Tambang Batubara di Sumsel, Ancaman Serius untuk Bentang Alam dan Masyarakat Sehile (Bagian-3, Terakhir)

Ada satu yang menjadi ciri khas Bukit Sehile atau yang biasa disebut Serelo. Dari jauh tampak seperti jari manusia. Sehingga ada yang menyebutnya bukit jempol. Bukit jempol merupakan bukit tertinggi, puncaknya berketinggian 900 mdpl. Bersama-sama dengan delapan bukit lainnya, area perbukitan yang berketinggian 700-900 mdpl itu membentuk bentang alam Sehile atau Serelo yang terletak di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.

Kesembilan bukit di bentang alam Sehile ini adalah Bukit Senubut yang masuk Kecamatan Merapi Barat, Bukit Sehile yang masuk Kecamatan Merapi Barat dan Merapi Selatan, kemudian Bukit Besak, Bukit Lepak Kajang, Bukit Kuning, Bukit Pungguw Lanang, Bukit Pungguw Betino, Bukit Tunjuk di Merapi Selatan, dan terakhir Bukit Abung di Kecamatan Pulau Pinang.

Karena keunikannya, kawasan Bukit Sehile yang merupakan bagian Bukit Barisan itu, masuk dalam kawasan Hutan Lindung Bukit Sehile (2.264 hektar) dan Suaka Margasatwa Isau-Isau Pasemah (16.988 hektar). Pada tahun 1992, Pemerintah mendirikan Pusat Latihan Gajah (PLG) di kawasan Taman Wisata Alam Bukit Serelo seluas 200 hektar.

Baca juga bagian sebelumnya dari seri tulisan ini,

Bagian Pertama: Menguak Lapisan Persoalan Perizinan Batubara di Sumsel

Bagian Kedua: Reklamasi Lahan Tak Efektif. Bentang Alam yang Berubah Pasca Pertambangan Batubara di Sumsel

 

Hulu Sungai Sehile atau barat dari bentang alam Sehile, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Penambangan batubara ini berada di dekat hutan lindung Bukit Sehile dan kawasan Suaka Margasatwa Isau-Isau Pasemah. Foto diambil dari Bukit Besak pertengahan April 2017. Foto: Ahmad Supardi

 

Namun, sayangnya saat ini bentang alam tropis kaya flora dan satwa ini terancam dengan aktifitas pertambangan batubara.

Maraknya aktifitas pertambangan batubara di Sehile, tak lepas dari hasil kajian yang menunjukkan potensi batubara  di Lahat sekitar 58 juta ton dengan kualitas terbaik (6.000-7.000 kalori) yang terbagi dalam beberapa blok seperti Blok Muara Tiga Besar (MTB), Kungkilan, dan Air Serelo (Sehile)

Dalam sebuah wawancaranya di Tribun Sumsel, Guru Besar Universitas Sriwijaya, Prof Dr. M Taufik Toha DEA, menyebut pengaruh batuan beku (instrusi) disertai tekanan dan temperatur tinggi di wilayah perbukitan mampu meningkatkan kadar batubara hingga 2.000 kcal per kilogram, seperti di Bukit Sehile. Instrusi tersebut menyebabkan gas terbang (volatile matter) berkurang, kadar air dalam batubara berkurang, serta karbon meningkat.

Dengan demikian, tak heran ada lebih 22 perusahaan batubara di sekitar bentang alam Sehile, khususnya di dua kecamatan, Merapi Selatan dan Merapi Barat. Adapun di Kabupaten Lahat sendiri, terdapat 36 perusahaan batubara yang beroperasi, dengan total area konsesi 31.454,4 hektar.

 

Panas, Debu dan Air Keruh

 “Saat ini udara panas. Sudah tidak sehat, berdebu. Air sungai tidak lagi jernih dan sederas dulu, sehingga warga tidak banyak lagi yang memanfaatkan,” jelas Ismadin (60), warga Desa Perangai (Pehangai), desa yang masih masuk dalam bentang Sihele.

Menurutnya suasana ini jauh berbeda dengan 10 tahun yang lalu. Masyarakat masih memanfaatkan sungai sebagai sumber air bersih dan mencari ikan. Udara pun masih sejuk dan bersih.

“Saat perusahaan beroperasi, udara di sini dipenuhi debu batubara. Apalagi pada saat musim kemarau. Sekarang ini perusahaan tengah berhenti operasi,” katanya kepada Mongabay Indonesia.

Perusahaan yang dimaksud Ismadin adalah PT Era Energi Mandiri dan PT Dianrana Petrojasa. Wilayah produksi PT Era Energi Mandiri berdampingan dengan desa dan berbatasan dengan suaka margasatwa Isau-Isau Pasemah, dengan luas area operasi sekitar 1.359 hektar.

Sementara tak jauh dari PT Era Energi Mandiri, lokasi produksi PT Dianrana Petrojasa seluas 994,6 hektar.

