30 Tahun Konservasi di Laut, Ancaman Kerusakan Ekosistem Semakin Tinggi, Kenapa?

Tiga puluh tahun sudah Indonesia melakukan konservasi perairan pesisir dan pulalu-pulau kecil. Selama waktu tersebut, ada banyak capaian yang berhasil ditorehkan dan berdampak signifikan bagi kehidupan masyarakat di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Namun, menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan Brahmantya Satyamurti Poerwadi, selama kurun waktu tersebut, capaian yang ditorehkan tidak hanya bersifat positif saja, melainkan juga negatif.

Di antara hal negatif yang muncul setelah konservasi dilaksanakan, kata Brahmantya, adalah semakin tingginya ancaman kerusakan terhadap ekosistem laut di Indonesia. Kata dia, ancaman yang dirasakan Indonesia sekarang, merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.

“Dan yang pasti, ancaman tersebut dapat menyebabkan kerugian hingga miliaran dolar AS,” ujarnya di Jakarta akhir pekan lalu.

(baca : Mengawal Pelaksanaan UU Untuk Mencegah Kerusakan Ekosistem Laut)

 

 

Brahmantya kemudian menjelaskan, dari data yang dirilis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2016, didapatkan data bahwa terumbu karang yang kondisinya sangat baik di Indonesia tinggal 5,32 persen. Sementara, lebih dari 30 persen dinyatakan dalam kondisi kurang baik.

Diantara ancaman yang terus meningkat itu, menurut dia, adalah semakin tingginya kegiatan penangkapan ikan yang berlebih dan merusak, pencemaran dari daerah aliran sungai (DAS), pembangunan pesisir yang tidak terencana, dan perubahan iklim merupakan faktor ancaman bagi kesehatan ekosistem laut.

Untuk mencegah terus menurunnya kondisi terumbu karang, Brahmantya menyebutkan, pada tahun lalu disepakati bahwa ekosistem di laut harus dilindungi melalui penerapkan kawasan konservasi perairan (KKP). Konsep tersebut, harus diterapkan di seluruh Indonesia, utamanya di kawasan perairan yang dinilai rawan dari ancaman kerusakan.

“Para ahli dan praktisi sepakat bahwa KKP merupakan salah satu solusi terbaik untuk menekan ancaman terhadap ekosistem laut dan melindungi habitat penting untuk ikan memijah, tumbuh, berkembang dan mencari makan,” ungkap dia.

(baca : Terumbu Karang Pesisir Makassar Rusak Parah. Dampak Reklamasi?)

 

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, bersama Ulla Tørnæs, Menteri Kerja Sama Pembangunan Denmark, kala meninjau sampah di pesisir Jakarta. Foto: Lusia Arumingtyas

 

Untuk bisa melindungi ekosistem di laut, Brahmantya memaparkan, Pemerintah berupaya keras untuk membentuk KKP dan menambahnya sebanyak mungkin hingga mencapai target pada 2020 mendatang seluas 20 juta hektare. Komitmen tersebut menjadi harga mati, karena KKP disadari bisa menyelamatkan ekosistem yang sedang terancam sekarang.

Lebih lanjut Brahmantya menerangkan, pengelolaan sebagian kecil kawasan perairan laut dalam sistem KKP diharapkan bisa melindungi habitat dan keanekaragaman hayati yang rusak untuk pulih kembali. Selain itu, diharapkan juga perlindungan bisa memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi secara berkesinambungan bagi masyarakat.

“Hingga Desember 2016, luas kawasan yang telah dibentuk mencapai 17,98 juta hektar dengan total KKP mencapai 165 lokasi yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Namun, diperkirakan kurang dari 15 persen KKP yang ada telah memenuhi target pengelolaannya,” papar dia.

(baca : Begini Cara Anak Muda Ternate Lindungi Terumbu Karang)

 

Kondisi karang di Pulau Badi, Pangkep, Sulsel yang rusak karena faktor eksploitasi dan pembiusan untuk penangkapan ikan. Foto: PT Mars Symbioscience Indonesia

 

Kualitas Laut Turun

Direktur Program Coral Triangle WWF-Indonesia Wawan Ridwan menjelaskan, selama tiga puluh tahun pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, kualitas laut beserta sumber dayanya diketahui terus mengalami penurunan. Namun, penurunan tersebut, pada saat bersamaan bisa diperbaiki dan dikembalikan pada tingkat kelestarian yang mampu menopang kehidupan manusia.

“Desain KKP yang berbasis keilmuan dan distribusi manfaat sosial serta ekonomi, dan implementasi pengelolaan KKP yang efektif merupakan faktor kunci untuk keberhasilan pengelolaan, karena dapat memberikan manfaat yang besar dengan biaya pengelolaan yang kecil,” jelasnya.

