Begini Kampanye Free Dolphin, Dari Nonton Film The Cove Sampai Jangan Lihat Sirkusnya

Dialog dan penayangan The Cove, film investigasi pembantaian lumba-lumba (dolphin) di Taiji, Jepang menjadi menu utama kampanye perlindungan mamalia ini di Sanur, Denpasar, akhir pekan lalu (30/4/2017).

The Cove, film yang menghentak kesadaran dibuat pada 2009 ini diputar dan kini sudah ada alih teks dalam Bahasa Indonesia yang dikerjakan organisasi pecinta film Minikino dari Bali. Film ini memperlihatkan bagaimana asal mula dolphin menjadi bintang layar, kemudian menarik perhatian industri seperti sirkus dan akuarium raksasa. Sampai berhasil merekam peristiwa pembantaian lumba-lumba yang dilakukan tiap tahun di sebuah teluk rahasia di Taiji, Jepang. Disebut lebih dari 20 ribu ekor mamalia laut ini dibantai.

Dimulai dengan kehadiran Richard O’Barry yang berkisah bagaimana serial televisi berjudul Flipper, nama seekor bottlenose dolphin (lumba-lumba hidung botol) dan menjadi bintang utama ini meledak di pasaran, disukai penontonnya. Ric adalah pelatih dan penangkap Flipper. Ia menyebut menangkap 5 ekor pada 1962, lalu dilatih agar terlihat lucu memainkan sejumlah atraksi dan mengikuti instruksi. Serial TV ini lalu ditayangkan pada 1964.

 

 

Ada banyak footage, gambar-gambar video Ric muda bermain bersama Cathy, seekor dolphin betina muda yang menjadi bintangnya. Bahkan Ric membawakanTVv ke samping kolam agar Cathy bisa melihat dirinya di layar.

Titik balik terjadi. Cathy diyakini bunuh diri, menenggelamkan dirinya di depan Ric. Ia menatap Ric beberapa saat sebelum mengambil nafas terakhirnya di permukaan.

“Ia bunuh diri dalam lenganku, ia menatap mataku dan tarik nafas terakhir,” ujar Ric. Dolphin disebut bernafas dengan sadar, dengan mengambil udara di permukaan. Beda dengan manusia yang bernafas spontan.

“Kecerdasan non human. Mereka tak boleh ada di penangkaran. Senyum dolphin di TV adalah tipuan, mereka terlihat bahagia hanya tipuan. Mereka harusnya berenang 40 km tiap hari,” seru Ric dalam film. Karena itu lumba-lumba diyakini menderita berada dalam kolam karena kehilangan daya jelajah dan sonarnya. Di laut, lumba-lumba bisa mendengar detak jantung, dan tahu jika manusia hamil. Karena itu banyak kejadian manusia diselamatkan.

Kesadaran yang membuatnya terguncang ini menjadikan Ric berubah haluan. Ia melepaskan beberapa dolphin dalam penangkaran di Amerika Serikat sampai ditangkap. Ia meyakini sudah mendorong pembantaian terbesar dengan popularitas Flipper membuat warga dunia berbondong ingin mengeluas, mencium, dan melihat atraksi dolphin.

Ric juga tergerak dengan peristiwa terkait nasib lumba-lumba di negara-negara lain sampai sekarang. Misalnya kisah dari Taiji, Jepang soal isu pembantaian rutin tiap tahun saat musim migrasi lumba-lumba. Ia mengajak Louie Psihoyos, dari Oseanic Preservation Society (OPS) yang juga fotografer dan pembuat film.

 

The Cove, film investigasi pembantaian lumba-lumba (dolphin) di Taiji, Jepang yang dibuat oleh Richard O’Barry dan timnya. Foto : the cove/gilasinema.blogspot.co.id

 

Nama Richard O’Barry pernah dihapus dalam sebuah konferensi internasional karena sikap dan aksinya melindungi lumba-lumba. Saat di Jepang untuk mengungkap peristiwa Taiji, ia kerap diinterogasi intel di hotel.

Dalam film dokumenter apik dan dramatik ini, terekam sejumlah kapal nelayan membuat formasi mengelilingi puluhan lumba-lumba yang sedang migrasi dengan membuat suara menakuti. Memukul badan kapal hingga bersuara nyaring dan si hidung botol takut. Jaring pukat ditebar sebagai  penghalang, para dolphin tak bisa melarikan diri. Keesokan hari, para pembeli seperti pelatih sirkus dan show datang dan memilih mana yang dibelinya. Harganya disebut sampai Rp2 miliar. Dolphin yang tak terpilih, dihalau ke teluk terpencil yang dikelilingi bebukitan terjal ini lalu dibantai.

Air laut sekitarnya merah darah. Tak ada dolphin yang naik ke permukaan. Mayatnya ditarik ke kapal atau pantai untuk diambil dagingnya. Sebagian dijual untuk konsumsi dan ada yang dijadikan program makan siang gratis untuk siswa sekolah.

Keberhasilan merekam pembantaian ini bukan hal mudah, OPS membuat tim dengan personil terlatih karena sulitnya medan, ketatnya pengamanan, dan ancaman otoritas keamanan setempat. Mereka tahu sudah diintai dan beberapa kali mengusir Ric, tim OPS, dan lainnya dari dekat lokasi teluk.

Dimulai dengan menyiapkan alat perekam suara hydrophone di bawah laut yang berhasil merekam suara penderitaan mereka. Kemudian membuat batu palsu dengan alat rekam di dalamnya diletakkan di sejumlah titik bukit. Tim ini terdiri dari pasangan penyelam free diving yang andal, operator kamera thermal, dan keahlian lainnya.

