Menuju Restorasi Gambut di Kalimantan Barat, Begini Kondisinya (Bagian 2)

 

 

Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat bertekad menyusun perencanan pertumbuhan ekonomi hijau (green growth plan), terkait restorasi gambut dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.

Sejak Februari 2017, Pemprov Kalbar bahkan telah kick off melalui workshop yang dihadiri perwakilan Duta Besar Norwegia, perwakilan Badan Restorasi Gambut, pimpinan IDH Sustainable Trade, lembaga legislatif, Forkopimda Kalbar, beberapa kepala daerah, akademisi, pelaku usaha dan organisasi sipil kemasyarakatan.

“Pemerintah Kalimantan Barat memiliki komitmen kuat menjaga lingkungan, karena itu  dukungan penuh terbentuknya Badan Restorasi Gambut diberikan,” ujar Wakil Gubernur Kalimantan Barat Christiandy Sanjaya. Dia mengatakan, pihak swasta semestinya ikut dilibatkan untuk merestorasi gambut. “Keterlibatan pihak swasta (perusahaan) bisa dengan memanfaatkan CSR maupun kewajiban perusahaan menjaga lahan gambut.”

 

Baca: Target Restorasi Gambut di Kalimantan Barat, Seperti Apa? (Bagian 1)

 

Christiandy mengharapkan, pelaku usaha berkomitmen menjalankan undang-undang, sehingga kebakaran lahan di Kalimantan Barat, yang menimbulkan bencana kabut asap, tidak perlu terulang. “Saya ada fotonya, terlihat api itu sudah masuk ke areal pepohonan. Kalau itu dilakukan perusahaan sawit maka tidak ada tempat di Kalbar, pesan Gubernur,” katanya. Sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, dia mengingatkan, agar kepala daerah tidak memberikan izin di atas lahan gambut.

Khusus lahan gambut yang di atasnya telah menjadi lahan budidaya pertanian, Christiandy menyatakan, manajemen pengelolaan lahan sangat penting dilakukan. Petani juga harus komit menjaga lahan gambut tersebut, agar tidak hilang fungsinya. “Komoditi pertanian yang cocok di lahan gambut ini seperti aloevera, nanas, dan jagung,” katanya.

 

Hutan gambut adalah bagian dari kehidupan kita yang harus dikelola secara benar. Foto: Rhett Butler

 

Deputi 1 Badan Restorasi Gambut (BRG), Budi Wardana, memberikan apresiasi terhadap kebijakan ini. Dia mengatakan pembangunan hijau ramah lingkungan berbasis komoditas merupakan langkah nyata daerah. Tujuannya, mewujudkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan kelestarian lingkungan.

“Ini sangat penting karena dari 17 juta hektare lebih kawasan di Kalbar, sekitar 10 persennya berupa gambut,” katanya, di Pontianak. Pertumbuhan ekonomi hijau, harus didorong dengan pertumbuhan berkeadilan, dengan memerhatikan pertumbuhan ekonomi lokal berkelanjutan.

Ekonomi lokal berkelanjutan tersebut dapat meningkatkan ketahanan sosial, mengurangi emisi gas rumah kaca, keseimbangan ekosistem bahkan dapat menyediakan jasa lingkungan. Untuk itu, Budi menekankan agar pemerintah Kalbar terus memperjuangkan penetapan 30 persen kawasan lindung dan pengelolaan sumber daya yang efektif. Terutama, pada kawasan yang mempunyai hutan lindung.

Budi mengatakan, orientasi pembangunan yang ekspansif di kawasan gambut telah menciptakan kondisi 57 persen lahan gambut di Indonesia rusak. Ini disebabkan aktivitas pembuatan saluran kanal dan tata cara pembukaan lahan melalui cara bakar. Di Kalbar, lahan seluas 120 ribu hektare merupakan target pemulihan gambut yang mengalami degradasi.

“Lebih 50 persen gambut yang akan di restorasi (64 ribu hektare) berada di lahan konsesi. Sementara 38 ribu hektare di HTI dan HPH, sedangkan 36 ribu di perkebunan sawit dan lahan masyarakat.”

Intervensi yang dilakukan BRG; di areal konsesi dalam kawasan lindung, akibat perluasan Rencana Tata Ruang Wilayah, disesuaikan sebagai fungsi lindung. Untuk areal kawasan lindung tidak berizin, dilakukan penertiban dan dikembalikan fungsi lindungnya. Untuk kawasan konservasi, dilakukan KLHK, sedangkan kawasan lindung oleh pemerintah provinsi. Areal konsesi dalam kawasan budidaya, restorasi akan dilakukan oleh pemegang konsesi. “Kegiatan fisik yang dilakukan meliputi; rewetting, canal blocking, penanaman kembali, dan pemasangan monitor pembasahan,” tambahnya.

