Tiga kasus penyelundupan gading gajah yang dilakukan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara), di 2017 ini, berhasil digagalkan. Gading-gading tersebut dibawa melalui jalur Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan, yang rencananya akan diangkut ke Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kasus pertama, terjadi 17 Januari 2017 sekira pukul 11.00 Wita. Petugas Karantina Pertanian Nunukan yang melakukan pengawasan media pembawa di Pos Pengawasan Lintas Batas Pelabuhan Tunon Taka, berhasil mendeteksi lima gading di dalam tas seorang perempuaan berinisial MRA.
MRA adalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia. MRA merupakan warga NTT, namun karena telah menikah dengan warga negara asing, MRA menetap di Kinabalu, Malaysia. Dia bermaksud mengirimkan gading-gading tersebut ke NTT melalui jalur Kaltara – Kaltim. Aksinya terbongkar di Pelabuhan Tunon Taka, meski terbilang kecil namun pelabuhan itu dilengkapi dengan alat x-ray milik Bea Cukai.
Mengetahui isi tas tersebut adalah lima gading gajah dengan ukuran mencapai 50 cm, petugas tidak langsung mengamankan MRA. Petugas menangkapnya pada 3 Mei 2017, lantaran MRA sempat bersembunyi. Petugas akhirnya meminta bantuan pemerintah Malaysia untuk mendeportasi MRA yang kini ditahan di Mapolres Nunukan.
Penyidik Polisi Hutan Brigade Enggang, Taqiuddin, mengatakan lima gading gajah yang coba diselundupkan MRA berasal dari Tawau, Sabah, Malaysia. Pelaku tak bisa berkelit saat mesin pemindai di Pelabuhan Nunukan, Kalimantan Utara berhasil menemukan gading gajah dibalik tas yang dibawanya.
“Menurut pengakuan tersangka, gading gajah ini dibeli di sebuah pasar di kawasan Kinibalu dengan harga murah yaitu 3.100 Ringgit atau 9 juta Rupiah per gading. Rencananya, akan dibawa ke NTT,” jelasnya, Selasa (16/05/2017).
Taqiuddin menjelaskan, jika gading itu masuk Indonesia dan dijual ke pengepul, harga satu gading diperkirakan mencapai 300 juta Rupiah. Harga itu akan dijual dua kali lipat pada orang yang memesan. “Harga terus meningkat, dari pengepul bisa dua kali lipat lagi ke tangan pemesan.”
Kasus kedua, terjadi Sabtu (13/05/2017) sekitar pukul 18.00 Wita. Lagi-lagi, petugas Penanggung Jawab Karantina Pertanian Wilayah Kerja Nunukan, mengamankan empat gading gajah yang berasal dari Tawau, Malaysia. Diketahui pemiliknya berinisial FL, warga Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). FL adalah buruh perkebunan sawit di Lahat Satu, Malaysia.
“Sama seperti kasus MRA, empat gading diketahui setelah melalui pemeriksaan x-ray Bea Cukai Nunukan. Kasus kedua ini masih penyelidikan, kita ingin tahu, dari mana asal semua gading tersebut,” jelas Taqiuddin.
Belum selesai penyelidikan kasus kedua, lagi-lagi petugas mengamankan gading selundupan, Senin ( 15/05/2017). Kali ini dari tangan seorang lelaki inisial S, warga Adonara Kabupaten Flores Timur, NTT. Kepada penyidik, S mengatakan gading miliknya itu adalah mahar pernikahan anaknya.
Baru-baru ini, S menikahkan anaknya di Malaysia yang bekerja sebagai TKW. S hanya diminta datang ke sana, dan membawa mahar yang didapatkan sang putri. Rancananya, gading akan dibawa pulang ke Adonara – Flores dan disimpan sebagai barang pusaka.
“Sama dengan kasus pertama dan kedua, kasus ini juga berasal dari Tawau, Malaysia. Gading gajah tersebut dilalulintaskan menggunakan perahu long boat melalui dermaga Bambangan-Sebatik menuju Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan,” ungkapnya.
