Cerita dari Persidangan Amisandi yang Terjerat Hukum Gegara Tolak PLTA Seko

Persidangan Amisandi, warga Seko yang berniat berdialog malah ditangkap terasa aneh. Saksi-saksi karyawan PLTA, PT Seko Power Prima, memberikan kesaksian beda dengan bekas perkara. Sebagian saksi malah tak tahu Amisandi, bahkan tak tahu kalau dia jadi pelapor! Sedangkan 13 warga Seko yang sudah vonis hukum berkirim surat ke Presiden Joko Widodo, agar melihat kasus yang menimpa wilayah mereka.

Sore pertengahan Juli 2016, di beranda rumah Andri Karyo di Desa Tana Makaleang, Seko Tengah, Luwu Utara, saya bertemu Amisandi, seorangpensiunan tentara. Mata selalu melotot saat embahas topik serius. Sedikit kaku dan tak bisa tertawa lepas.

Deru mesin dari kenalpot motor tukang ojek yang mengambil haluan saat hendak berbelok ke Desa Hoyane atau sebaliknya, kadang-kadang membenamkan suara kami. Tiba-tiba, salah satu dari mereka bertabrak. Beras, kopi, kebutuhan lain yang digandeng terjerembab bersama. Pengemudi, saling tertawa lalu masing-masing mengangkat motor. Tak ada kemarahan dalam kecelakaan itu. Inilah Seko, tanah penuh kasih.

Tak selang lama, seorang lelaki melintas di depan rumah. Berjalan kaki, tak melihat ke kami. Amisandi dan Andri Karyo yang asyik bercerita, tiba-tiba terdiam. “Dia itu keluarga juga. Om saya malah. Tapi dia pro pembangunan PLTA,” kata Andri.

Sejak 2014,  rencana pembangunan PLTA oleh PT Seko Power Prima mulai sosialisasi di Seko, beberapa orang mulai membuat kubu. Pro kontra terjadi.

Sebagian memilih mendukung termasuk gerbong kepala desa–baik Tana Makaleang dan Hoyane –sebagian menolak.

Bagi warga penolak, pertemuan-pertemuan di rumah Andri. Mereka berembug dan memikirkan nasib mereka kelak. Beberapa informasi awal melesat menghampiri warga. Salah satuny:  PLTA hanya kedok membawa pertambangan ekstraktif di Seko. Atau pula PLTA akan membuat warga di relokasi. PLTA akan menghilangkan lahan pertanian warga. PLTA untuk pertambangan.

Baca juga: Kala Protes PLTA, Belasan Warga Seko Ditangkap

Adri Karyo, penentang utama. Dia tameng saat membuat aksi demonstrasi. Mereka bahkan menduduki lokasi eksplorasi dan menahan alat berat perusahaan. Sampel tanah dan batuan direbut kembali dan dibuang ke sungai.

Seko Power Prima, membalas dengan membawa rombongan kepolisian. Dari mulai brimob, polisi dari Luwu Utara, hingga Polwan.

Pada akhir 2016, 13 warga ditangkap polisi. Mereka dituduh menjadi perusuh. Pada Februari 2017, 13 orang itu vonis tujuh bulan penjara.

Belakangan, ketika sidang Andri dan warga lain masih berlanjut, Amisandi ditangkap. Kini, persidangan Amisandi masih berlangsung dengan tuduhan pengancaman karyawan Seko Power Prima pada 28 Desember 2016.

 Baca juga: Konflik PLTA Seko, Mau Dialog Malah Ditangkap

Proses sidang ketujuh, agenda mendengarkan saksi jaksa pada 20 April 2017. Saya berada dalam ruang sidang Pengadilan Negeri Masamba di Luwu Utara.

Amisandi duduk pakai rompi tahanan orange. Dia menghadap hakim. Empat pengacara di sisi kanan. Dua Jaksa Penuntut Umum sisi kiri.

“Bagaimana rasanya menghadapi sidang?” tanya saya sebelum Amisandi memasuki ruangan.

