Kepolisian Republik Indonesia berjanji untuk melindungi nelayan yang masih menggunakan alat penangkapan ikan (API) cantrang dan sejenisnya. Janji tersebut muncul, karena cantrang belum resmi dilarang setelah Pemerintah Indonesia menambah waktu masa transisi hingga akhir 2017 mendatang.
“Untuk cantrang ini, mari bersama-sama kita aktif melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada nelayan-nelayan kita, agar beralih alat tangkap sebelum batas akhir yang telah ditentukan, akhir tahun 2017,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti awal pekan ini.
Selain perlindungan terhadap nelayan yang masih menggunakan cantrang, Susi menjelaskan bahwa Polri juga akan memberikan perlindungan dalam bentuk lain kepada nelayan yang ada di lautan lepas dan juga di daratan.
“Saya himbau kepolisian untuk menerapkan penegakan hukum yang berkeadilan, dengan mengutamakan perlindungan bagi nelayan kecil, guna mendorong kesejahteraan nelayan,” ucap dia.
Menurut Susi, untuk mendukung upaya perlindungan terhadap nelayan, pihaknya berkoordinasi dengan Polri untuk bersama-sama menetapkan beberapa instrumen perundang-undangan perlindungan nelayan. Satu di antaranya adalah Undang-Undang Perikanan Nomor 7 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2017.
Susi menyebutkan, perlindungan yang diberikan kepada nelayan, merupakan perlindungan dari hukum dan juga keselamatan. Di antara yang masuk dalam perlindungan tersebut, adalah pembebasan nelayan kecil dari kewajiban untuk memasang sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system/VMS) dan pembebasan nelayan kecil dari kewajiban memiliki SIUP/SIPI/SIKPI.
Kemudian, kata Susi, perlindungan lainnya adalah membebaskan nelayan kecil dari kewajiban membayar pungutan perikanan, kebebasan nelayan kecil untuk melakukan penangkapan ikan di seluruh WPP RI, dan penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi.
Untuk perlindungan yang disebut terakhi, Susi berkata, itu adalah cara membebaskan nelayan dari biaya penerbitan perizinan yang terkait dengan penangkapan ikan. Selama ini, perizinan yang berlaku terkait dengan penangkapan ikan bagi nelayan kecil adalah surat ukur, surat tanda bukti lapor kedatangan, dan keberangkatan kapal.
“Selain itu, ada juga surat persetujuan berlayar yang tidak dipungut biaya dalam pengurusannya,” tutur dia.
Jauhkan Pidana, Lakukan Sosiliasi
Di samping perlindungan nelayan kecil, Susi mengungkapkan, pihaknya juga meminta aparat untuk memberi penekanan dalam penanganan atas dugaan pelanggaran ketentuan pidana perikanan. Utamanya, penanganan pelanggaran ketentuan pidana perikanan yang dilakukan nelayan kecil.
“Misalnya itu terkait penggunaan alat tangkap terlarang dan berlayar tanpa Surat Persetujuan Berlayar (SPB),” ucap dia.
Menurut Susi, jika memang ditemukan bentuk pelanggaran seperti itu, dia meminta para nelayan tidak diberikan sanksi pidana dan diberikan pendekatan berupa sosialisasi. Jika ternyata ada nelayan yang terkena sanksi pidana, itu akan berdampak pada kelangsungan hidup keluarga nelayan.
“Jangan sampai nelayan kecil harus dipenjara, kapal terpaksa dirampas, dan akhirnya mereka terhambat dalam mencari nafkah,” jelas dia.
Lebih lanjut Susi mengatakan, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomo 11 Tahun 2015, pendekatan penegakan hukum pidana semestinya dijadikan ultimum remedium bagi nelayan kecil yang diduga melakukan pelanggaran. Sesuai dengan Inpres, seharusnya Polri mengutamakan upaya preventif dan edukatif dalam penegakan hukum di bidang perikanan terhadap nelayan kecil.
“Mari kita bersama-sama melakukan pendekatan pembinaan kepada seluruh nelayan kecil yang melakukan pelanggaran ketentuan tindak pidana perikanan. Khususnya untuk pelanggaran berlayar tanpa Surat Persetujuan Berlayar dan pelanggaran penggunaan alat tangkap,” ajak dia.