 

Sebaran areal gambut yang menjadi target restorasi di Indonesia. Sumber: BRG

 

Mutlak dilakukan

Hermawansyah, Direktur Swandiri Institute, memandang restorasi gambut sebagai hal yang mutlak dilakukan. Setelah direstorasi, lahan gambut memerlukan waktu agar kembali ke fungsi asalnya. Sehingga, moratorium izin di lahan gambut tidak perlu dicabut. “Memang aturan sebelumnya membolehkan sawit ditanam di kawasan gambut dengan batasan-batasan tertentu. Tapi, setelah kebakaran besar 2015, dan (kebakaran lahan) ditemukan banyak di konsesi sawit, keluarlah kebijakan moratorium untuk direstorasi yang dikoordinasikan oleh BRG,” ujar Wawan, sapaannya.

Tahun 2015, pengeringan rawa gambut yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit dan bubur kertas, disinyalir merupakan penyumbang besar kerusakan hutan tropis di Indonesia serta emisi gas rumah kaca. Konversi lahan gambut, menyebabkan fungsinya sebagai penampung air hilang. Gambut seperti ampas kering yang mudah terbakar. Tahun itu pula, ditemukan indikasi pembakaran lahan untuk pembukaan dan pembersihan lahan.

Perusahaan sebenarnya tak perlu risau, karena pemerintah memberikan kesempatan satu masa tanam untuk tanaman yang ada di atas lahan gambut. “Namun, yang dibutuhkan adalah ketegasan pemerintah. Sanksi dan penegakan hukum itu ranahnya KLHK, bukan BRG. Jika perusahaan tidak serius, izin konsesinya harus dicabut,” kata Wawan.

Negara tidak boleh kalah dengan kepentingan investor. Disitulah pentingnya agenda Korsup SDA KPK, khususnya sawit. Jika ada pelanggaran hukum, harus diproses sesuai aturan berlaku. “Bukan malah melonggarkan aturan karena keterlanjuran.”

Terkait mekanisme pengambilan keputusan ditingkat sekber (seretariat bersama), harus dipertegas apa saja yang menjadi domain Sekber. Format Sekber Kalbar ini, seperti Dewan Kehutanan Nasional, ditingkat pusat yang terbagi dalam berbagai kamar baik pemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat adat.

“Jangan sampai sekber dimanfaatkan pihak swasta guna melapangkan jalan ‘green wash‘ mereka. Lebih fatal, lagi kalo sampai ada CSO yang menjadi  ‘tangan’ swasta.”

 

Keseimbangan ekosistem yang ada di lahan gambut harus dijaga sebaik mungkin, karena memberi manfaat luar biasa bagi kehidupan kita. Foto: Rhett Butler

 

Desa peduli gambut

Tahun ini, tiga kabupaten di Kalimantan Barat menjadi target restorasi gambut. Kabupaten lainnya akan dilaksanakan dengan skema pendanaan non-APBN. Pada lahan gambut yang akan direstorasi di areal yang tidak terbebani izin, BRG melaksanakan program Desa Peduli Gambut dengan pelibatan masyarakat dan pemerintah desa.

Sebanyak 64 perwakilan telah mengikuti pelatihan dan pembekalan bagi fasilitator restorasi gambut di tingkat desa dan tenaga pemetaan partisipatif pemetaan sosial. “Mereka akan mendalami keahlian fasilitasi masyarakat dan pemetaan sosial untuk mendukung implementasi strategi restorasi gambut. Mereka akan ditempatkan di desa-desa prioritas restorasi gambut Kalbar,” ungkap Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG, Myrna Safitri. Mereka ujung tombak pemerintah, membantu sosialisasi dan edukasi masyarakat desa. Mereka yang bekerja di tingkat tapak.

Para fasilitator ini akan bersinergi dengan pendamping desa, memfasilitasi penyusunan perencanaan desa yang memperhatikan aspek restorasi gambut. Para fasilitator akan mendampingi pembentukan dan penguatan kelembagaan masyarakat, termasuk kelembagaan ekonomi, seperti Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).

Selain fasilitator desa, pelatihan juga melibatkan tenaga pemetaan partisipatif dan pemetaan sosial. Tugas mereka membantu masyarakat membuat peta desa secara partisipatif serta mengumpulkan informasi dan data sosial yang dapat digunakan dalam perencanaan pembangunan desa dan kegiatan restorasi gambut. “Para fasilitator dibekali teknik resolusi konflik,” katanya.

Selanjutnya, BRG akan menambah fasilitator desa di 100 desa lain, bekerja sama dengan kelompok masyarakat sipil. Luasan wilayah yang tercakup dalam program Desa Peduli Gambut (DPG) sekitar 1 juta hektare.

Kepala Harian Tim Restorasi Gambut Daerah Kalimantan Barat, Marius Marcellus TJ, mengatakan, pemanfaatan lahan gambut oleh berbagai kepentingan, baik masyarakat maupun pelaku usaha, yang dianggap penyebab kebakaran lahan, rentan timbulkan konflik. “Pelaku usaha khawatir terhadap implikasi hukum, sedangkan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dengan memanfaatkan lahan gambut, bisa menjadi pihak yang dirugikan pula,” tandasnya. (Selesai)

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,