“Kuat dan semangat!” jawab Amisandi.

“Bagaimana kalau bapak kelak tak bebas?”

“Berjuang itu, ujungnya bukan di penjara. Jalan terus. Kalau polisi makin kuat dan semena-mena. Warga juga akan makin kuat.”

 

Lembah dan Sungai Betue yang kelak akan jadi bendungan buat pembangunan PLTA oleh PT Seko Power Prima. Foto: Eko Rusdianto

 

Saksi janggal

Pertemuan ini kali kedua saya dengan Amisandi. Kali ini, tak ada kopi di teras. Tak ada tatapan ke pohon nira yang memperlihatkan Bunglon berjalan pelan. Melainkan berbincang sambil berdiri. Masing-masing kami memegang terali besi.

Amisandi hanya beberapa menit duduk di tempat itu lalu berpindah di samping Nursari, tim pengacara yang duduk paling ujung. Dia menyaksikan Ginandjar Kurli, Manager Operasional Seko Power Prima ambil sumpah bersaksi sebenar-benarnya.

Dua hari sebelum proses pengadilan itu, saya bertemu Ibrahim, tim pengacara dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara. “Persidangan Amisandi seperti pradilan sesat,” katanya.

Empat saksi, kata Ibrahim, dalam fakta persidangan membantah semua pengakuan mereka dalam berkas perkara.

Aris Tejang karyawan Seko Power Prima, pelapor dalam berkas perkara menyatakan Amisandi mengancam perusahaan, membawa senjata tajam dan bikin trauma.

“Itu BAP bunyi begitu. Fakta persidangan, Aris Tejang tak merasa takut. Bahkan tak tahu jika dia jadi pelapor,” kata Ibrahim.

“Jadi bagaimana mungkin. Orang tak takut sedikitpun merasa terancam?” ujar Ibrahim.

Ungkapan itu pula yang ditanyakan Ibrahim saat sidang. “Aris adalah karyawan saya. Saya meminta dia jadi saksi. Sebagai tim perusahaan melaporkan Amisandi,” kata Ginandjar.

Sebelumnya, saksi lain, Yusnandar karyawan Seko Power Prima menyatakan tak pernah melihat Amisandi mengancam. Dia bertemu bahkan berbincang dengan Amisandi pada 28 Desember.

Saksi lain, Aldi Mathius yang diperiksa penyidik 10 Januari bahkan menyangkal pernah mengungkapkan sumpah di depan penyidik. Padahal dalam berkas perkara dia bilang mendapatkan ancaman Amisandi dengan kata,” Kalau kamu paksa pekerjaan disini, akan ada pertumpahan darah.”

Namun, enam saksi dalam berkas perkara temasuk dua pekerja dari Jawa, Suryana dan Dayat, menyatakan melihat Amisandi membawa parang panjang diikatkan di pinggang. “Di fakta sidang, Dayat dan Suryana menyatakan berada dalam rumah saat pertemuan 28 Desember. Itu membantah pernyataan sendiri. Jika tak melihat Amisandi,” ucap Ibrahim.

“Pertanyaan saya. Apakah ini bukan upaya kriminalisasi? Jika terus begini, maka muara akan menjadi proses peradilan sesat. Hakim harus jeli melihatnya.”

Sidang mendengarkan saksi Ginandjar, berlangsung Rabu 20 April 2017. Mulai pukul 14.00, berakhir 16.30, dengan dua kali penundaan karena listrik padam.

Ginandjar dihujani pertanyaan dari hakim dan tim pengacara, berkali-kali telihat mengubah gaya duduk. Terkadang tangan kiri jadi topangan dan kaki bergoyang-goyang.

“Apakah saksi (Ginandjar) tahu mengapa warga menolak PLTA,” kata hakim.

“Tahu. Karena mereka mengira tanah mereka akan tenggelam,” kata Ginandjar.

“Apakah saksi dalam hal ini perusahaan sudah memiliki Amdal dan sudah sosialisasi ke Masyarakat?”