Akan tetapi, Susi meminta, aparat boleh melakukan tindakan pidana jika ditemukan pelanggaran seperti kegiatan penangkapan ikan yang bersifat destruktif (destructive fishing), seperti menangkap ikan dengan menggunakan bom ikan.
Cantrang Dilarang Per 1 Januari 2018
Sebelumnya, KKP memastikan bahwa cantrang masih bisa digunakan hingga akhir 2017. Keputusan tersebut diambil, karena masa peralihan API tersebut hingga sekarang belum selesai. Untuk itu, dalam waktu tujuh bulan tersisa, masa transisi bisa berjalan dengan baik dan selesai peralihan.
Susi Pudjiastuti mengakui bahwa pelarangan cantrang tidak akan berlaku sampai batas masa transisi berakhir pada 31 Desember 2017. Kebijakan tersebut akan diperkuat melalui surat edaran yang akan disebar ke seluruh daerah di Indonesia.
“Kebijakan ini berlaku nasional, namun tidak lintas provinsi. Kalau Jawa Tengah, ya berlaku di Jawa Tengah saja . Jadi kalau keluar Jawa Tengah, itu tidak berlaku. Nanti ada konflik horizontal lagi antar nelayan gara-gara berebut lahan di laut,” ucap dia.
Menurut Susi, meski kebijakan berlaku nasional, tapi sebenarrnya pengguna API cantrang dan sejenisnya itu sebagian besar ada di Jawa Tengah. Sementara, untuk provinsi lain itu jumlahnya masih sedikit.
“Sekarang kita benahi dulu cantrang ini. Harapannya, jika sampai akhir tahun ini semua sudah berganti alat tangkap, maka pembenahan akan dilanjutkan. Nelayan akan rugi jika tetap pakai (cantrang),” jelas dia.
Susi mengungkapkan, sejak Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan (KP) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan API Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik diterbitkan, dia mengajak kepada para pengguna API terlarang itu untuk segera menggantinya.
Setelah polemik cantrang meruncing, KKP merilis data terbaru jumlah kapal yang mengajukan penggantian API cantrang. Semula, KKP merilis jumlahnya ada 2.990 kapal. Namun, KKP kemudian merilis data terbaru dan menyebutkan bahwa peminatnya mencapai 15.28 kapal.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) KKP Sjarief Widjaja menjelaskan, dengan munculnya kebijakan baru untuk memperpanjang masa transisi, dia optimis proses penggantian akan berjalan sukses hingga akhir 2017 mendatang.
“Kita gunakan anggaran dari DJPT untuk melaksanakan program ini,” jelas dia.
Selain melaksanakan penggantian, Sjarief mengatakan, pihaknya juga melakukan pendampingan kepada nelayan dan pengusaha yang menggunakan API cantrang dan sejenisnya. Pendampingan tersebut diharapkan bisa mengubah cara pandang para nelayan dan pengusaha dalam menggunakan alat tangkap perikanan.
“Jika cantrang dinilai bisa merusak ekosistem dan mengancam keberadaan ikan, maka seharusnya itu bisa dipahami dengan baik oleh nelayan dan pengusaha. Konsekuensinya, cantrang yang sudah mereka gunakan harus diganti segera,” tutur dia.
Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo memberikan tanggapan terkait polemik cantrang. Kepada media, Presiden menjanjikan Pemerintah akan berusaha memberikan solusi yang terbaik untuk para nelayan yang menggunakan API Cantrang.
“Percayalah bahwa kita akan memberikan solusi yang paling baik untuk nelayan,” ujar Presiden Joko Widodo akhir April di Tangerang, Banten.
Menurut Joko Widodo, untuk bisa memecahkan persoalan tersebut, dia bertemu dengan Susi Pudjiastuti dan membicarakan kebijakannya yang dianggap mempersulit nelayan tersebut. Selain itu, Presiden juga berjanji akan mengevaluasi dan melihat langsung ke lapangan tentang masalah tersebut. Dengan demikian, dia bisa menentukan arah kebijakan yang akan diambil oleh Pemerintah.
“Saya akan lihat dulu lapangannya seperti apa. Saya akan mengevaluasi kebijakan yang telah dilakukan oleh Ibu Menteri Kelautan dan Perikanan,” ungkapnya.