Mitigasi Paceklik Pangan Dimiliki oleh Komunitas Adat Bonokeling, Seperti Apa?

Hampir dapat dipastikan, ketika kemarau tiba maka petani di negeri ini bakal kesulitan untuk menanam padi. Apalagi, kalau ada El Nino yang kian memperpanjang musim tanpa turun hujan. Tak terkecuali apa yang dialami oleh Komunitas Adat Bonokeling yang berada di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng).

Dalam keseharian, warga adat Bonokeling menyatu dengan penduduk lainnya. Meski bercampur dengan khalayak ramai, namun mereka masih tetap mempertahankan adat budayanya secara kuat. Salah satunya adalah mitigasi kerawanan pangan. Tradisi yang hingga kini tetap dipertahankan adalah adanya lumbung pangan. Tradisi lumbung pangan yang sudah ditinggalkan oleh kebanyakan masyarakat, ternyata masih langgeng di tempat komunitas adat Bonokeling.

 

 

Juru bicara Komunitas Adat Bonokeling Sumitro mengungkapkan tatkala masyarakat umum tidak lagi mempedulikan adanya lumbung pangan, namun masyarakat adat Bonokeling tetap mempertahankan. “Ini adalah tradisi turun temurun dari nenek moyang kami yang tidak boleh hilang. Sebab, lumbung pangan telah nyata menolong warga ketika paceklik tiba. Apalagi, jika musim kemarau panjang datang, maka lumbung pangan jadi tumpuan,” ungkap Sumitro saat berbincang Jumat (19/05/2017) pekan lalu.

Hanya saja, lanjut Sumtro, jangan membayangkan bentuk bangunan lumbung pangan seperti dulu, dengan menggunakan rumah panggung berbahan kayu. Sebab, saat sekarang lumbung pangan berbarengan dengan Balai Rukun Tetangga (RT). Jadi, sebagian besar RT di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang memiliki lumbung pangan. “Lumbung pangan ada, hanya tempat penyimpanannya saja yang berbeda,” ujarnya.

Dia mengungkapkan sampai sekarang masih ada 23 lumbung pangan yang tersebar di desa setempat. Lumbung pangan tetap bertahan, karena tidak hanya merupakan sebuah budaya yang harus dilestarikan, tetapi kemanfataannya secara nyata telah dirasakan. “Jika musim kemarau tiba, apalagi panjang, maka warga Bonokeling akan menggantungkan pasokan pangan dari lumbung tersebut. Pangan yang disimpan berupa padi yang telah disetorkan oleh anggotanya pada saat panen tiba. Kalau rata-rata anggota sekitar 30-40 orang dan setorannya mulai 50 kg hingga satu kuintal, maka maksimal dalam satu gudang dapat menyimpan 4 ton gabah,” ungkapnya.

(baca : Ternyata Dibalik Ritual Adat Bonokeling, Ada Kearifan terhadap Lingkungan)

 

Sejumlah beras yang disiapkan untuk sebuah prosesi masyarakat adat Bonokeling yang tengah ditunggu Tetua adat. Foto : L Darmawan

 

Tentu saja, lanjut Sumitro, dalam meminjam harus dilakukan secara bijak. Pengurus lumbung akan memprioritaskan yang paling membutuhkan. “Siapa yang paling membutuhkan, itu nanti yang bakal didahulukan. Sejak awal mula, telah disepakati jika peminjaman tersebut ada bunga yang harus ditanggung. Setiap satu kuintal, misalnya, maka bunganya sebanyak 20 kilogram (kg) atau 20%. Bunga yang terkumpul, nantinya juga dibagikan lagi kepada para anggotanya. Tradisi semacam itu sudah berjalan ratusan tahun dan hingga kini tetap jalan. Sebab, banyak yang merasakan manfaatnya. Tidak jadi soal, kalau banyak orang meninggalkan lumbung padi, namun kami tetap akan pertahankan,” tegas Sumitro.

Bagaimana jika padi benar-benar habis di lumbung? Sejauh ini, kata Sumitro, selama musim paceklik, stok di lumbungan pangan tetap masih ada. Namun, seandainya stok menipis atau habis, maka telah ada antisipasi lainnya. “Paceklik padi umumnya terjadi saat kemarau panjang datang. Sebagai petani, warga Bonokeling tidak hanya menggarap sawah, tetapi juga kebun. Hampir setiap ada lahan di kebun, tidak dianggurkan begitu saja, melainkan ditanami palawija. Salah satu jenisnya adalah singkong. Inilah komoditas yang bisa menyelamatkan kalau terjadi kemarau panjang,” ungkap Sumitro.