“Sudah Pak. Berkali-kali,” kawab Ginandjar.

“Apakah saksi tahu SK 300 tahun 2004?”

“Tahu.”

“Pernah baca?”

“Pernah tapi sebagian.”

“Apakah saksi tahu keberadaan masyarakat adat Seko?” lanjut hakim.

“Tidak tahu.”

Akhirnya, terkait soalan masyarakat adat, Ginandjar, pun memperlihatkan surat tugas atau surat persetujuan yang dikeluarkan Kedatuan Luwu (Seko bagian Kedatuan Luwu yang kini berpusat di Palopo) yang mendukung operasi PLTA. Surat itu dikeluarkan Januari 2015 dengan tandatangan Andi Bau Iwan Alamsyah Djemma A Barue, sebagai Datu Luwu.

Meski demikian, Andi Bau Iwan, bukanlah Datu Luwu yang diakui pemerintah. Datu Luwu kini adalah Andi Maradang Mackulau opu To Bau.

Surat lain adalah persetujuan Ketua Dewan Adat Seko (DAS) yakni Barnabas Tandi Paewa. “Sepengtahuan saya, Seko terdiri dari beberapa masyarakat adat,” kata Andi Maradang.

Terkait kepengurusan Barnabas sebagai ketua dewan adat Seko pun tanpa sepengatahuan istana Kedatuan Luwu. “Saya belum tahu.”

Dalam persidangan itu, berkali-kali Ginandjar menyatakan dokumen izin mereka miliki sudah lengkap. Dari Amdal, persetujuan pemerintah daerah hingga izin kehutanan di Sulawesi Selatan.

Soalan lain, katanya, mengenai ketakutan warga ada tambang akan mengikuti PLTA, ditampik tegas. “Tidak mungkin rencana PLTA diubah jadi tambang. Itu tidak masuk akal,” katanya.

Namun, dokumen rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2015-2102, pada halaman 408 untuk proyeksi kebutuhan tenaga listrik di Sulawesi Selatan, dinyatakan bila pertumbuhan ekonomi di Sulsel tinggi menjadikan permintaan listrik tinggi. Beberapa investor telah mengajukan permohonan sambungan listrik ke PLN untuk keperluan industri pengolahan bahan tambang (smelter) di Bantaeng dan Luwu (Kecamatan Bua). Rencana kebutuhan daya listrik mencapai 600 MW.

Dalam RUPTL itu, dijelaskan hingga 2024, pembangkit baru akan 3.564 MW. Estimasi beban puncak pelanggan 2.782 MW.

Akhirnya, kata Ibrahim, kekhawatiran mengenai peruntukan listrik untuk pertambangan terlihat jelas. “Apakah listrik di Seko murni kebutuhan masyarakat? Itu yang kita pertanyakan lagi,” katanya.

Tak hanya itu, Januari 2017, perusahaan PT Arebamma Kalla sedang pembahasan Amdal untuk penambangan bijih besi di Seko.

Tahun 1992, Arkeolog berkebangsaan Inggris, Ian Caldwell bersama seorang rekan telah melakukan perjalanan dan menjelaskan mengenai potensi pasir besi di sepanjang pegunungan antara Rongkong, Seko, hingga Kalumpang (Sulawesi Barat).

“Apa yang kami pelajari dari perjalanan ini? Pertama, terdapat banyak biji besi antara Sabbang dan karama. Tambang-tambang besi, bila itu istilah yang tepat, berupa lubang galian tempat bijih besi ditambang,” tulis Ian Caldwell dalam laporan Menembus Daratan Tinggi Sulawesi Selatan.

“Yang jelas. Saat ini, kami masih dalam tahap eksplorasi. Melihat dan mengukur tekanan dan jalur air kelak. Untuk bicara dampak kita belum bisa, karena belum dalam tahap kontruksi,” kata Ginandjar di luar persidangan.  “Biarkan kita jalan dulu dong.”

