Jarum jam menunjukkan angka tujuh, namun sinar matahari pagi belum terpancar penuh karena tertutup rimbunnya dedaunan. Hari itu Selasa, 09 Mei 2017, Hendra Saputra bersama tiga rekannya berkumpul di teras Stasiun Penelitian Soraya, Kota Subulussalam, Provinsi Aceh. Mereka mempersiapkan semua kebutuhan untuk patroli selama 15 hari di hutan Leuser.
Ada pakaian ganti, delapan liter beras, alat masak, ikan asin, dan tidak lupa kopi yang selalu menemani. Mereka juga beberapa kali memastikan bila peta, kompas, dan GPS tidak luput untuk dibawa.
Hendra Saputra yang menetap di Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, adalah seorang Ranger atau Wildlife Protection Team yang dibentuk oleh Forum Konservasi Leuser (FKL). Hendra bersama tiga rekannya berpatroli di hutan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) termasuk di dalam Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Baca: Ranger, Ujung Tombak Penyelamat Hutan dan Satwa Liar di Leuser
Hendra bergabung pada 2008. Sebelumnya, dia merupakan salah satu pimpinan tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Kabupaten Aceh Tenggara. Istrinya juga merupakan pasukan GAM, pernikahan mereka dilangsungkan di dalam hutan.
Setiap bulannya, Hendra Saputra, Dahlawi, Fakhruddin, Tarmizi dan tiga tim Ranger lainnya menyusuri hutan Bengkung yang membatasi TNGL dengan hutan lindung. Kawasan ini sangat penting untuk diselamatkan karena daerah lintasan satwa yang berpindah dari Suaka Marga Satwa Rawa Singkil ke Taman Nasional Gunung Leuser. Kedua kawasan konservasi ini di hubungkan koridor satwa Trumon dan hutan Soraya.
Pagi itu, mereka keluar dari Stasiun Riset Soraya, di Gelombang, Kota Subullussalam menuju sungai. Karena kegiatan Mei 2017 difokuskan di TNGL, perjalanan mereka hingga ke muara Bengkung diantar dengan perahu mesin, menyusuri Sungai Alas sekitar satu setengah jam. Patroli kali ini, Fakruddin tidak terlihat, dia digantikan rekannya karena baru seminggu menikah.
“Tidak mungkin kami paksa Fakruddin ikut patroli. Biar dia berkumpul dengan istri dan keluarganya,” sebut Hendra.
Baca juga: Foto udara: Inilah Kappi, Hutan Mengagumkan di Zona Inti Leuser
Untuk mengumpulkan data lapangan yang didapat oleh Ranger, FKL mengggunakan Management Information System (MIST) atau biasa disebut Smart Patrol atau patroli pintar. Data yang dikumpulkan oleh Hendra dan kawan-kawan, selanjutnya diteruskan ke pemanggu kepentingan.
“Saat berpatroli, semua kejadian atau temuan kami catat dan rekam, mulai illegal logging, perambahan hutan, pemburuan satwa, jejak satwa, kotoran satwa, maupun lokasi pemburu atau perangkap satwa,” ujar Hendra.
Hendra mengaku, menjaga hutan dan seluruh isinya aman, bukan pekara mudah. Tim patroli bisa terluka atau bahkan kehilangan nyawa jika tidak hati-hati. “Kami tidak tahu dimana pemburu memasang perangkap. Yang paling berbahaya adalah perangkap gajah, ada yang beracun dan ada yang dipasang di atas pohon.”
Hendra juga menyebutkan, menghadapi pemburu satwa di hutan sungguh menegangkan. Banyak pemburu satwa bersenjata, jumlahnya lebih tiga orang.
“Yang paling bahaya, pemburu burung rangkong, mereka membawa lebih dari satu senapan dengan peluru ukuran 5,5 mm. Jika kena orang, pasti mati. Biasanya, kami melakukan pendekatan bila bertemu mereka.”
Komitmen kuat
Dahlawi yang menjadi Ranger sejak 1998, dan telah bergabung dengan beberapa lembaga yang bekerja di Leuser mengatakan, pekerjaan yang ia lakukan ini bukan perkerjaan biasa. “Meski bahaya mengintai dan nyawa terancam, kami harus menjaga Leuser, yang telah diwariskan nenek moyang kami.”
Dahlawi yang berkulit hitam, berbadan kekar, dan suka bercanda, tidak dapat menahan air mata saat menceritakan pengalaman pahit yang dialaminya saat berpatroli di Leuser 2012 silam. Seorang Ranger yang cukup berpengalaman dan dianggap sebagai guru, meninggal di pangkuannya.
“Saat patroli memasuki hari kelima, kami berada di daerah Bengkung. Siang itu, tiba-tiba Cek Tamrin mengalami sesak nafas. Kami putuskan membangun tenda dan beristirahat ditempat tersebut karena beliau sudah tidak sanggup berjalan. Sedih, malamnya beliau meninggal.”
Dahlawi menambahkan, karena mereka hanya empat orang, tidak mungkin membawa jenazah pulang saat itu juga. Akhirnya, ia mencari bantuan agar jenazah Cek Tamrin bisa diangkut. “Saya berjalan sejak malam beliau meninggal dan baru tiba ke permukiman penduduk besok siangnya. Jangan tanya bagaimana saya bisa berjalan secepat itu, dan jangan tanya berapa bungkus rokok saya habiskan malam itu,” kenangnya.
Dahlawi yang merupakan putra asli Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, mengaku sangat sedih dengan kondisi hutan Kawasan Ekosistem Leuser saat ini, termasuk Taman Nasional Gunung Leuser. Hutan Leuser yang merupakan salah satu hutan hujan andalan Indonesia, terus dirambah, dibuka untuk kebun, juga ditambang.
“Karena hutan terus dirambah, bencana banjir dan tanah longsor sering terjadi sehingga merenggut nyawa. Konflik manusia dengan satwa liar juga meningkat karena habitat satwa liar dirusak.”
Kami, para Ranger terus berpatroli, menjaga satwa tidak diburu dan hutan tidak dirusak. “Saya sedih melihat daun pohon yang melambai, seolah meminta pertolongan agar tidak ditebang,” tutur ayah tiga anak ini.
Percakapan saya dengan Dahlawi, saat istirahat, setelah hampir setengah hari berjalan menelusuri lebatnya hutan Leuser terhenti. Dahlawi pindah tempat duduk, sembari menyeka air mata dengan tangan kirinya.
“Saya tidak berharap banyak. Kalau memang tidak mau menjaga hutan Leuser, saya minta jangan lagi ada pihak yang merusak. Biar kami, anak-anak yang lahir dan besar di pinggir hutan Leuser yang menjaga, meskipun nyawa yang harus kami pertaruhkan,” tandasnya.