Tetap Kuasai Hutan Register 40 untuk Sawit, DL Sitorus Kembali jadi Tersangka

 

 

Setelah proses cukup lama, penanganan kasus sawit di hutan lindung Register 40 Padang Lawas, Sumatera Utara, milik DL Sitorus, bos perusahaan sawit PT Torganda, ada titik terang. Sitorus yang nekat terus mengusahakan ‘hutan’ sawit tetap jalan, akhirnya kembali tersangka pada 17 Mei 2017 dan jadi tahanan kota.

Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, menilai, kasus ini sangat penting dalam menentukan efektivitas penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan Indonesia ke depan. Harapannya, bisa menimbulkan efek jera bagi pihak lain.

”Ada 47.000 hektar hutan milik negara dirambah jadi kebun sawit beserta bangunan sarana prasarana. Selama 10 tahun ini dikuasai (ilegal). Negara sangat dirugikan,” katanya saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (24/5/17).

Sebenarnya, Sitorus telah vonis bersalah sejak 2007 sampai putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 2642 K/Pid/2006 tertanggal 12 Februari 2007. Lalu, Peninjauan Kembali N 39 PK/Pid/2007 tertanggal 16 Juni 2008. Sutorus terhukum penjara delapan tahun, denda Rp5 miliar.

Baca juga: Parah! 8 Tahun Putusan MA Tumpul, Sawit Masih Kuasai Regiter 40

Kasus ini,  sempat jadi perhatian lintas kementerian dan lembaga pada 2015 karena Sitorus sudah vonis hukum bersalah tetapi di lapangan negara sulit eksekusi.

Bahasan ini, kala itu melibatkan antara lain, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Ferry Mursyidan Baldan, Menteri  ATR/BPN; Menteri BUMN Rini Soemarno; Jaksa Agung, Muhammad Prasetyo sampai Menteri Politik Hukum dan Keamanan kala itu, Tedjo Edhy Purdijatno.

Baca juga: Eksekusi Hutan Sawit di Register 40 Berlarut, Ini Kata Para Menteri

Ternyata Sitorus terlalu percaya diri. Hingga kini, Sitorus masih memanen, menjual dan menggunakan hasil panen sawit itu.

Pada Juni 2015, KLHK sudah meminta kepada Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (GAPKI) untuk tak menerima atau membeli produk dari kebun ilegal itu. KLHK sempat memberikan peringatan untuk penyerahan aset, tetapi Sitorus tak mengindahkan bahkan melawan.

”Sempat terhenti dan beroperasi kembali. Ini kasus sudah 10 tahun berkekuatan hukum tetapi, belum bisa dieksekusi,” kata Roy, sapaan akrab Rasio.

Kini, Sitorus terkena tahanan kota di Jakarta dengan ancaman penjara paling lama 15 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.

Situros melanggar UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta KUHP sesuai hasil penyidikan Direktorat Penegakan Hukum Pidana.

”Operasi mereka tak dilengkapi izin lingkungan. Karena kasus ini, kami tahu banyak perambahan terjadi dan perlu tindakan tegas.  Kalau tidak, akan banyak lagi perambahan.”

KLHK juga akan mengembangkan kasus ini untuk mencari tersangka lain. Kementerian dipimpin Siti Nurbaya ini berkoordinasi dengan PPAT dan Otoritas Jasa Keuangan guna mengusut transaksi keuangan terkait kejahatan perambahan hutan untuk perkebunan.

 

Majelis Hakim yang menyidangkan kasus kebakaran lahan PT JJP di PN Jakarta Utara. Foto: Lusia Arumingtyas

 

Laporan masyarakat dan penanganan kasus

Sementara, data KLHK, sampai Mei 2017, ada 200 laporan masyarakat. Pada 2016, jumlah 600-700 pengaduan. “Ini menunjukkan masih ada persoalan di masyarakat, tentu kami akan menangani masalah ini,” kata Roy.

Dia tak menampik, masih banyak tindak pidana kehutanan seperti illegal logging, perdagangan tumbuhan dan satwa dilindungi, sampai perambahan hutan.

”Ada 78 tindakan dilakukan baik operasi pengamanan maupun penindakan pada Mei, seperti 26 kasus di Sulawesi, 16 Kalimantan, delapan kasus Sumatera, delapan Jawa, Bali dan NTT, maupun enam Maluku dan Papua,” ujar dia.

Selain kasus Sitorus, dalam 2017, KLHK sedang menangani 31 kasus baik, tindakan PPNS maupun koordinasi dengan polisi dan bersama para ahli dari KLHK. Sedangkan, kasus perdata di luar pengadilan, ada lima sedang mediasi. Gugatan pidana, ada delapan kasus sedang proses banding dan empat dalam persidangan.

Baca juga: Putusan Hukum Kasus Kebakaran Lahan Jatim Perkasa Mengecewakan, Kementerian LHK Banding

Kabar terbaru, KLHK memenangkan gugatan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara oleh PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) dalam perkara kebakaran hutan dan lahan. JJP harus membayar ganti rugi Rp119,9 miliar dan memulihkan 1.000 hektar lahan terbakar dengan biaya Rp371 miliar.

”Angka ini sangat sesuai,” katanya.

Hasil banding ini, kata Roy,  lebih berat dari putusan PN Jakarta Utara pada Maret 2015 yang menyatakn JJP bersalah, harus membayar ganti rugi, Rp 7,1 miliar. Kala itu, perusahaan hanya wajib memulihkan 120 hektar dengan biaya Rp22 miliar.

”Ini berita menggembirakan. Kami apresiasi keputusan hakim.”

Perusahaan sawit pemasok Wilmar Group yang memiliki lahan di Simpang Damar, Desa Sei Majo, Kabupaten Rokan Hilir, Riau, inipun kena bayaran uang paksa Rp25 juta per hari untuk setiap keterlambatan pemulihan lingkungan oleh pengadilan tinggi.

Selain itu, KLHK telah mengenakan sanksi administrasi kepada perusahaan baik karena melanggar UU Lingkungan Hidup maupun Kehutanan. ”Ada 53, ada paksaan pemerintah hingga penghentian sementara.”

Dia contohkan, sanksi administrasi paksaan penghentian kegiatan operasional PT RAPP Estate Pelalawan pada 9 Maret 2017. KLHK meminta menghentikan penanaman akasia di gambut, mencabut tanaman dan membersihkan biomassa bekas pencabutan di Blok G Dayun. KLHK juga, menghentikan pembuatan kanal baru di lahan gambut dan menimbun kanal baru.

KLHK memberikan 45 hari untuk perbaikan dan memenuhi kewajiban. ”Kita memperpanjang karena mereka membutuhkan waktu tambahan. Proses selalu kita awasi dan memastikan mereka jalankan perintah.”

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , , ,