarnya. Dampak lain, dalam peraturan para pembudidaya ikan di wilayah cukup jauh dari pelabuhan besar tak dapat menjual hasil. Satu contoh, keramba seperti nelayan di Sikakap, Mentawai.
Pelabuhan hanya di kota, sedangkan pembudidaya jauh dari pelabuhan seperti di Air Bangis dan Mentawai, perlu biaya besar mengantarkan hasil budidaya ke pelabuhan, tak sebanding dengan harga jual.
Sebelumnya, nelayan keramba hanya menunggu di tempat, kapal asing menjemput ke wilayah masing-masing. Kondisi ini, membuat para pembudidaya ikan mati. Mereka terpaksa beralih cari pekerjaan lain.
Solusi
Dia mengusulkan, pemerintah menyediakan kapal pengangkut untuk menjemput hasil keramba di wilayah-wilayah jauh dari pelabuhan utama. “Atau bisa juga bekerjasama dengan pihak ketiga untuk mengumpulkan hasil budidaya ini.”
Di beberapa wilayah di Indonesia seperti Natuna, Belawan dan Lampung, distribusi berjalan lancar karena sudah ada kapal pengangkut yang membawa hasil budidaya mereka. Hal serupa bisa juga di daerah lain, tinggal menanti pihak yang bersedia mengadakan kapal.
Afendi menyayangkan, Perum Perikanan Indonesia (Perindo) belum jalan dalam mendistribusikan hasil budidaya ikan di daerah-daerah. Padahal, sebelumnya sudah disepakati bersama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Sewaktu Peraturan Menteri itu keluar, Perindo bejanji menyediakan kapal pengangkut ke wilayah-wilayah yang tak dimasuki kapal Hong Kong, kenyataan itu belum dilakukan.”
Toto, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Mentawai, mengatakan, dilema dalam pemasaran nelayan keramba. Pada aturan baru, kapal berbendera asing hanya bisa mengangkut budidaya jika hasil panen 15-20 ton per loading, hasil keramba di Sikakap belum sebanyak itu.
“Sambil menunggu masuknya kapal pengangkut, saat ini yang kami lakukan berupaya meningkatkan hasil tangkapan laut para nelayan.”
Toto membenarkan hingga kini Perum Perindo, belum masuk ke Sikakap. Dia berharap, masalah ini sgera teratasi.
Makin jauh
Amri, pengurus Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sikakap mengatakan, Perairan Sikakap, Pagai Utara dan Pagai Selatan, memiliki potensi luar biasa terutama ikan jenis karang. Daerah itu memiliki gugus karang dan hutan mangrove masih bagus sebagai tempat hidup dan bertelur ikan.
Kini, hasil tangkapan nelayan jauh merosot dan terpaksa menangkap ikan jauh ke tengah dan biaya bahan bakar makin tinggi. “Karena besarnya kebutuhan bahan bakar, hasil tangkap tak mampu menutup biaya operasional, kadang impas, malah kadang rugi.”
Tangkapan ikan nelayan merosot karena marak kapal pukat cincin di Perairan Mentawai, nelayan tradisional tak berdaya.
“Kami kalah teknologi dengan mereka, mereka pakai jaring besar, bahkan ada namanya pukat setan, semua masuk, ikan besar sampai anak ikan juga,” katanya.
Kapal-kapal itu, banyak dari Sibolga, Pesisir Selatan bahkan Jawa. Ada juga kapal bagan itu pakai bom ikan.
“Dilarang, kita susah juga. Kebanyakan, yang bekerja di kapal itu saudara kita juga. Itu ada dari Pesisir dan Sibolga. Walaupun kita larang, mereka terkadang malah melemparkan bom kepada kita. Kita paham juga, mereka mencari rezeki di sini untuk menghidupi keluarga mereka,” katanya.
Harus terjaga
Benny, staf Badan Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Batam, yang memberikan supervisi di Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) Pagai Selatan menceritakan, kelautan dan perikanan Mentawai memiliki potensi besar berkembang. Paling besar, katanya, potensi ikan karang, seperti kerapu dan janang, lobster dan lain-lain.
Perairan Mentawai, katanya, masih terbilang bersih dan jernih dan menunjang keberlangsungan hidup ikan. Syaratnya, kehidupan di darat harus terjaga. Kala penebangan hutan masif, bisa memicu longsor di badan sungai hingga air laut keruh.
“Jaga alam Mentawai dan garap potensi laut maksimal. Mumpung belum terlambat. Saran saya kembangkan potensi laut. Semua ini investasi besar tanpa merusak alam.”
Pengamat Perikanan dan Kelautan Universitas Bung Hatta (UBH), Eni Kamal memaparkan, letak geografis Mentawai dianugerahi pulau kecil, membuat daerah ini memiliki sumber alam produktif seperti terumbu karang, lamun, mangrove dan dataran pasir.
Wilayah ini, katanya, cocok sebagai penyedia jasa lingkungan, lewat keindahan alam.
Dia bilang, pemanfaatan pulau-pulau kecil perlu dibatasi dan prioritas untuk konservasi, ekowisata, perikanan budidaya terbatas, riset/penelitian serta basis industri perikanan skala kecil. Keberadaan pulau-pulau kecil bisa bertahan.
Mengenai ancaman gempa dan tsunami, katanya, perlu mitigasi bencana. Dia menyarankan, di wilayah pesisir dengan ekosistem rusak segera rehabilitasi hingga mendukung kehidupan biota laut dan manusia.
”Masyarakat yang berdomisili di rawan bencana dapat diberdayakan melalui program identifikasi potensi bencana, peringatan dini, tanggap darurat, mengembangkan teknologi sistem peringatan dini dan mitigasi bencana, serta rehabilitasi ekosistem,” katanya.