Ikan Bandeng Tanpa Duri. Bagaimana Rasanya?

Ikan bandeng adalah sejenis ikan dengan duri yang banyak, sehingga mengkonsumsi ikan ini kadang merepotkan. Padahal, konon ikan hasil budidaya tambak ini tergolong memiliki kandungan gizi yang tinggi.

Mengatasi kendala duri ini, dulunya diatasi dengan cara dimasak secara presto atau dimasak menggunakan panci bertekanan tinggi. Hanya saja ini cara ini akan mengurangi cita rasa ikan. Belakangan muncul cara lain yang lebih praktis dan tidak mengubah cita rasa ikan, yaitu dengan cara mencabut duri-duri ikan secara manual, sebelum akhirnya dimasak untuk dikonsumsi.

Untuk mengetahui bagaimana proses produksi ikan cabut duri ini, Mongabay mengunjungi salah satu produsen ikan olahan ini yaitu usaha ’88 Marijo’ yang berada di Kecamatan Mattiro Bulu, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, pada awal Mei 2017 lalu.

 

 

Mariani, pemilik usaha olahan ikan ini dengan antusias menunjukkan bagaimana proses produksi dilakukan oleh karyawannya yang seluruhnya adalah perempuan berjumlah 29 orang.

“Dalam sehari kita bisa produksi dari 500-700 ikan, tergantung suplai ikan dari nelayan. Ikan yang sudah diproses biasanya takkan tinggal lama, malah kadang kita kewalahan ketika ada permintaan yang tiba-tiba,” ujarnya.

Harga produk ini bervariasi sesuai kemasannya. Ada yang dijual dengan harga Rp17 ribu per 3 ekor, untuk ukuran kecil. Untuk ukuran yang lebih besar dijual dengan harga Rp20 ribu isi tiga dan dua. Ada juga harga Rp25 ribu isi tiga dan dua. Ikan dengan ukuran besar, sekitar 500 gram dijual seharga Rp25 ribu per ekor. Produk ini bisa bertahan selama 6 bulan bahkan sampai 1 tahun selama disimpan dalam freezer.

Proses produksi ikan ini sebenarnya sangat sederhana. Ikan segar yang baru datang dari empang langsung ditimbang dan diseleksi. Hanya ikan segar yang bisa digunakan. Lalu disimpan di coldbox untuk mempertahankan kesegarannya, sebelum akhirnya diproses.

“Dalam proses pembersihan ini, sisik dan usus dikeluarkan dan dibelah. Dalam kondisi yang masih mentah dan segar ini harus segera dicabut durinya satu persatu menggunakan pinset.”

Sejumlah karyawan Mariani kemudian memperlihatkan bagaimana proses pencabutan itu dilakukan dengan sangat cepat. Mereka memakai pakaian seragan khusus, penutup kepala, masker kain dan kaos tangan plastik. Tak butuh waktu lama membersihkan duri dari seekor ikan.

“Kecepatan cabut duri tergantung pada kondisi ikannya, antara 3 – 10 menit. Kalau ikannya lembut, paling hanya butuh waktu sekitar 3-5 menit. Kalau ikannya sudah agak tua biasanya dagingnya agak keras sehingga butuh waktu lama untuk mencabut seluruh durinya,” ungkap Mariani.

 

Dalam setiap ikan bandeng terdapat duri sebanyak 164 hingga 212 duri. Duri ini cabut ketika ikan dalam keadaan agak beku dan masih segar sehingga mudah dicabut. Foto: Wahyu Chandra

 

Dalam sehari setiap pekerja bisa mengerjakan 50 ekor ikan, dimana setiap ekornya dinilai Rp1.500. Para pekerja Mariani sudah mengenal dengan dengan baik letak duri-duri itu berada. Jumlah duri bervariasi antara 164 hingga 212. Sebuah gambar di dinding ruangan menunjukkan letak duri-duri tersebut berdasarkan standar resmi penemunya.

“Kalau dari standarnya sih dikatakan setiap ikan memiliki 164 duri, namun ternyata setelah beberapa kali kami menghitung sendiri ternyata jumlahnya bervariasi melebihi angka tersebut. Paling banyak itu sekitar 212 duri.”

Karena telah memiliki standar SNI, proses pengerjaan produk di Marijo ini memiliki standar yang sangat ketat. Mulai dari seragam dan peralatan yang digunakan, kondisi ruangan dan aturan-aturan lain yang tak boleh dilanggar.

“Kalau mereka misalnya mau ke toilet atau ke luar ruangan, semua pakaian kerja harus dilepas. Semua ruangan juga harus steril dulu sebelum digunakan.”

Tidak hanya menghasilkan ikan segar tanpa duri, limbah dari usaha Mariani ternyata bisa diolah menjadi bahan makanan lain. Duri ikan bisa dijadikan abon ikan, sementara tulang tengah ikan menjadi kerupuk stik yang renyah. Hampir tak ada bagian ikan yang terbuang, selain sisik dan isi perut.