Karena menjadi kunci, Wawan menyebut, salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pemangku kepentingan dan pengelola adalah bagaimana membuat desain dan strategi pengelolaan KKP yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan secara seimbang, antara konservasi dengan pemanfaatan.

Desain tersebut, kata dia, menjadi upaya Indonesia untuk mendorong efektivitas pengelolaan KKP dan mentransformasi perikanan Indonesia dan mitranya dalam membangun kerangka kerja untuk perikanan berkelanjutan.

“Kerangka kerja ini dibangun berdasarkan berbagai kajian ilmiah, pembelajaran serta cerita sukses dalam upaya melindungi dan mengelola sumber daya laut di Indonesia. Oleh karena itu, kerangka kerja ini diharapkan dapat diadopsi dan direplikasi di berbagai wilayah di Indonesia,” papar dia.

(baca : 50 Persen Terumbu Karang Indonesia Rusak Parah)

 

Kondisi terumbu karang di perairan Pulau Sangiang, Serang, Banten yang rusak. Foto : Yayasan Kehati

 

Sebelumnya, Campaign and Mobilization Manager WWF Indonesia Dewi Satriani menjelaskan, Indonesia memang ditargetkan bisa memiliki luasan kawasan konservasi laut seluas 20 juta hektare pada 2020 mendatang. Namun, dari total luasan tersebut, Indonesia baru berhasil mewujudkan kawasan konserasi laut seluas 17 juta hektare dan tersebar di 165 taman laut di seluruh Indonesia.

WWF Indonesia mencatat, dari seluruh luasan kawasan konservasi yang sudah ada, baru 10 persen di antaranya yang sudah berhasil dikelola dengan baik. Pengelolaan tersebut, dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Menurut dia, kawasan yang sudah terkelola dengan baik, adalah kawasan yang sudah diawasi dengan rutin oleh pengelolan kawasan.

“Selain itu, kawasan-kawasan tersebut juga sudah dilakukan zonasi dengan baik. Makanya, dari 17 juta kawasan konservasi yang sudah ada di Indonesia, baru sepuluh persen saja yang sudah dikelola dengan baik,” ungkap dia.

Di luar kawasan yang sudah dikelola, Dewi menyebut, 90 persen kawasan konservasi laut statusnya hanya dikelola lewat atas kertas saja. Dengan artian, pengelolaan untuk 90 persen kawasan konservasi laut tersebut, dilakukan tidak secara langsung.

“Mengelola taman laut itu sangatlah besar. Tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja, seperti Pemerintah. Tapi itu butuh bantuan kita semua,” ujar dia.

(baca : Seni Bawah Laut Teguh Ostenrik untuk Terumbu Karang Indonesia)

Selain melalui KKP, pengelolaan ekosistem perairan juga dilakukan Pemerintah Indonesia dengan melibatkan nelayan tradisional. Keterlibatan tersebut, bertujuan untuk menjaga laut agar bisa dimanfaatkan secara bersama dan berkesinambungan antara nelayan lokal dengan yang lain.

 

Jejak terumbu karang yang rusak akibat bom ikan di Pulau Popaya masih terlihat. Foto: Christopel Paino

 

Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengatakan, keterlibatan nelayan tersebut menjadi langkah bagus untuk melaksanakan konservasi secara nasional di kawasan perairan. Termasuk, untuk mewujudkan target kawasan konservasi laut seluas 20 juta hektare pada 2020.

Untuk saat ini, kawasan yang masuk dalam program konservasi laut, kata Brahmantya, adalah di Pulau Weh (Aceh), Pulau Seribu (Jakarta), Laut Sawu (Nusa Tenggara Timur), Raja Ampat (Papua Barat), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan Pulau Pieh (Sumatera Barat).

“Di bentang laut Anambas saja, sedikitnya ada 1,7 hektare untuk konservasi, belum lagi di kawasan lain. Ini akan ada penambahan site lagi. Karena target itu adalah 20 juta hektare pada 2020 nanti,” ungkap dia.

Keterlibatan nelayan tradisional tersebut, menurut Brahmantya, dipandu melalui buku pedoman khusus yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dalam pedoman tersebut, dipandu bagaimana nelayan bisa tetap memanfaatkan wilayah perairan untuk perikanan tangkap dan budidaya, tapi sekaligus juga bagaimana mengelolanya sehingga konservasi laut tetap berjalan.

“Kawasan konservasi merupakan instrumen penting untuk menjaga habitat utama atau spawning and nursery ground yang ada di lautan. Karenanya kita libatkan semua pihak untuk menjaganya,” jelas dia.

Dengan dilibatkannya nelayan tradisional, Brahmantya berharap tabungan ikan akan ada lagi. Hal itu, sejalan dengan harapan Indonesia untuk terus melipatgandakan tabungan ikannya di seluruh wilayah perairan. Apalagi, kata dia, Indonesia saat ini menjadi negara yang dikenal luas karena memiliki tabungan ikan paling banyak di dunia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,