Dari tangan S, petugas menemukan satu gading gajah seberat 10,5 kilogram. Gading tersebut sudah dilengkapi hiasan khusus dan dikemas seperti barang mewah pajangan.
Tercatat, hingga 20 Mei 2017, Karantina Pertanian Nunukan sudah menggagalkan tiga kali penyelundupan gading gajah dari Malaysia dengan mengamankan barang bukti, 10 buah gading gajah.
“Kita tidak berharap ada yang begini lagi, karena gajah adalah satwa lindung. Kami masih menyelidiki, gading-gading itu apakah gajah kalimantan atau gajah dari luar pulau,” ujar Taqiudin.
Mahar pernikahan
Pada pernikahan mewah di NTT, gading gajah dipercaya menjadi mahar paling mewah. Kedua mempelai akan dihormati sebagai pasangan bangsawan dan kaya raya jika dalam pernikahannya menyelipkan gading gajah. Tidak tanggung, ada saja pernikahan yang rela berhutang gading yang dibebankan pada anak cucu mereka.
“Dari tiga kasus penangkapan, semua gading tersebut rencananya akan dibawa ke NTT dan dijadikan mahar pernikahan. Gading itu digunakan sebagai lambang mewahnya pernikahan di sana,” ujar Taqiuddin.
Seperti kasus pertama, lanjut dia, MRA nekat menyelundupkan lima gading yang dia dapatkan di pasar pekan Kinabalu untuk melunasi hutang ayahnya ketika menikah dengan ibunya. MRA dibebankan mahar tersebut, karena hutang mahar harus segera dilunasi. Demikian pula pada kasus kedua, dan ketiga.
“Ini merupakan fenomena pernikahan mewah di sana. Adat istiadat yang mengharuskan adanya gading sebagai mahar. Semakin banyak dan besar gading yang didapat, semakin mewah pula pernikahannya,” jelasnya.
Dari keterangan para pelaku, cukup mudah mendapatkan gading gajah di Malaysia. Hampir di setiap pasar pekan di Kinabalu, gading dijual bebas dengan harga murah. “Di Kinabalu ada pasar pekan, setiap minggu pasar itu ramai dikunjungi para pencari gading. Pelaku akan dijerat Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman lima tahun penjara dan denda 100 juta rupiah,” tutur Taqiudin.
Penindakan hukum
Berita penyelundupan gading gajah melalui Nunukan mendapat kecaman dari sejumlah pihak, termasuk WWF Indonesia. Mereka memberikan dukungan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan wilayah Kalimantan untuk memproses kasus yang ada.
Dikatakan Human-Elephant Conflict Mitigation Officer, Kalimantan WWF Indonesia, Agus Suyitno, gajah adalah hewan apendik I yang keberadaannya tidak boleh terganggu. Dipastikan warga Kaltara tidak membunuh apalagi mengambil gading gajah Kalimantan. “Gajah itu masuk Apendiks I, perburuan tidak bisa ditolerir dan itu sudah ada undang-undangnya,” ujarnya, Sabtu (20/05/2017).
Agus menjelaskan, besarnya gading belum bisa memastikan, jenis gajah tersebut. Sehingga, untuk memastikan asal gajah tersebut, harus dibuktikan melalui tes DNA. “WWF belum meneliti gading-gading itu, karena pada dasarnya harus diuji melalui DNA. Kita mengacu pada situs yang ada, gading gajah dari Tawau, Malaysia. Kita sudah komunikasi dengan masyarakat di Nunukan dan sekitar, dipastikan tidak ada indikasi perburuan di sini.”
Saat ini, lanjut dia, jumlah gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis) berkisar 20 hingga 80 individu berdasar survei 2007 dan 2012. Penelitiannya menggunakan metode lapangan seperti jejak dan fases. Sedangkan populasi gajah di Sabah, Malaysia, estimasinya lebih dari 1.500 individu. “Kita berharap, pemerintah pusat, pemerintah daerah, seluruh mitra kerja, dan masyarakat bersatu melestarikan gajah kalimantan ini,” tandasnya.