Sejumlah pengembang dan pengusaha energi baru dan terbarukan (EBT) masih mempertanyakan kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengenai jual beli listrik. Pemerintah, seperti dikatakan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar tetap yakin Peraturan Menteri ESDM No 10 dan 12 keluar Februari lalu, cukup kompetitif bagi badan usaha swasta yang bergiat di energi bersih.
Permen ESDM No 10/2017 mengatur tentang pokok-pokok dalam perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBL) antara PT. PLN selaku pembeli dan badan usaha swasta penyedia listrik.
Poin-poin diatur dalam PJBL meliputi aspek komersial untuk seluruh pembangkit termasuk tenaga panas bumi, tenaga air dan biomassa.
Untuk pembangkit listrik EBT intermiten atau tak kontiniu, tenaga air kurang 10 megawatt, tenaga biogas dan pembangkit berbasis sampah kota, diatur aturan tersendiri.
PJBL mengatur jangka waktu paling lama 30 tahun sejak pembangkit beroperasi menghasilkan listrik. Selain itu, mesti memuat hak dan kewajiban penjual dan pembeli, alokasi risiko, jaminan pelaksanaan proyek, komisioning dan commercial operation date (COD). Juga pasokan bahan bakar, transaksi, pengendalian operasi sistem, penalti terhadap kinerja pembangkit, pengakhiran PJBL, pengalihan hak, persyaratan penyesuaian harga, penyelesaian perselisihan dan keadaan kahar (force majeure).
Arcandra mengatakan, permen ini muncul karena banyak Independent Power Producer (IPP)-badan usaha swasta-tak menyanggupi produksi listrik atau availability factor sesuai Power Purchase Agreement (PPA)-kesepakatan jual beli antara PLN dan badan usaha swasta-yang sudah ditandatangani,
“Banyak PPA sudah tandatangan, yang kejadian, dijanjikan 100 megawatt, setelah COD, AF cuma 60%, 50%, tidak sesuai dijanjikan,” katanya di Jakarta, baru-baru ini.
Jadi, KESDM mengeluarkan Permen ESDM 10 sebagai instrumen agar PLN bisa mempenalti IPP yang tak memenuhi kewajiban. Dalam Pasal 13, dinyatakan jika terjadi keterlambatan COD karena kelalaian badan usaha, akan kena penalti liquidated damage-ganti rugi-senilai biaya pembangkitan PLN untuk mengganti daya akibat keterlambatan COD.
Sisi lain, jika badan usaha siap menyaluran daya listrik, namun PLN tak menyiapkan jaringan, sesuai Pasal 16, PLN wajib membayar penalti kepada IPP selama periode tertentu.
“Kalau IPP lebih dulu dari yang ditargetkan, PLN juga harus kasih insentif. Harus imbang,” ucap Arcandra.
Badan usaha juga bisa kena penalti lain jika tak mampu menjaga kinerja pembangkit. Selain liquidated damaged karena ketersediaan produksi listrik, dapat juga kena penalti AF atau CF, dan penalti outage factor karena ketiadaan energi yang dijanjikan. Juga, penalti tara kalor (heat rule) untuk pembangkit berbahan gas dan batubara, penalti kegagalan memikul mega volt ampere reactive (MVAR), penalti kegagalan menjaga frekuensi dan penalti kecepatan naik turun beban (ramp rate).
Sementara Permen No 12/2017 mengatur tentang pemanfaatan sumber EBT untuk penyediaan listrik. Ada soal biaya pokok produksi (BPP) masing-masing pembangkit EBT. Pembangkit dari pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm), tenaga air (PLTA), PLTS fotovoltaik. biogas (PLTBg), ditetapkan harga beli 85% dari BPP.
Sedang PLTSa, untuk mengurangi sampah kota, harga beli maksimal BPP setempat atau dengan harga patokan dan bisa dapat insentif.
“Spirit Permen 12, BPP kalau bisa setiap tahun turun.” Khusus panas bumi, kata Arcandra, KESDM sedang menunggu pedoman susunan PLN untuk mengatur jual beli listrik mengikat– PLN membeli listrik dari eksplorasi IPP.
Keluhan pengusaha
Dua bulan sejak dua permen keluar, berbagai tanggapan muncul dari pengusaha EBT. Beberapa usul pemerintah merevisi target penurunan emisi gas rumah kaca komitmen Indonesia karena aturan pemerintah tak berpihak pada pembangkit EBT.
Keluhan terutama Pasal 8 Permen No 10 mengenai pembagian risiko ditanggung perusahaan swasta dan pemerintah. Dalam ayat 1, risiko ditanggung PLN meliputi perubahan kebijakan atau regulasi, kebutuhan tenaga listrik atau bebas, kemampuan transmisi terbatas dan keadaan kahar. Sementara badan usaha, sesuai ayat 2 selain menanggung government force majeure juga bertanggungjawab terhadap pembebasan lahan, perizinan termasuk izin lingkungan. Lalu, ketersediaan bahan bakar, ketepatan jadwal pembangunan, performa pembangkit dan keadaan kahar misal bencana alam.
“Pengembang harus menanggung risiko karena ada perubahan kebijakan. Bandingkan dengan percepatan infrastruktur, risiko justru ditanggung pemerintah. Kenapa listrik ini berbeda dengan yang lain padahal tujuan sama?” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Esensial Service Reform (IESR).
Mengenai Permen 12, Fabby mempertanyakan acuan KESDM dalam menetapkan persentase harga beli antara 85-100% BPP setempat sesuai jenis pembangkit.
“Kalau ingin BPP turun terus kenapa acuan BPP PLN? Kalau lihat regulasi sebelumnya tidak gunakan itu.”
M Riza Husni Ketua Umum Asosiasi PLTA, mengeluhkan, kesulitan pendanaan EBT dari bank domestik karena bunga kredit tinggi: 11-12% pertahun. Tingkat bungai dirasa berat mengingat laba investasi 11% pertahun.
Menanggapi ini, kata Arcandra, government force majeure mengacu pada lumpuhnya sistem tata negara, bukan semata perubahan regulasi. Aturan ini, katanya, cukup adil karena kedua belah pihak, baik PLN maupun badan usaha sama-sama menanggung risiko akibat perubahan kebijakan negara.
“Dalam keadaan kahar itu wajar,” kata Wamen.
BPP PLN menjadi acuan setelah telaah timnya terkait biaya keekonomian masing-masing pembangkit. KESDM, sudah memanggil sejumlah pengembang masing-masing pembangkit sebagai bahan pertimbangan sebelum memutuskan menjadi BPP PLN sebagai acuan.
“Kita coba strategi ini. Ini buatan manusia, suatu saat kalau tidak workable satu dua tahun kita ubah. Jangan khawatir. Untuk sekarang ini win win solution. Kalau kita selalu mau pakai feed in tariff, subsidi duit dari mana?” katanya.
Meski muncul beberapa bantahan dengan membandingkan harga energi fosil dinilai lebih ekonomis namun tak memasukkan biaya lingkungan, Arcandra membantah. Dia menegaskan, semua perhitungan sudah masuk aspek ekonomi berkeadilan.
Dia mengklaim, setidaknya ada delapan badan usaha menyatakan sanggup membangun pembangkit EBT sesuai dua permen ini tanpa . tak sebutkan rinci.
Untuk pembiayaan EBT, Arcandra sepakat bank lokal tak cocok. Dia menyarankan, pengusaha mencari pinjaman bank asing dengan bunga kredit 2%. Arcandra berjanji, mempertemukan pengembang dan lembaga keuangan atau bank asing yang tertarik membiayai EBT di Indonesia.