Seperti Apa Budidaya Perikanan Berbasis Ekosistem?

Menjaga kelestarian sumber daya alam di perairan laut Indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah. Dengan garis pantai sepanjang lebih dari 97.000 kilometer yang membentang dari Sabang di Aceh hingga ke Merauke di Papua, Indonesia ditasbihkan sebagai negara pemilik garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada.

Dengan garis pantai sepanjang itu, menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto, perlu usaha ekstra keras untuk menjaganya. Jika hanya mengandalkan kepada Pemerintah saja, itu akan sulit dilakukan.

“Kita semua yang harus menjaga laut ini beserta isinya. Jika tidak, maka tunggu saja kerusakan di laut,” ucap dia di Jakarta belum lama ini.

(baca : 2016, Perikanan Tangkap dan Budidaya Tetap Jadi Andalan)

 

 

Selain masyarakat umum, Slamet mengatakan, upaya untuk menjaga kelestarian alam di laut juga bisa dilakukan dengan memulai pemanfaatan sumber daya laut dengan menggunakan konsep berkelanjutan. Konsep tersebut, diyakini dia bisa menjaga potensi laut dengan baik.

“Selain sektor perikanan tangkap yang ikut memanfaatkan laut, sektor perikanan budidaya juga ikut memanfaatkannya. Makanya, sektor ini juga harus ikut menjaga sumber daya laut sebaik mungkin,” ujar dia.

Menurut Slamet, dalam beberapa tahun terakhir, isu lingkungan telah menjadi perhatian masyarakat global di berbagai negara di dunia. Fenomena penurunan daya dukung lingkungan akibat pengelolaan yang tidak terkendali, kata dia, justru akan mengancam eksistensi sumberdaya alam yang ada.

Oleh itu, Slamet menekankan pentingnya menjadikan aspek lingkungan sebagai pertimbangan utama dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDA di laut. Salah satunya, adalah dimulai dari sektor perikanan budidayayang pemanfaatannya akan dilaksanakan secara bertanggungjawab dan berkelanjutan.

(baca : Perikanan Budidaya Disuntik Anggaran 3 Kali Lipat, Lima Komoditas Digenjot Produksinya)

 

Suasana di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pasiran, Pulau Sabang, Aceh pada Minggu (01/05/2016). Ikan hiu menjadi salah satu tangkapan nelayan Sabang. Foto : M Ambari

 

Budidaya Berbasis Ekosistem

Untuk bisa mewujudkan perikanan budidaya berkelanjutan, Slamet memaparkan, pihaknya merancang pedoman tentang pendekatan pengelolaan perikanan budidaya berbasis ekosistem (Ecosystem Approach to Aquaculture/EAA). Penyusunan pedoman itu, dilakukan dengan menggandeng World Wildlife Fund (WWF) Indonesia.

“Ini menjadi upaya dari implementasi pola pengelolaan budidaya yang bertanggungjawab sebagaimana mandat dalam FAO- Code of Conduct for Responsible Fisheries atau CCRF,” jelas dia.

Lebih lanjut Slamet mengungkapkan, dengan dibuatnya pedoman EAA, itu akan memberikan acuan bagi para pelaku usaha di sektor perikanan budidaya untuk bisa melakukan pengelolaan usaha budidaya yang mempertimbangkan keseimbangan antara aspek ekologi, sosial, dan ekonomi.

(baca : Sejak 1950, Perikanan Budidaya Indonesia Lambat Berkembang, Kenapa Demikian?)

Menurut Slamet, dipilihnya perikanan budidaya, karena kegiatan tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ekosistem laut secara keseluruhan. Oleh karena itu, ke depan aktivitas usaha budidaya harus dilakukan dengan tetap menjamin kelestarian ekosistem melalui penerapan prinsip eco-efisiensi.

“Prinsip tersebut yaitu mendorong produktivitas dengan tetap menjaga kualitas lingkungan yang ada,” sebutnya.

Dengan diterbitkannya EAA, Slamet menuturkan, maka pengelolaan kawasan budidaya harus dilaksanakan secara terpadu. Prinsip itu penting dilakukan, karena itu bisa menjawab berbagai tantangan yang ada, terutama berkaitan dengan status kawasan budidaya yang diakses terbuka dan melibatkan banyak sektor di dalamnya.

“Pedoman EAA ini dapat menjadi alat dalam memberikan arahan pengelolaan agar dapat dilakukan secara terpadu dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan,” tanda dia.

(baca : Perikanan Indonesia Adopsi Teknologi Budidaya Canggih dari Norwegia, Seperti Apa? )

 

Keramba budidaya ikan napoleon dan ikan kerapu di Pulau Sedanau Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Ikan napoleon dijual Rp1,2 juta per ekor dan kerapu Rp300 ribu per ekor. Perikanan menjadi sektor ekonomi utama di Natuna. Foto : M Ambari

 

Jaminan SDA dan Lingkungan

Terpisah, Direktur Coral Triangle Initiative (CTI) WWF Indonesia Wawan Ridwan memaparkan, pedoman EAA dibuat sebagai bentuk perhatian bersama antara Pemerintah dan publik dalam menjamin keberlanjutan SDA dan lingkungan. Menurut dia, keberadaan perikanan budidaya tidak bisa dilepaskan dari daya dukung kapasitas ekosistem secara keseleruhunan.

