Inilah Lawi-lawi, Anggota Baru Kelompok Rumput Laut Andalan Indonesia  

Berbagai inovasi terus dikembangkan Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan sektor perikanan budidaya di tahun 2017 ini. Inovasi dilakukan, salah satunya untuk menggenjot target produksi sebesar 22,46 juta ton yang sudah dicanangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) atau naik tiga juta ton dari target produksi 2016 sebanyak 19,46 juta ton.

Salah satu komoditas yang menjadi unggulan untuk mendulang jumlah produksi yang banyak, menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto adalah rumput laut. Komoditas tersebut setiap tahunnya selalu menyumbang jumlah produksi yang banyak dan mendominasi dari total produksi perikanan budidaya.

Agar target produksi bisa terwujud, Slamet menyebut, pihaknya melakukan inovasi dengan menciptakan varian rumput laut bernilai ekonomis tinggi dan dilakukan melalui perekayasa teknologi. Inovasi tersebut adalah rumput laut jenis Caulerpasp atau lebih dikenal dengan nama lokal lawi-lawi (Sulawesi Selatan),  latoh (Lombok) atau sebagian masyarakat menyebutnya dengan anggur laut.

(baca : 2017, Budidaya Rumput Laut Gunakan Teknik Kultur Jaringan. Apa itu?)

 

 

Slamet menuturkan, rumput laut yang masuk kelompok alga hijau ini pada awalnya masih dianggap sebagai gulma dan hanya menjadi penganan biasa masyarakat. Akan tetapi, setelah dilaksanakan program diversifikasi komoditas yang dikembangkan Balai Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar, varian tersebut kini menjadi salah satu komoditas primadona.

“Varian tersebut dipilih para petambak dan menjadi alternatif utama untuk menopang pendapatan masyarakat,” ungkap dia belum lama ini.

Menurut Slamet, produksi Lawi-lawi yang dilaksanakan di tambak akan meningkat cepat jika para pembudidaya semakin banyak mengadopsi teknologi budidaya. Jika itu sudah terlaksana, maka kebutuhan pasar baik lokal maupun ekspor bisa dipasok dengan cukup.

Lebih lanjut Slamet menjelaskan, sebelum mengembangkan lawi-lawi, Indonesia terbiasa memproduksi rumput laut sebagai komoditas andalan untuk perikanan budidaya. Namun, dari 550 jenis rumput laut yang ada di perairan Indonesia, varian yang baru diproduksi massal hanya 5 jenis rumput laut saja.

(baca : Rumput Laut Semakin Dilirik Investor Asing. Ada Apa?)

Slamet memaparkan, kelima jenis rumput laut tersebut adalah Eucheumacottoni, Gracilariasp, Spinosumsp, Halymeniasp, dan Caulerpasp. Baginya, kelima jenis rumput laut tersebut selama ini sudah memberi peluang bagi para pembudidaya ikan yang ada di Tanah Air.

“Banyaknya varian rumput laut juga menjadi peluang tersendiri bagi Indonesia untuk lebih mengeksplorasi beragam jenis rumput laut sehingga secara langsung memberikan nilai manfaat ekonomi,” sebut dia.

 

Lawi-lawi, varian rumput laut jenis Caulerpasp bernilai ekonomis tinggi. Pemerintah menggenjot produksi lawi-lawi sebagai salah satu unggulan produk ekspor untuk memenuhi target produksi sebesar 22,46 juta ton dari sektor budidaya perikanan KKP. Foto : DJPB KKP

 

Target Ekspor

Slamet Soebjakto mengatakan, sebagai varian terbaru yang dikembangkan dan diproduksi massal, rumput laut jenis lawi-lawi disiapkan untuk bisa menembus pasar internasional (ekspor). Untuk itu, pemanfaatan varian tersebut oleh pembudiaya ikan akan terus didorong oleh Pemerintah Indonesia sehingga memberikan manfaat nilai ekonomi bagi masyarakat maupun perekonomian nasional.

“Pengembangan lawi-lawi yang berhasil menembus pasar ekspor, menjadi harapan baru bagi Indonesia untuk terus mengeksplorasi sumberdaya rumput laut nasional. Dengan demikian, harapan Indonesia menjadi kiblat rumput laut dunia dapat terwujud,” ujar dia.

Kepala BPBAP Takalar Nono Hartono mengungkapkan, sebagai varian baru yang berhasil dikembangkan melalui peran teknologi, lawi-lawi memang sudah berhasil mencuri perhatian para pengusaha budidaya. Tak tanggung-tanggung, varian tersebut kini sudah resmi masuk pasar internasional di Jepang.

(baca : KKP: 2020, Tak Ada Lagi Ekspor Mentah Rumput Laut)

Keberhasilan tersebut, menurut Nono tak bisa dilepaskan dari kerja sama dengan Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) yang sudah membuka pintu untuk masuk ke pasar Jepang. Dalam sebulan, kebutuhan lawi-lawi untuk pasar Jepang, kata dia, sedikitnya mencapai 500 kilogram dan itu dalam bentuk segar.

“Permintaan cenderung naik, kita harapkan berikutnya pasar ekspor Jepang ini bisa naik minimal 10 kali lipat,” ucap dia.

