Miris… Gara-gara Cacing Sonari, Kerusakan TN Gede Pangrango Makin Menjadi

Tak ada jaminan sebuah kawasan berlabel konservasi sekalipun lepas dari ancaman kerusakan. Seperti yang baru saja terungkap soal rusaknya hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Penyebabnya adalah cacing sonari. Sejenis cacing kalung ini sedang ramai – ramainya dicari karena nilainya yang fantastis.

Seperti diketahui, TNGGP yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi tahun 1980, menempati posisi penting antara lain sebagai hulu DAS Citarum, Ciliwung, Cisadane, dan Cimandiri. Sehingga kawasan TNGGP menjadi tumpuan lebih dari 30 juta penduduk di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta sebagai penyuplai air bersih.

Menurut data dari TNGGP, di tahun 1970 UNESCO telah menetapkan kawasan dengan luas 24.270 hektar ini sebagai salah satu cagar biosfer di Indonesia. Di kawasan tersebut juga terdapat 6 zonasi yang salah satunya adalah zona tradisional yang memberikan ruang pemanfaatan bagi masyarakat sekitar kawasan.

 

 

Pelaksana Tugas Kepala Balai Besar TNGGP, Adison mengatakan, kasus perburuan cacing sonari di kawasan hutan TNGGP telah menyebabkan kerusakan hutan hingga mencapai 20 hektar di zona inti dan zona rimba.

Butuh waktu sekitar 6 bulan pihaknya mengungkap kasus kerusakan hutan akibat pencarian cacing sondari di zona inti tersebut. Pihak TNGGP menduga 1800 – 2300 pohon ditebang dengan bekas galian tanah sehingga berpengaruh besar terhadap kondisi lingkungan.

“Kami menemukan oknum yang bertugas sebagai penadah cacing. Dari keterangan pelaku, kami menduga kasus cacing sonari ini dilakukan oleh kelompok sindikat dengan jumlah 10 sampai 60 orang dengan menggunakan alat khusus,” kata Adison di kantor BBKSDA Jawa Barat, Kota Bandung, Rabu (17/05/2017).

 

Petugas membereskan lokasi perburuan cacing sonari di Taman Nasional Gede Pangrango, kabupaten Bogor, Jabar belum lama ini. Akibat perburuan tersebut merusak sekitar 20 hektare di kawasan zona inti. Foto : BBKSDA Jabar

 

Dia menyebutkan, perburuannya dilakukan diketinggian sekitar 2.500 mdpl. Karena harga di pasaran dalam bentuk basah–cacing tersebut dihargai Rp50.000 per iket. Sementara jika dalam keadaan dikeringkan harganya bisa menembuh angka Rp5 juta per kilogram. Oleh karena itu, banyak dari pelaku yang membawa perbekalan banyak lengkap dengan alat yang memadai.

“Cacing sonari besar, seukuran belut. Cacing ini termasuk cacing unik karena hanya bisa hidup di ketinggian tertentu. Jika malam hari cacing sonari bisa mengeluarkan suara seperti sonar,” paparnya.

Menurut Adison, cacing sonari juga memiliki banyak khasiat diantaranya dijadikan obat untuk types, meningkatkan vitalitas dan bahan kosmetik. Selain itu, cacing sonari disinyalir sebagai pakan pembesaran trenggiling. “Karena sudah ada pembesaran trenggiling. Trenggiling dijadikan bahan untuk narkoba.”

Dia mengatakan kasus ini telah dilaporkan ke pihak kepolisian dengan tuduhan perusakan lingkungan, pembalakan, serta perburuan dan perambahan. Aksi pelaku dinilai melanggar Pasal 78 ayat 5 dan atau ayat 12 Jo Pasal 50 ayat 3 huruf e dan atau huruf m Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan hukuman 10 tahun penjara.

 

Petugas sedang memeriksa tersangka pemburu cacing sonari di Taman Nasional Gede Pangrango, kabupaten Bogor, Jabar belum lama ini. Akibat perburuan tersebut merusak sekitar 20 hektare di kawasan zona inti. Foto : BBKSDA Jabar

 

Dampak Kerusakan Lain

Apabila ditelisik lebih dalam, permasalah di kawasan konservasi tidak hanya berhenti pada kasus perusakan dan perambahan hutan saja. Permasalah lain yang sampai sekarang masih sulit diatasi adalah masalah sampah.

Sebelumnya, penulis sempat mendaki Gunung Gede di kawasan TNGGP. Di kawasan yang seharusnya clean n clear  dari sampah justru masih ditemukan  barang – barang yang sulit terurai. Meskipun jumlahnya tidak tertumpuk di satu lokasi, namun di titik – titik tertentu ditemukan bekas pembakaran seperti di kawasan Surya Kencana yang tempat tumbuh bunga edelweis.

