Inilah Pulau Salat di Sungai Kahayan, yang Dijadikan Lokasi Pra-Rilis Orangutan

Matahari mulai terasa terik saat perahu yang kami tumpangi melaju menyusuri Sungai Kahayan di Desa Pilang, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng. Sepanjang kanan dan kiri sungai terpampang pepohonan khas ekosistem gambut. Galam, rasak dan lainnya. Membuat pandangan mata sepanjang perjalanan terasa sejuk, meski terik matahari terasa membakar.

Sampai pada sebuah percabangan sungai, perahu bergerak ke arah kiri. Menyusuri sebuah kanal menuju Pulau Salat. Tempat ini yang dijadikan lokasi pra rilis orangutan. Ia dikelola oleh BOSF (Borneo Orangutan Survival Foundation) bersama PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (PT SSS). Saat Mongabay Indonesia tiba di lokasi akhir April lalu, tampak beberapa orangutan asyik bergelantungan di atas pohon.

Kondisi Pulau Salat sendiri bisa terbilang cukup baik. Tutupan lahannya terjaga baik. Pepohonan menjulang ke atas, membuat suasana terasa rimbun. Meski wilayah tersebut sebenarnya merupakan Area Penggunaan Lain (APL). Vegetasi di wilayah tersebut masih lebat. Tak heran jika BOSF dan PT SSS menjadikan tempat tersebut sebagai wilayah pra rilis orangutan.

Pulau Salat sendiri terletak di antara Sungai Kahayan di sebelah timur dan Sungai Nusa di sebelah barat. Luasnya mencapai 3.149 hektar.  Sebagian wilayah di utara dan tengah pulau telah mengalami kerusakan akibat kegiatan manusia. Bagian selatan masih berada dalam kondisi baik dan ditutupi oleh hamparan hutan rawa gambut asli.

Daerah yang masih bagus digunakan untuk lokasi pra rilis orangutan. Terbagi dua wilayah, Pulau Badak Besar (496 hektar) dan Badak Kecil (104 hektar). Ada pun lahan yang sudah dibeli oleh BOSF 665 hektar dan yang dibeli oleh PT SSS 2.089 hektar. Diperkirakan nantinya dapat menampung 200 individu orangutan. Di lokasi rehabilitasi lain milik BOSF, Nyaru Menteng, kini ada sekitar 700 individu orangutan yang perlu direhabilitasi dan menunggu untuk dilepasliarkan ke alam.

“Di Pulau Salat inilah orangutan akan ditempatkan sebelum nantinya dilepasliarkan ke alam,” jelas CEO BOSF Jamartin Sihite.

Menurutnya, Pulau Salat memiliki daya dukung ideal dengan vegetasi yang terpelihara baik, terisolasi oleh air sungai sepanjang tahun, dan tidak teridentifikasi memiliki populasi orangutan liar. Cukup luas untuk mendukung kemampuan adaptasi, sosialisasi, dan ketersediaan pakan orangutan.

Hingga saat ini sudah ada 24 orangutan yang dipindahkan dari Pusat Reintroduksi Orangutan Nyaru Menteng ke Pulau Salat. Pemindahan pertama 12 individu orangutan dilakukan pada pada November 2016, pemindahan kedua juga 12 individu orangutan dilakukan pada 5 April 2017 lalu.

“Ini adalah pulau pra pelepasliaran. Dalam jangka panjang, ini akan dijadikan sanctuary, suaka buat orang utan yang tidak bisa dilepasliarkan.”

 

Gandeng Perusahaan Sawit

Jamartin mengatakan, konservasi orangutan merupakan pekerjaan banyak pihak. Semua pihak harus terlibat menjadi solusi untuk penyelamatan orangutan.

Pilihan untuk bekerjasama dengan perusahaan sawit, PT SSS, menurutnya karena perusahaan itu menunjukkan kepedulian terhadap orangutan. PT SSS telah membeli lahan di Pulau Salat yang pengelolaannya diserahkan kepada BOSF.

“Orangutan keluar dari hutan karena ada konversi hutan, bukan hanya sawit, tapi juga tambang dan lainnya. Lalu kami coba dekati PT SSS ini. Mau gak jadi bagian dari solusi? Yang paling mudah buat PT SSS adalah beli tanahnya, lalu diberikan kepada BOSF. Tanahnya tetap punya mereka, wilayah ini berada di luar konsesi mereka. Mereka yang beli areal tambahan untuk didedikasikan bagi orangutan,” jelas Jamartin.

