Menjaga Kehidupan Burung Berarti Menyelamatkan Lingkungan, Menurut Anda?

 

 

Jangan membunuh burung dan jangan merusak tempatnya.”

Kalimat itu ditulis pada secarik kertas oleh Peviyanto Ismail. Ia murid di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 13 Paguat. Sekolah itu letaknya tidak jauh dari Cagar Alam Panua, di Kabupaten Pohuwato, ujung barat Gorontalo.

Peviyanto tidak sendirian. Ia bersama 90-an murid lainnya, mulai dari kelas 4 sampai kelas 6, menggunting kertas membentuk burung, menggantungnya, dan menulis berbagai pesan.

“Jangan biarkan kami sampai punah.”

“Lestarikanlah kami.” 

Pesan-pesan yang ditulis anak sekolah dasar itu mewakili kondisi yang terjadi di kawasan Cagar Alam Panua, tempat yang sering kali terjadi perburuan burung maleo (Macrocephalon maleo). Maleo merupakan maskot Cagar Alam Panua. Bahkan Panua merupakan bahasa Gorontalo untuk menyebut nama maleo. Sayang, populasi si burung endemik Sulawesi ini semakin langka, di ambang kepunahan.

Selain gangguan predator, alih fungsi dan keserakahan manusia merusak hutan menjadi ancaman terbesar kehidupan maleo. Belum lagi perburuan telurnya yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit, dilakukan sembunyi-sembunyi.

Luas hutan Cagar Alam Panua sebenarnya adalah 45.575 hektare sesuai SK Menteri Kehutanan Nomor 471/Kpts-11/1992. Namun, luas ini menyusut ketika disahkan melalui rencana tata ruang wilayah Gorontalo tahun 2010 menjadi 36.575 hektare. Perubahan kawasan ini diputuskan melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 325/Menhut-11/2010 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Gorontalo.

Sesuai kajian tim terpadu 2007, cagar alam ini dialihfungsikan menjadi kawasan pertambangan, perkebunan, dan tata hutan kota. Padahal selain menjadi habitat maleo, di cagar alam ini bisa ditemukan penyu tempayan, penyu sisik, penyu belimbing, julang sulawesi, babirusa, anoa, tarsius, monyet sulawesi, dan berbagai jenis anggrek.

 

Cagar Alam Panua, luasnya menyusut dari 45.575 hektare menjadi 36.575 hektare. Foto: Christopel Paino

 

Merayakan Hari Burung Migran

Pesan yang disampaikan murid-murid sekolah dasar itu dituangkan ketika memperingati World Migratory Bird Day (WMBD) 2017 atau Hari Burung Migran Sedunia, 10 Mei 2017. Usai menyampaikan pesan, para siswa melepasliarkan tujuh anakan maleo umur 3 – 30 hari di Cagar Alam Panua.

Fachriany Hasan, penyuluh dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Seksi Wilayah II Sulawesi Utara, menjelaskan, dalam rangka WMBD, anak-anak sekolah dasar dikenalkan berbagai jenis burung. Mulai dari mengapa burung-burung melakukan migrasi serta jenis-jenis burung yang menjelajah.

“Sesuai tema WMBD tahun ini, menyelamatkan lingkungan sekitar berarti kita dapat menyelamatkan burung migran. Karena masa depan mereka adalah masa depan kita.”

Pantiati Cokrosuwiryo, Biodiversity Officer Burung Indonesia Program Gorontalo, menjelaskan fenomena burung migran di Indonesia, yang terdiri atas migrasi lintas benua seperti gajahan kecil (Numenius minutus) dan trinil rawa (Tringa stagnatilis) juga migrasi lokal seperti cekakak suci (Todiramphus sancta). Gajahan kecil bermigrasi di sepanjang pantai Asia Timur sampai Australia pada pertengahan Agustus-Oktober, berbiak di Siberia; musim dingin bermigrasi ke Filipina, Indonesia, dan Australia bagian utara.

Trinil rawa tempat berbiaknya di Rusia dan Siberia, bermigrasi pada musim dingin ke Afrika, Asia tenggara, Indonesia, dan Australia. Melewati Asia pada awal April sampai awal Mei. Sementara cekakak suci sebagai penetap di Australia, dan menjadi pengunjung tetap Papua dan Indonesia ketika musim dingin di selatan berlangsung.

Pengamatan burung juga dilakukan di pinggir Danau Limboto, Desa Lupoyo. Peserta sebanyak 20 orang tersebut mengamati burung-burung air. “Yang terpantau hanyalah gagang bayam dan kicuit kerbau. Burung lain jenis residen atau penetap yang terpantau adalah kuntul kecil, blelok sawah, cangak merah, mandar besar, serta tikusan alis putih,” ungkap Rosyid Azhar, anggota Biodiversitas Gorontalo (Biota).

 

Telur maleo yang tengah diperlihatkan. Dulu, kawasan pasir pantai di Cagar Alam Panua, adalah tempatnya maleo berkembangbiak. Foto: Christopel Paino

 

Habitat penting

Jumat, 12 Mei 2017, tim pengamat burung Biodiversitas Gorontalo, berhasil mengidentifikasi 19 jenis burung di Cagar Alam Panua dan 16 spesies di Paseda, Kabupaten Pohuwato saat melakukan pengamatan. Tim terdiri BKSDA, Burung Indonesia, dan Masyarakat Mitra Polhut (MMP).

Pantiati Cokrosuwiryo, kepada Mongabay Indonesia merinci, spesies yang ditemukan tersebut diantaranya adalah Megapodius cumingii (gosong filipina), Gallus gallus (ayam hutan merah), Ardea purpurea (cangak merah), dan Haliastur indus (elang bondol).

Sementara di Paseda, hutan mangrove yang mulai dikonversi menjadi tambak, tercatat jenis Anas giberifons (itik benjut), Ardea purpurea (cangak merah), Bubulcus ibis (kuntul kerbau), Butorides striata (kokokan laut), juga Streptopelia chinensis (tekukur).

 

https://youtu.be/gYROdkTGrb0?t=5

 

Tatang Abdullah, Kepala Resort Cagar Alam Panua menyatakan, Cagar Alam Panua merupakan kawasan konservasi bagi satwa, khususnya burung. Menurutnya, misi utama Cagar Alam Panua adalah penyelamatan maleo senkawor. “Upaya konservasi yang sudah berjalan adalah berkolaborasi dengan Burung Indonesia, Biodiversitas Gorontalo, dan pemerhati lingkungan lainnya dalam hal WMBD 2017.”

Tatang menjelaskan, Kabupaten Pohuwato yang memiliki hutan mangrove dan habitat air payau memiliki potensi sebagai tempat persinggahan burung migran. Hanya saja diperlukan pengamatan lebih intensif pada masa-masa migrasi untuk memetakan perseberannya.

Sebelumnya, pada 2016, perayaan Hari Burung Migran Sedunia juga digelar di Gorontalo. Bahkan, pada tahun yang sama, tim Biodiversitas Gorontalo, berhasil memenangkan kompetisi video internasional dalam rangka peringatan World Migratory Bird Day. Tim dari Gorontalo yang mewakili Indonesia, berhasil mengalahkan video burung migran dari negera Irlandia yang berada di tempat kedua, serta video kontes dari Kanada di posisi ketiga.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,