Padahal, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah mewancanakan akan membuat pedoman pendakian dan sedang digodok pada rapat yang digelar Maret lalu. Berdasarkan data yang dihimpun, masalah sampah plastik menjadi salah satu sumber masalah di gunung, terutama di gunung – gunung berstatus taman nasional.

 

Petugas membereskan lokasi perburuan cacing sonari di Taman Nasional Gede Pangrango, kabupaten Bogor, Jabar belum lama ini. Akibat perburuan tersebut merusak sekitar 20 hektare di kawasan zona inti. Foto : BBKSDA Jabar

 

Di TNGGC sendiri, hanya membuka 3 jalur resmi pendakian yaitu Cibodas, Gunung Putri dan Salabintana. Menurut petugas pos pendakian Gunung Putri, Abidin menerangkan, total pendakian ke TNGGP berkisar 600 orang tiap harinya. Lalu pihak TNGGP hanya membuka jalur pendakian selama 8 bulan. Sedangkan Bulan Januari, Febuari, Maret dan Agustus ditutup.

Abidin menuturkan, biasanya akan terjadi peningkatan pendakian tatkala menjelang akhir pekan. Hal tersebut tentu saja berpengaruh terhadap banyaknya sampah yang dihasilkan.

“Kebanyakan si pendaki menyimpan sampah diatas. Kebanyakan masih tidak sadar. Kalau untuk jumlah sampah, sederhananya setiap pendaki membawa sekitar 1 kilogram sampah berarti dari total pendaki tiap hari bisa mencapai 600 kilogram sampah. Belum hari berikutnya. Dan yang dibawa turun paling 500 kilogram saja,” kata dia saat ditemui di lokasi beberapa waktu lalu.

Distribusi sampah, kata dia, pengelolaannya sudah diserahkan kepada masing – masing resort. Di jalur putri sendiri, dalam satu bulan biasanya 2 bulan sekali untuk mengangkut sampah hingga ke TPA Cianjur.

 

Petugas memeriksa shelter pemburu cacing sonari di Taman Nasional Gede Pangrango, kabupaten Bogor, Jabar belum lama ini. Akibat perburuan tersebut merusak sekitar 20 hektare di kawasan zona inti. Foto : BBKSDA Jabar

 

Abidin mengungkapkan kendala pendistribusian sampah berada pada alokasi anggaran. Kadang turunnya dana dari pihak TNGGP selalu datang terlambat dan biasanya 3 bulan sekali, namun itupun dianggap sangat lama.

“Sehingga untuk pendistribusian sampah masih mengandalkan pada dana talangan,” kata dia menambahkan

Untuk bisa melakukan pendakian di wilayah TNGGP, pendaki harus mengisi surat izin memasuki kawasan konservasi (Simaksi) via online. Biaya yang harus dibayar untuk pendaki lokal Rp29 ribu – Rp32 ribu. Untuk pendaki asing biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp475 ribu. Biaya tersebut sudah termasuk dana asuransi.

“Permasalaha untuk bila akan klaim asuransi ke pihak yang bersangkutan itu proses sangat ribet banget dan cairnya bisa 1 bulan lebih. Menurut saya pribadi percuma ada asuransi kalau fasilitas untuk rescue saja pihak asusransi tidak memberikan. Sehingga pandangan saya pribadi asuransi tidak efektif,” ucapnya.

 

Pendaki memasang tenda di kawasan Suryakencana, Taman Nasional Gede Pangrango, Kabupaten Bogor, Jabar, belum lama ini. Kurangnya kesadaran pendakian menyebabkan banyaknya sampah plastik di kawasan konservasi tersebut. Foto : Donny Iqbal

 

Secara matematis, bisa dibayangkan pendapatan TNGGP setiap kali akhir pekannya–apabila 600 pendaki menjajal panorama alam yang ada, total pemasukan masuk ke rekening dapat mencapai puluhan juta. Itupun belum dihitung angka pemasukan tiap bulan.

Sangat disayangkan, jika kawasan berlabel konservasi dengan pemasukan yang begitu besar tidak dengan serius menjaga kondisi ekologis. Lebih bodoh lagi apabila ada indikasi perubahan fungsi menjadi kawasan komersil semata.

Di lapangan, kadang masih ditemui beberapa pendaki nakal yang membawa dan memakai bahan kimia seperti sabun dan pasta gigi saat berkemah di wilayah TNGGP. Hal tersebut tentu berpengaruh terhadap unsur hara tanah dan ekosistem yang ada, sebab di TNGGP sendiri merupakan habitat beberapa satwa dilindungi yang keasrian kawasannya mutlak dijaga.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,