Restorasi Lahan Satu Juta Hektare, Sumatera Selatan Butuh Dana Besar. Apa Keuntungannya?

 

 

Pemerintah Sumatera Selatan membutuhkan dana sekitar 2,7 miliar Dollar Amerika untuk memulihkan satu juta hektare lahan yang terdegradasi, baik gambut maupun mineral, hingga 2030. Keuntungan apa yang didapatkan dengan anggaran sebesar itu?

“Selain keuntungan ekologi, bentang alam tetap terjaga terutama keberadaan hutan, hidrologi, dan keanekaragamanhayati; juga ekonomi tertata,” urai Najib Asmani, staf khusus Gubernur Sumatera Selatan bidang perubahan iklim, di sela pertemuan tingkat tinggi Bonn Challenge untuk negara-negara Asia Pasifik, di Palembang, 10 Mei 2017 lalu.

“Namun dana sebesar itu bukan dibutuhkan semuanya saat ini, tapi bertahap hingga 2030. Sejalan dengan target Bonn Challenge yakni memulihkan lahan seluas 350 juta hektare di dunia,” katanya.

 

Baca:  Bonn Challenge Asia Pasifik, Tatangan Tidak Sebatas Restorasi Lahan

 

Secara ekonomi, kata Najib, dana yang didapatkan diperkirakan mencapai dua kali dari anggaran konservasi dan rehabilitasi lahan terdegradasi tersebut. “Sumber pendapatan melalui jasa lingkungan, perkebunan dan pertanian yang lestari dan berkelanjutan, serta energy bersih atau nonfosil.”

Namun, keuntungan lebih besar, jelas Najib, terjaganya hutan dan tata kelola air, sehingga menghindari ancaman bencana alam akibat perubahan iklim. Ini keuntungan sangat besar, sebab dapat dinikmati semua makhluk hidup, khususnya manusia.

Dalam menjalankan program ini, tidak hanya satu pihak, harus melibatkan pemerintah, masyarakat, NGO, perusahaan, serta lembaga-lembaga international yang peduli lingkungan dan ekonomi berkelanjutan. “Kata kuncinya penyelamatan peradaban manusia di Sumatera Selatan,” katanya.

 

Baca Juga: Program Bonn Challenge di Sumatera Selatan Harus Lakukan Pengamanan Sosial, Seperti Apa?

 

Sebelumnya, Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin di hadapan peserta Bonn Challenge menjelaskan, peristiwa kebakaran hutan dan lahan gambut 2015 membuat pemerintahannya memprakarsai Kemitraan Rakyat-Swasta-Publik untuk Pengembangan Pertumbuhan Hijau dan Pengelolaan Lansekap Berkelanjutan, luasnya 8,9 juta hektare. Program ini menyelamatkan lahan yang rusak dengan penyelamatan ekologi, ekonomi, dan budaya.

“Pemerintah Sumatera Selatan telah menjaring enam lembaga nasional dan international guna membentuk program pengelolaan lansekap berkelanjutan bersama dengan anggaran sekitar 21 juta Dollar.”

 

Sebuah tongkang yang tengah mengisi batubara di Dermaga Batubara di Kertapati, di samping Kampung Ki Marogan. Foto: Taufik Wijaya

 

Lansekap Sumatera

Selain menyampaikan program restorasi berbasis lansekap berkelanjutan di Sumatera Selatan, Alex Noerdin juga berharap adanya dukungan pemerintah pusat, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, guna membentuk aliansi dengan pemerintah daerah lainnya di Sumatera. Tujuannya,  mengembangkan lansekap berkelanjutan di Pulau Sumatera.

Terhadap gagasan ini, pakar komunikasi lingkungan Dr. Yenrizal Tarmizi dari UIN Raden Fatah Palembang, sangat mendukungnya. “Itu gagasan cerdas,” ujarnya.

Menurut Yenrizal, dampak dari aktivitas ekonomi berbasis perkebunan dan pertambangan, ada dua wilayah lansekap terancam yang wilayah pesisir timur Sumatera berupa lahan gambut, serta wilayah Bukit Barisan berupa lahan mineral pegunungan dan perbukitan.

“Jika tidak ditata sejak awal, masyarakat Sumatera bukan hanya kehilangan keanekaragamanhayati tapi juga terancam krisis air dan pangan.”

Jadi, kata Yenrizal, lansekap atau bentang alam yang harus diperhatikan para kepala daerah di Pulau Sumatera adalah masa depan dua bentang alam tersebut. “Saya pikir gagasan yang disampaikan Alek Noerdin akan mendapat dukungan banyak pihak,” ujarnya.

Anwar Sadat, Ketua Serikat Petani Sriwijaya (SPS), menyatakan setuju soal pengembangan lansekap berkelanjutan untuk wilayah Sumatera. Tapi, ekonominya jangan terlalu dominan dikuasai oleh kelompok pelaku usaha. Harus lebih fokus pada kepentingan ekonomi masyarakat, khususnya yang berada di pedesaan. Selain itu, masyarakat adat juga harus menjadi prioritas. Bukan semata sosial budaya, juga basis ekonominya.

“Gagasan itu penting didukung, sebab menjawab tantangan masyarakat Sumatera dalam mengelola kekayaan alamnya,” ujarnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,