 

Lawi-lawi dengan nama lokal lawi-lawi (Sulawesi Selatan), latoh (Lombok) atau sebagian masyarakat menyebutnya dengan anggur laut. lawi-lawi, varian rumput laut jenis Caulerpasp bernilai ekonomis tinggi yang saat ini digenjot produksinya untuk ekspor. Foto : rumputlautindonesia.blogspot.co.id

 

Nono mengungkapkan, meski sudah berhasil diekspor, namun itu merupakan tahap awal dan ditargetkan negara tujuan ekspor akan bertambah lagi hingga menjangkau Tiongkok, Korea Selatan, dan Filipina. Negara-negara tersebut, saat ini sudah menyatakan ketertarikannya untuk mengimpor lawi-lawi dari Indonesia.

“Karakter masyarakat negara tersebut yang cenderung menyukai produk-produk sehat seperti rumput laut, secara langsung akan memicu permintaan pasar yang signifikan,” jelas dia.

Selain untuk pasar internasional, Nono menyebut, permintaan lawi-lawi kini juga sudah mulai berdatangan dari pasar dalam negeri. Di antaranya, dari perusahaan ritel PT Transmart Carrefour yang sudah menjual produk segar rumput laut tersebut di pasar modern mereka.

Lawi-lawi saat ini telah menjadi primadona baru di dunia bisnis perumput-lautan nasional bahkan dunia, ini menjadi nilai tambah tersendiri sekaligus tantangan untuk terus melakukan riset terkait nilai ekonomi sumberdaya rumput laut nasional yang potensi lahan dan varian jenisnya yang beragam,” ungkap dia.

Ratte Daeng Bella, 46 tahun, salah satu pembudidaya di Takalar, Sulawesi Selatan mengatakan, selama ini para pembudidaya belum tahu bahwa tambak bisa menghasilkan budidaya rumput laut jenis lain. Biasanya, rumput laut yang dibudidayakan di tambak hanya jenis Gracillaria dan lawi-lawi baru dikenalkan setelah BPBAP Takalar mengembangkannya.

 

Inilah lawi-lawi, varian rumput laut jenis Caulerpasp bernilai ekonomis tinggi. Foto : mynameszawir.blogspot.co.id

 

“Sejak lawi-lawi dikenalkan, banyak warga yang mulai melakukan usaha budidaya. Mereka senang karena pendapatannya jadi meningkat,” sebut dia.

Ratte mengungkapkan, dengan harga jual basah sekitar Rp150.000 hingga Rp250.000 per karung, dia bisa mendapatkan penghasilan hingga Rp15 juta per bulan dari tambak seluas 3.200 m2 yang dimilikinya.

Untuk diketahui, dalam kurun waktu lima tahun (2011-2015) produksi rumput laut menunjukkan tren kenaikan positif, dengan rata-rata kenaikan mencapai 22,25 persen. Pada 2015 volume produksi rumput laut nasional mencapai sekitar 11,2 juta ton dengan nilai produksi mencapai Rp13,2 trilliun atau naik 9,8 persen dari 2014 yang mencapai sekitar 10,2 juta ton.

 

Target Budidaya 2017

Selain dari rumput laut yang menjadi komoditas unggulan, untuk mengejar target produksi 2017 Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya juga menggenjot program kerja prioritas yang dilaksanakan pada 2017. Di antaranya, adalah produksi dari KJA lepas pantai (offshore) yang dibangun di tiga lokasi terpisah.

Menurut Slamet Soebjakto, produksi dari KJA offshore seharusnya bisa menghasilkan banyak dari setiap unitnya. Hal itu, karena KJA tersebut dibangun dengan desain untuk menghasilkan produksi yang besar.

“Teknologi KJA lepas pantai tersebut mengadopsi dari teknologi yang diterapkan oleh Swedia sebelumnya. Kita optimis bisa membuat KJA lepas pantai sebagai salah satu lumbung produksi untuk perikanan budidaya,” ucap dia.

Slamet menuturkan, yang membedakan produksi di Swedia dan Indonesia, adalah komoditas ikan yang dikembangkan. Jika di Swedia dipilih ikan salmon, maka di Tanah Air dikembangkan komoditas kakap putih.

(baca : Sejak 1950, Perikanan Budidaya Indonesia Lambat Berkembang, Kenapa Demikian?)

 

Kakap putih atau barramundi. Foto : gomancing.com

 

Menurut Slamet, pemilihan kakap putih juga dilakukan karena komoditas tersebut menjadi andalan dan merupakan jenis ikan laut yang tidak harus dijual dalam kondisi hidup. Dengan kata lain, kata dia, kakap putih bisa dijual dalam bentuk olahan seperti fillet segar.

“Di dalam satu unit KJA offshore yang mengapung di lepas pantai, dia menjelaskan, terdapat enam lubang dengan diameter 50 sentimeter,” tutur dia.

Dengan jumlah lubang tersebut, Slamet mengatakan, produksi kakap putih bisa didorong dengan hasil panen 568 ton per siklus. Untuk setiap panen, rerata kakap putih ukurannya mencapai 600 gram.

“Program KJA offshore tersebut berpotensi menghasilkan nilai Rp39,7 miliar untuk sekali panen,” jelas dia.

Untuk saat ini, Slamet mengungkapkan, program KJA offshore dilaksanakan di perairan Sabang (Aceh), Karimun Jawa (Jawa Tengah), dan perairan pantai selatan antara Cilacap (Jawa Tengah) dan Pangandaran (Jawa Barat).

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,