Benahi Tata Kelola Hutan dan Lahan Terhalang ‘Kekuasaan’ Ekstra?

 

Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) sudah dua tahun lebih, hadir sejak Maret 2015,  namun tata kelola hutan dan lahan buruk terus berlarut. Ia berpotensi tak hanya merugikan negara, namun kerugian ekonomi hingga menimbulkan kesenjangan sosial masyarakat.  Ada ‘institusi ekstra legal’ ditengarai bikin perbaikan tata kelola makin sulit hingga korupsi rentan terjadi.

Hariadi Kartodiharjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor mengatakan, potensi korupsi rentan di daerah-daerah pantauan yakni Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Aceh, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.

”Perlu ada peninjauan empiris, tak hanya dilihat dari formal melalui administrasi,” katanya, baru-baru ini.

Kerentanan korupsi ini, katanya, ditengarai ada permasalahan terkait ‘institusi ekstra legal’, dimana pemain tertentu melibatkan pejabat dan jaringan. Ia merupakan jaringan yang terus dibiarkan bahkan dipelihara kekuasaan hingga melebihi kekuasaan negara secara de-facto.

Kalau tak tertangani, katanya, kebijakan teknis pemerintahan Joko Widodo akan sia-sia, baik reforma agraria maupun moratorium sawit.

”Korupsi itu tak selalu disebabkan perilaku korupsi, peraturan tak berjalan atau lemahnya penegakan hukum. Tapi institusi ekstra legal ini tadi,” katanya.

Korupsi ini dapat dipahami sebagai jaringan transaksional yang berjalan sistematis dan saling menguntungkan antar pelaku. Untuk penyelesaian, katanya, cukup kompleks, harus melibatkan operasi gabungan dari pusat.

Dia contohkan, di Riau, Taman Nasional Tesso Nilo, ada wilayah tertentu dimana empat polisi masih belum berani menemani datang saat KPK memecahkan masalah GNPSDA, perlu TNI.

Belum lagi dengan masalah independensi. Hariadi juga melihat korupsi terjadi karena rendah gaji dan fasilitas pengawas produksi hutan dan tambang di lapangan. ”Mereka terjebak melakukan kesalahan sebagai perangkat perusahaan dengan gaji bulanan.”

Hariadi berharap, masalah ini mampu diselesaikan melalui inovasi pendekatan, misal, melalui pendekatan kultural. ”Lebih kepada keterbukaan informasi, bukan informasi bagi publik, tapi informasi antar lembaga. Dengan perhatian lebih fokus pada penyalahgunaan wewenang dan soal impunitas akibat perlindungan politik. Tak dengan cara-cara biasa,” katanya.

 

Daerah lemah

Kesulitan benahi tata kelola hutan dan lahan salah satu terlihat dari hasil evaluasi pelaksanaan GNPSDA. ICW bersama koalisi masyarakat sipil dan lembaga pemerintahan memantau (evaluasi) rencana aksi GNPSDA pada enam provinsi diinisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi dan kementerian/lembaga terkait, yakni, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Aceh, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur antara Desember 2016-Maret 2017.

Tiga sektor ditelisik, kehutanan, perkebunan dan pertambangan dengan pemantauan soal penataan perizinan, sistem pengendalian anti korupsi, dan optimalisasi penerimaan negara.

Secara keseluruhan, Sumatera Barat memiliki capaian GNPSDA terbaik, dibandingkan provinsi lain, sebesar 51%. Meskipun, angka itu masih belum indikator baik, diatas 70%. ”Masih disebut tata kelola buruk,” katanya.

Sektor kehutanan, skor maksimal 180 poin, Sumatera Barat baru skor 91, Kalbar 87, Aceh 87, Sumsel 62, Kaltim 50, dan Riau 50. Sektor perkebunan, dari skor maksimal 160, Sumbar 90, Aceh 82, Sumsel 60, Kaltim 53, Riau 46, dan Kalbar 45.  Untuk sektor pertambangan, dari skor maksimal 250 , Riau 154, Sumsel 136, Sumbar 117, Aceh 92, Kalbar 84, dan Kaltim 55.

Korupsi sektor SDA dinilai jadi akar permasalahan yang perlu tertangani dalam perbaikan tata kelola hutan. Tak hanya penataan pada pemerintah pusat dan provinsi, namun hingga tingkat tapak.

“Pemerintah daerah masih belum berkomitmen penuh dalam melaksanakan amanat (aksi GNPSDA-red.) ini,” kata Mouna Wasef, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam diskusi di Jakarta.

Dia mengatakan, pemerintah daerah tak intensif memonitoring pelaku usaha SDA, dengan alasan klise, anggaran dan bukan kewenangan. ”Tidak ada komitmen, termasuk mendorong keterbukaan informasi dan partisipasi publik dari masing-masing instansi.”

ICW merekomendasikan, pemda perlu memiliki rencana kerja pelaksanaan GNPSDA terukur dan melaporkan perkembangan ke publik. Begitu juga, terobosan hukum dalam penyelesaian masalah yang masih tersisa dalam pelaksanaan GNPSDA ini. Ia jadi tombak acuan pemerintah meredistribusi manfaat SDA.

”KPK perlu lebih fokus investigasi dan memonitoring pelaku usaha SDA,” kata Mouna, seraya menekankan, tak hanya pencegahan, tetapi penindakan.

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,