 

Eks tambang PT Era Energi Mandiri yang diminta masyarakat harus segera direklamasi, sehingga mengembalikan kondisi lingkungan seperti semula. Foto Taufik Wijaya

 

Sejak Desember 2016 lalu, kedua perusahaan ini menghentikan penambangan. Namun data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Selatan menyebut kedua perusahaan tersebut statusnya masih operasi produksi.

Dampak eksploitasi batubara telah menyebabkan Sungai Suban, anak Sungai Sehile, tidak lagi jernih atau tercemar. Sungai Sehile bermuara di Sungai Lematang, dan Sungai Lematang bermuara di Sungai Musi.

Padahal selama berabad-abad air Sungai Suban itu digunakan warga di enam desa yakni Desa Padangbaru, Padanglama, Tanjungmenang, Talangakar, Lubuk Bedaro, dan Suka Merindu. Hanya dalam 10 tahun, semuanya berubah.

Sejak perusahaan tambang batubara tersebut beroperasi banyak warga terkena penyakit saluran pernapasan (ISPA). “Terutama anak-anak dan orang tua,” kata Ismadi.

“Bahkan, jika mandi di sungai saat musim kemarau, banyak yang tubuhnya gatal-gatal,” lanjutnya.

Warga desa menurut Ismadi saat ini was-was. Jika di masa yang akan datang, akumulasi berbagai penyakit ini dapat menimbulkan kematian maupun penyakit kanker.

“Ada beberapa warga terkabar terkena penyakit kanker, tapi kami tidak bisa pastikan apakah itu karena dampak aktifitas penambangan batubara,” ujarnya.

Dampak pertambangan untuk pertanian dan persawahan juga mulai terasa. Kalau musim kemarau, air untuk persawahan mulai berkurang. Padahal dulu persawahan dapat tiga kali panen dalam setahun.

Demikian juga dengan produksi kopi robusta, mengalami penurunan

“Buah kopi tidak sebanyak dulu. Ini jelas akibat udara yang kian bertambah panas dan debu. Biasanya, satu hektar kebun kopi menghasilkan satu ton biji kopi. Dua tahun terakhir ini sudah turun, kisaran 500 kilogram,” ungkap Mirza (38), warga Desa Perangai (Pehangai).

Selain berwarna keruh dan volumenya berkurang, masyarakat pun mulai kesulitan mendapatkan ikan air tawar di sungai. Padahal dahulu, ikan baung dan gabus sangat mudah dijumpai.

“Jelasnya ini karena kehadiran perusahaan pertambangan batubara. Hidup kami jadi susah. Kalau dibiarkan terus, bukan tidak mungkin hasil perkebunan dan persawahan kian menurun atau gagal, sehingga menyebabkan kami krisis pangan,” lanjut Mirza.

 

Para ibu di Desa Perangai (Pehangai) tengah menjemur kopi di halaman rumahnya. Produksi kopi terus menurun. Foto Ahmad Supardi

 

Kebun rakyat dibeli murah

Hampir semua lokasi penambangan batubara dulunya merupakan perkebunan karet atau kopi milik masyarakat. Diperkirakan kebun karet milik masyarakat yang telah dibeli perusahaan sekitar 200 hektar.

Ironisnya, harga tanah yang dibeli hanya dikisaran Rp10-15 ribu per meter persegi atau kisaran Rp100-150 juta per hektar.

“Jika lahan itu dinilai produktif dibeli Rp15 ribu per meter, sementara tidak produktif dibeli Rp10 ribu per meter. Padahal lahan yang tidak produktif diperkirakan kandungan batubaranya lebih banyak karena tanah humusnya lebih tipis sehingga memudahkan ditambang,” kata Mirza.

Biasanya setelah lahan dibeli, menurut Mirza warga lalu bekerja di perusahaan. Beberapa tahun atau bulan bekerja mereka kemudian berhenti karena produksi berhenti.

Walhasil, setelah tanah dijual, pekerjaan tak lagi tersedia, lingkungan pun telah rusak.

“Harusnya, kalau perusahaan mau kembali nambang, dilakukan secara bertahap. Reklamasi dahulu eks lokasi penambangan,” jelas Mirza.

“Kalau begini, kami yang hidup susah. Mereka kaya lalu pergi, kami miskin lalu ditinggalkan,” ujarnya.

Melihat kondisi ini, Ismadin mengusulkan beberapa komitmen.

Pertama, perusahaan baru boleh beroperasi setelah eks lahan yang ditambang direklamasi. Kedua, dibuat aturan lahan milik masyarakat tidak boleh dan tak lagi diperjualbelikan, cukup disewakan sampai batubara habis digali. Sehingga setelah perusahaan berhenti beroperasi dan lahan direklamasi, lahan dapat kembali dimanfaatkan masyarakat.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,