“Abon duri ikan ini justru lebih sehat karena selain berisi daging juga mengandung kalsium yang tinggi.”

 

Salah satu produk yang dihasilkan dari ikan bandeng yang tekah dibersihkan durinya adalah krupuk atau amplang bandeng. Produk ini sudah dijual di toko-toko dan swalayan dengan harga Rp10 ribu perkemasan. Foto: Wahyu Chandra

 

Berawal dari Indramayu

Menurut Mariani, asal mula ia menggeluti usaha ikan bandeng cabut duri ini berawal dari kunjungan belajar suaminya Johannes, yang bekerja di Dinas Kelautan dan Perikanan Pinrang, ke Indramayu.

“Setelah pulang dari Indramayu, suami saya berpikir mengembangkan usaha bandeng tanpa duri ini karena di sini kan banyak ikan bandeng. Di sini lah kemudian muncul inspirasi saya untuk memulai usaha ini. Kalau di Jawa bisa, kenapa di sini tidak, padahal Pinrang itu salah satu penghasil ikan bandeng.”

Mariani memulai usaha ini dengan modal sekitar Rp10 juta, yang digunakan untuk membeli freezer dan peralatan-peralatan produksi seperti pinset, baskom, pisau, dan lainnya. Ruang produksi pun masih dilakukan di bawah kolong rumah dengan lantai tanah.

“Di awal kita hanya produksi sekitar 50-60 ekor ikan per hari. Pembelinya pun masih sangat terbatas. Waktu itu saya masih kerja di Dinas Kesehatan, saya jual saja di teman-teman kantor,” cerita Mariani.

Tiga bulan kemudian, usaha mulai semakin meningkat. Produksi pun sudah mencapai 100 ekor per hari. Agar mendapat pembinaan dari pemerintah, Mariani kemudian membentuk kelompok wanita tani yang dinamai UKM Menara Jaya.

“Setelah berjalan beberapa lama, saya melihat prospek usaha ini semakin baik dan butuh tenaga kerja yang lebih banyak lagi. Sementara dalam kelompok dibatasi hanya 10 orang saja. Kalau skalanya kecil terus, kapan kami bisa berkembang? Makanya kemudian pada tahun 2012 saya ubah haluan jadi kelompok usaha dengan nama 88 Marijo.”

 

Limbah duri ikan bandeng digunakan untuk membuat abon ikan, dinilai lebih sehat karena kandungan kalsium yang tinggi. Tulang tengah ikan juga diolah menjadi krupuk stik yang renyah dan enak. Foto: Wahyu Chandra

 

Seluruh karyawan umumnya adalah perempuan muda produktif putus sekolah yang berasal dari sekitar rumahnya.

“Saya katakan, daripada tinggal di rumah hanya gosip dan mengerjakan hal-hal yang tak produktif lainnya, mending bantu-bantu usaha di sini. Ternyata ada yang tertarik. Awalnya hanya 8 orang, lalu meningkat menjadi 10 orang hingga 30 orang sampai sekarang. Hanya saja bulan lalu ada 1 karyawan kami yang meninggal karena sakit.”

Usaha yang dikelola Mariani ini bukan tanpa tantangan. Tantangan utama pada karyawan yang kurang yang kurang terampil dan sulit menerima dengan cepat teknologi baru. Tantangan lain pada pemasaran yang masih sangat terbatas.

“Sebagian besar pembeli adalah masyarakat kalangan atas, seperti pejabat-pejabat. Ada juga dari hotel dan restoran di Makassar. Ada juga yang sudah dijual ke luar daerah, seperti Kalimantan, Kendari dan Papua. Mereka mendapat informasi dari mulut ke mulut. Pemasaran masih sebatas itu. Media sosial belum kita gunakan secara maksimal.”

Tantangan lain dari segi harga yang tak pernah berubah sejak awal usaha, bahkan setelah usaha ini mendapatkan sertifikasi atau SNI.

“Meski usaha kami ini punya standar SNI, yang berarti dikelola secara profesional dan higienis namun harga tetap sama, karena masyarakat umumnya tak peduli ada standar SNI atau tidak. Mereka hanya melihat harga saja, kalau kita naikkan harga sementara yang lain tidak, mereka pasti lebih memilih yang harganya murah.”

Perihal standar SNI yang dimiliki usahanya, Mariani merasa beruntung mendapat bantuan dari pemerintah.

“Kelebihan SNI karena ada pengakuan produk. Seharusnya harga bisa lebih mahal dan bisa kerjasama ke luar, bahkan bisa ekpsor. Sejak SNI memang ada peningkatan pasar, meski di masyarakat luas sendiri tetap saja dipahami dengan kurang baik. Butuh lebih banyak sosialisasi.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,