 

Warga Seko yang terjerat hukum (pakai baju tahanan wargan orange) bersama keluarga, usai vonis hukuman tujuh bulan penjara. Foto: Desma Warty

 

Padahal, sebelum pembuatan Amdal, perusahaan harus mulai memetakan dan melihat utuh kajian lingkungan. “Harusnya masyarakat tahu, bagaimana dampak kelak. Amdal kan menjelaskan itu. Kenapa harus menunggu tahap konstruksi?” kata Ibrahim.

Amran Achmad, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin–pernah jadi tim penilai Amdal Sulawesi Selatan– mengatakan, Amdal itu dokumen dasar untuk pembangunan. Segala macam dampak baik itu biofisik maupun sosial budaya sudah harus diketahui. “Jadi tidak benar perusahaan tak bicara dampak, walaupun baru eksplorasi,” katanya.

“Mungkin saja perusahaan tidak mau membuka dampak-dampak yang akan terjadi, atau ia (perusahaan) tidak tahu apa isi dokumen Amdal.”

 

Surat untuk Presiden Jokowi

Pada 25 April 2017, Pemerintah Daerah menggelar jumpa pers, menghadirkan Kepala Desa Tana Makaleang, Embonnatana, dan Hoyane. Hadir pula Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriyani, Kapolres Luwu Utara AKBP Dhafi.

Dalam perjumpaan itu, tiga kepala desa dari Seko yang wilayah sedang polemik PLTA, membantah suasana kurang kondusif.

“Wilayah kami kondusif, tak ada intimidasi warga,” kata Kepala Desa Hoyane, Esra Nombe, seperti diberitakan koranseruya.com

Masih dalam pertemuan sama, Kasatreskrim Polres Luwu Utara AKP M Tanding, bahkan menyatakan, kepolisian masih memiliki target pencarian beberapa warga Seko yang disanyalir biang kerok serta tukang provokasi.

Dua hari setelah pertemuan, 27 April 2017, Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Luwu Utara (Pemilar) mengunjungi 14 warga Seko di Rumah Tahanan Masamba.

Adam Husein,  Ketua Pengurus Pusat Pemilar ikut tergabung dalam Aliansi Solidaritas Peduli Seko, berdiskusi dan menghasilkan kesepakatan membuat surat untuk Presiden Indonesia.

Dominggus Paenganan seorang tervonis tujuh bulan, menjadi juru tulis surat itu. Surat ditulis pakai tinta hitam. Dalam isi surat, dia menceritakan kegelisahan masyarakat Seko setelah masuk PLTA. “Terlalu banyak tindakan kekerasan terjadi terhadap masyarakat, penyerobotan lahan dan perampasan lahan tanah milik masyarakat. Dilakukan paksa oleh karyawan PT Seko Power Prima. Kekerasan ini didukung penuh Pemerintah Luwu Utara, anggota dewan, Kepolisian dan uknum TNI,” tulis surat itu.

Surat sebanyak empat halaman. Satu halaman menjadi lampiran dimana 13 orang tahanan membubuhkan tandatangan masing-masing.

Kepala lampiran diberi kalimat: “Kami warga Seko ditangkap karena berani menolak PLTA PT Seko Power Prima. Tolong selamatkan kami!”

Momentum pembuatan surat ini dianggap tepat, sebab Jumat malam 28 April, grup musik Slank akan jadi tamu penghibur di Masamba dalam rangkaian HUT Luwu Utara.

Siang sebelumnya, personil band Slank disajikan makanan khas dan makan nasi tarone dari Seko. “Malamnya setelah konser selesai, saya berikan surat itu pada Kaka Slank,” kata Adam.

“Saya tak bisa lama berbicara, karena polisi menjaga saya. Jadi kami berharap dan orang Seko berharap, melalui Kaka surat itu dapat sampai ke tangan Presiden.”

 

lembar pertama surat 13 warga Seko yang sedang dalam perjara kepada Presiden Jokowi.

 

Lembar terakhir surat warga Seko kepada Presiden Jokowi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,