Tim film dokumenter juga berhasil menampilkan investigasi kenapa Jepang begitu mendapat dukungan dalam komite perburuan paus di konferensi IWC. Salah satu yang terungkap, negara kepulauan kecil yang mendukung mendapat bantuan keuangan dari Jepang. Pejabat bidang perikanan dan anggota dewan juga diwawancara soal pembantaian Taiji.

Ada juga upaya menelusuri kenapa warga mau membeli dan konsumsi daging lumba-lumba yang bermekuri tinggi. Jepang punya sejarah kelam karena peristiwa keracunan di Minamata akibat pembuangan limbah ke laut sembarangan. Anam-anak dalam kandungan terdampak dan cacat fisik serta mental sejak lahir. Kandungan merkuri yang diperbolehkan 0,4 ppm sementara dolphin mengandung 2000 ppm. Warga Jepang di perkotaan yang diwawancara menyebut tak tahu ada pembantaian di Taiji dan heran kenapa ada yang makan daging lumba-lumba.

The Cove memperlihatkan warga sekitar Taiji meyakini pembantaian ini tradisi dan lumba-lumba dipropagandakan pemerintah sebagai hama jadi sah dibantai. Ikan-ikan disebut terus berkurang karena banyaknya lumba-lumba di lautan. Paus dan dolphin disebut penyebabnya, bukan manusia.

Perburuan dan pembantaian lumba-lumba (dolphin) di Taiji, Jepang dalam Film The Cove yang dibuat oleh Richard O’Barry dan timnya. Foto : the cove/anibee.tv

 

Film ini kemudian ditayangkan secara dramatis di konferensi IWC oleh Ric dengan memasang layar di tubuhnya. Ia masuk ke dalam ruangan penuh delegasi, membawa adegan sadis pembataian ke wajah-wajah mereka sampai wartawan juga tertarik merekam aksi ini. Perubahan kebijakan pun terjadi.

Dua akivis perempuan Femke Den Haas dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dan Melanie Subono mengajak berdialog sebelum The Cove diputar. Mereka membahas kenapa mendorong kesadaran warga agar menghindari show dolphin sangat penting.

Femke Haas mengatakan banyak dolphin ditangkap di laut Karimun Jawa dan dibawa ke Bali untuk dimasukkan kolam kecil. “Klorin membuat menderita, kita saja berenang sakit mata. Bisnis ini misedukasi. Sebarkan pesan ini,” serunya. Agar bisa menghibur pengunjung, dolphin menurutnya mengalami penderitaan.

Ia berharap semua negara melarang pertunjukkan dolphin. Belanda menurutnya mulai menutup pertunjukkan lumba-lumba satu demi satu. Femke mengampanyekan warga terlibat dalam gerakan seperti dalam laman Freebalidolphins.org, salah satunya jangan beli tiket show dolphin.

Saat ini menurutnya yang diperlukan people power, gerakan massa untuk bersama menyuarakan. Karena tempat pertunjukkan yang menggunakan dolphin seperti sirkus, dalam kolam renang, dan lainnya masih banyak. Di Bali menurutnya tiket seperti ini dijual mahal dan menargetkan warga asing. Karena itu, kampanye Free Bali Dolphins ini digiatkan di kalangan warga asing dan ekspatriat.

Sementara untuk skala nasional ada kampanye video pada 2013 melibatkan artis Choky Sitohang, presenter TV Riyanni Djangkaru, Gemala Hanafiah, Saras Dewi, dan lainnya untuk tidak beli tiket ke show dolphin.  “Binatang tak bisa bicara, kita yang harus ambil langkah dari penderitaannya.
Kami punya banyak relawan di Indonesia, banyak dukungan dari warga lokal,” lanjut Femke pada warga asing yang berkumpul mengikuti fundraising dengan membeli merchandise dan kampanye Free Bali Dolphin di Genius Café , Pantai Sanur.

 

Aneka tshirt dan merhandise dijual untuk dukungan kampanye free bali dolphin. Foto : Luh De Suriyani

 

Ia menyebut beberapa kali berdiskusi dan berkirim surat ke Dinas Pendidikan, agar menyampaikan ke siswa sekolah bahwa sirkus bukan pendidikan binatang. Namun proses ini menurutnya belum menarik perhatian otoritas. Femke menyebut kampanye ini juga bekerja sama dengan Ric O’Barry Dolphin Project, digagas oleh Richard O’Barry, 75 tahun, aktivis perlindungan dolphin dan penggagas film The Cove. Sayangnya Ric, panggilan aktivis yang beberapa kali ditangkap karena aksinya membebaskan dolphin ini batal berkomunikasi dengan warga lewat sambungan internet dengan audiens di Sanur.

Melanie Subono mendukung kampanye ini karena keyakinannya semua mahluk hidup harus bebas. “Saya awalnya tidak tahu kenapa sirkus, kenapa dolphin hidupnya buruk dalam kolam. Pemerintah masih beri izin pada animal cruelty atas nama konservasi dan edukasi,” kata aktivis yang juga bersikap pada persoalan hak asasi manusia ini.

Ia percaya people power, lebih baik berbuat sesuatu untuk bersuara. “Saya mahluk hidup, saya mau hidup demikian juga mahluk lain, Kalau tak ada yang beli tiket, sirkus tutup,” pungkasnya.

Dalam kamapanye ini dibuat sejumlah aksi seni seperti lomba menggambar bersama anak dan mural di kanvas oleh komunitas street art bertopik dolphin. Para seniman jalanan ini banyak berkontribusi dengan membuat mural dan teks kampanye free Bali Dolphin di sejumlah tembok di Bali.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,