“Pengelolaan budidaya yang tidak mengindahkan daya dukung dan peran ekosistem sama saja bunuh diri dalam investasi usaha,” jelas dia.

Wawan menambahkan, mengingat sektor perikanan budidaya memiliki peran sentral dalam mencukupi kebutuhan pangan global, penting untuk dilakukan bagaimana menjamin keberlanjutan aktivitas perikanan budidaya termasuk jaminan ketelurusan produk.

Berkaitan dengan ketelusuran produk, Wawan mengingatkan kepada semua pihak bahwa persaingan perdagangan produk kelautan dan perikanan di tingkat global saat ini menuntut adanya aspek tersebut dan juga aspek keberlanjutan. Kedua aspek tersebut untuk memastikan produk berbasis pangan yang dihasilkan dari laut bisa dikonsumsi secara layak oleh konsumen di seluruh dunia.

“Untuk memastikan dua aspek tersebut, maka EAA penting untuk diterapkan dalam perikanan budidaya. Tujuannya, untuk meningkatkan daya saing produk perikanan,” tambah dia.

(baca : Demi Target Produksi 2017, Perikanan Budidaya Pelajari Kegagalan Produksi 2016)

Menurut Wawan, mengingat pentingnya keberadaan pedoman EAA tersebut, maka ke depan produk tersebut diharapkan bisa menjadi bagian dari produk hukum KKP. Dengan demikian, ke depannya seluruh pelaku usaha perikanan budidaya memiliki acuan formal dalam melakukan pengelolaan budidaya secara bertanggungjawab.

Sebagai gambaran, Wawan menjelaskan, pedoman EAA berisi sejumlah indikator penilaian yang mengakomodasi berbagai aspek utama yaitu ekologi, sosial dan ekonomi. Kata dia, suatu kawasan pengembangan budidaya dikatakan baik jika telah memenuhi kriteria dalam indikator EAA.

“Bulan September tahun lalu telah dilakukan uji lapang penerapan penilaian indikator yaitu di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat dan Provinsi Lampung,” sebut dia.

 

Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebijakto, Direktur Perbenihan Dirjen Perikanan Budidaya KKP Saripin, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau Tien Mastinah dan Asisten Daerah II Kabupaten Kampar Nurbit melepaskan 2 juta ekor benih ikan di Desa Sawah, Kecamatan Kampar Utara, Kabupaten Kampar, Riau. Foto : M Ambari

 

Dalam pelaksanaannya, menurut Wawan, penerapan EAA akan sejalan dengan fokus kebijakan KKP yang berjalan saat ini dan di masa mendatang. Hal itu, terutama karena Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berkomitmen dalam pelestarian lingkungan.

“Itu bisa dilihat dari berbagai kebijakan pola pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang mengedepankan prinsip keberlanjutan,” pungkas dia.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Brahmantya Satyamurti Poerwadi pada kesempatan berbeda menjelaskan, kegiatan penangkapan ikan ramah lingkungan oleh masyarakat lokal maupun tradisional, dilakukan di dalam zona perikanan berkelanjutan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) sesuai dengan peruntukannya.

“Pengalokasian sebagian zona perikanan berkelanjutan tersebut bagi masyarakat lokal dan tradisional, merupakan bentuk kepedulian Pemerintah pada nelayan skala kecil yang ada di seluruh wilayah,” sebut dia.

Menurut Brahmantya, cara seperti itu sudah banyak dilakukan di negara lain dan itu bisa membantu negara tersebut menjaga ketahanan pangan, sumber mata pencaharian nelayan, dan memperbaiki kondisi sumber daya ikan yang lebih baik lagi.

“Jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan pesisir itu mencapai 132 juta orang, sehingga perlu langkah signifikan untuk mengamankan laut Indonesia untuk menuju perikanan berjelanjutan,” kata dia.

“Pedoman ini kita berikan kepada masyarakat untuk membuat komitmen baru. Karena, pada kenyataannya, illegal fishing di kawasan kecil itu juga ada. Itu harus dihilangkan,” tambah dia.

Sementara Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Agus Dermawan menjelaskan, dalam pengelolaan kawasan konservasi harus ada pembagian porsi yang jelas untuk orang-orang yang tinggal di kawasan pesisir. Hal itu, karena konservasi itu sifatnya tidak single use, melainkan multiple use.

“Konservasi itu tidak hanya untuk perlindungan saja, tapi juga untuk pemanfaatan, seperti perikanan berkelanjutan dan pariwisata bahari dan itu harusnya memperhatikan masyarakat pesisir. Mereka harus diperhatikan karena merekalah yang merasakan manfaatnya,” ucap dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,