Presiden Direktur PT SSS, Vallauthan Subraminam menyebut kerjasama dengan BOSF dalam mengelola Pulau Salat merupakan strategi untuk menerapkan konsep-konsep keberlanjutan dalam kegiatan usaha perusahaannya. Apalagi, PT SSS menurutnya telah menjadi anggota RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil). Saat ini sebagian kebun dalam perusahaan pun dalam proses sertifikasi RSPO, ISO dan ISPO (Indonesian Suistainable Palm Oil).

“Kalau kita diam, tak melakukan apa-apa, tak akan jadi apa-apa juga. Kami ingin tunjukkan bahwa kami perusahaan yang bertanggungjawab. Agar industri sawit dapat menjadi industri yang suistanable dan orangutan tak perlu lagi terganggu,” katanya.

Untuk kedepan, Subraminam menyebut PT SSS tidak akan lagi meminta izin baru kepada pemerintah. Strategi lebih dengan cara menanami area di wilayah konsesi yang belum ditanami dan lewat akuisisi lahan perusahaan lain.

“Saat ini kami punya konsesi 100 ribu hektar, yang sudah ditanami sekitar 70 ribu hektar. Target kami luas kebun akan bertambah menjadi 150 ribu hektar dalam lima tahun ke depan lewat akuisisi. Strateginya menjadi perusahaan yang low cost dan high productivity. Kami tidak mau lebih luas dari 150 ribu hektar,” katanya.

Terkait Pulau Salat, sebagian keuntungan perusahaan akan dialokasikan untuk pelestarian orangutan dan dukungan operasional. Untuk mendukung program pemberdayaan masyarakat sekitar, kedepan akan dikembangkan pula konsep ekowisata seperti homestay dan sarana transportasi yang dikelola masyarakat setempat.

“Kami akan bantu biaya operasional Pulau Salat. Tahun ini rencananya Rp18-20 miliar. Termasuk untuk homestay yang sebagainya. Untuk 10 tahun ke depan kurang lebih Rp100 miliar akan kami sediakan. Bantuan bersifat hibah dari perusahaan,” lanjut Subraminam.

 

Orangutan di Pulau Salat. Foto: Indra Nugraha

 

Dukungan dari Para Pihak

Direktur RSPO (Roundtable Suistainable Palm Oil) Indonesia Tiur Rumondang menyambut gembira kerjasama PT SSS dengan BOSF yang menunjukkan tanggungjawab mereka terhadap lingkungan maupun sosial.

“Semangat RSPO adalah bagaimana menggandeng inisiatif keberlanjutan yang nyata. Perusahaan tak hanya mengedepankan profit. Tapi juga people dan planet. Jadi keluarannya upaya penyelamatan lingkungan berbeda-beda. Tergantung kebutuhan dimana mereka beroperasi.”

Tiur juga mendorong perusahaan anggota RSPO lainnya untuk melakukan hal serupa. Meskipun dalam konteks dan mekanisme yang berbeda.

“Di sistem RSPO ada model kompensasi dan remediasi. Dalam konteks itu perusahaan ketika harus melakukan recovery terhadap suatu lahan yang rusak karena operasi sawit, mereka akan melakukan hal seperti ini. Baik di dalam maupun di luar konsesinya. Jadi yang melakukan hal seperti ini sudah pasti banyak. Ada yang mereka kerjakan sendiri, ada juga yang dikerjasamakan dengan pihak lain.”

Bupati Pulang Pisau Edy Pratowo menyebut pihaknya akan mendorong APBD dalam pengembangan ekowisata di Pulau Salat, termasuk fasilitas menuju ke Pulau Salat dan penyediaan kapal susur sungai. Rencananya akan dimasukkan dalam APBD 2018.

“Pulau Salat akan menjadi salah satu tujuan pengembangan ekowisata ke depan. Image orang tentang Pulang Pisau selama ini adalah lokasi kebakaran. Sekarang didorong untuk konservasi, tempat penyelamatan orangutan,” katanya.

Jika merujuk pada tata ruang, Pulau Salat merupakan APL. Namun menurutnya, Pemkab Pulang Pisau berkomitmen dan sejalan dengan apa yang dilakukan oleh BOSF untuk menjadikan area tersebut untuk kepentingan area konservasi.

Saat dijumpai terpisah, Gubernur Kalteng Sugianto Sabran, menyebut pihaknya akan mengeluarkan Pergub dan Perda untuk mendorong agar perusahaan dapat mengalokasikan lahan untuk konservasi.

“Saya berharap, perusahaan-perusahaan di Kalteng, baik itu perkebunan, HPH maupun pertambangan agar dapat menyediakan lahan untuk konservasi. Jadi perusahaan tidak hanya membangun ekonomi, tapi lingkungan harus terjaga. Saya inginnya ada konservasi untuk hutan. Andai luasan 10 ribu hektar, harus ada persentase dari luasan lahan itu 10-20 persen,” tutup Sugianto.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,