Singkong tersebut, katanya, diolah untuk dijadikan “oyek”. Caranya adalah dengan merendam singkong selama beberapa hari. Setelah empuk, singkong itu ditumbuk sampai tercipta butiran-butiran seperti beras. Butiran singkong tersebut kemudian diolah dengan cara dikukus. Begitu matang, dapat langsung dimakan. Namun, kalau ingin disimpan, maka langsung dikeringkan di bawah terik sinar matahari. Jika telah benar-benar kering, maka oyek tersebut dapat disimpan dan bertahan hingga beberapa bulan. “Pembuatan oyek tersebut kadang tidak hanya terpaku pada saat kemarau saja, sebab panen singkong setiap saat bisa. Dan sebagian singkong dibuat oyek. Apalagi, kalau menjual singkong mentah tidak ada harganya, sangat murah,”katanya.

 

Salah seorang warga adat Bonokeling mengeringkan oyek, makanan berbahan baku singkong. Foto : L Darmawan

 

Menurutnya dengan menyimpan oyek, maka warga komunitas Bonokeling tidak terlalu khawatir seandainya terjadi kemarau panjang. Apalagi, dalam tradisi Bonokeling juga ada budaya ngrakeh. Apa itu? “Ngrakeh adalah disebut sebagai puasa. Ritual puasa ngrakeh dilaksanakan pada bulan Sura dalam kalender Jawa. Intinya, dalam puasa ngrakeh maka orang yang menjalankan tidak boleh makan berbahan nasi dari padi. Selama 40 hari, warga Bonokeling yang menjalankan puasa ngrakeh tidak boleh makan nasi. Mereka hanya dapat memakan selain nasi seperti oyek dan umbi-umbian,” ujarnya.

Apakah masih banyak yang menjalankan ritual ngrakeh? Sumitro mengatakan dalam lelaku atau menjalankan ritual puasa ngrakeh tersebut tidak boleh diomong-omongkan. “Misalnya saya menjalani, maka tetangga saya tidak perlu tahu. Jadi lelaku itu adalah masalah pribadi, tidak boleh diceritakan sama orang lain,” kata dia.

Jadi, ketika pemerintah memiliki program diversifikasi pangan atau sehari tanpa nasi, maka komunitas adat Bonokeling sudah menjalankan bahkan lestari sampai sekarang. “Memang kalau dilihat, pemerintah menggalakkan adanya lumbung pangan atau warga diminta untuk tidak hanya makan nasi saja, namun bagi masyarakat adat kami, semua hal itu sudah kami laksanakan bahkan akan terus dilanjutkan,”ungkap Sumitro.

Warga adat Boneling asal Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kaswadi, 55, mengatakan bahwa ngrakeh memang menjadi salah satu ritual yang dijalani oleh masyarakat Bonokeling. “Dalam setahunnya, banyak sekali ritual yang dijalani. Salah satunya adalah ngrakeh pada saat bulan Sura. Biasanya, untuk ritual ngrakeh, warga yang menjalani tidak mengonsumsi makanan dari padi atau nasi. Ngrakeh ini adalah “lelaku” yang dilakukan oleh masing-masing pribadi,” ujarnya.

 

Kebersamaan warga adat Bonokeling, salah satunya ditunjukkan dengan gotong-royong saat menata daging kambing dan sapi hasil pemotongan. Foto : L Darmawan

 

Pendamping Lokal Desa (PLD) Pekuncen Eko Yulianto mengatakan bahwa tradisi dan budaya di masyarakat adat Bonokeling benar-benar masih sangat dijaga. “Mereka memiliki kearifan lokal yang masih sangat relevan dengan kondisi kekinian. Salah satunya adalah bagaimana mereka mengantisipasi saat paceklik ketika musim kemarau datang. Warga Bonokeling telah memilki cara, salah satunya adalah mempertahankan lumbung pangan. Sebab, saat musim paceklik, padi di dalam lumbung pangan menjadi stok untuk mengatasi kesulitan pangan. Hal itu masih dipertahankan sampai sekarang bersama dengan tradisi-tradisi lainnya,” tandasnya.

Tradisi yang dimiliki oleh komunitas adat Bonokeling barangkali dipandang sebelah mata oleh sebagian orang, namun kenyataannya budaya mereka masih relevan dengan zaman kekinian. Bahkan, tradisi mereka dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat lainnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,