Kucing Merah Itu Terekam Kamera di Hutan Kalimantan Tengah

 

 

Belum banyak penelitian yang menyibak tabir kucing merah (Catopuma badia) atau yang biasa disebut kucing kalimantan. Informasi mengenai perilaku, persebaran, hingga sifatnya yang sukar dipahami masih membutuhkan serangkaian penelitian mendalam yang hingga kini coba disibak para ilmuwan.

Baru-baru ini, kabar gembira datang dari tim peneliti Borneo Nature Foundation yang berhasil menemukan seekor kucing merah jantan melalui video jebak di hutan rawa gambut Kalimantan Tengah. Suatu wilayah yang sebelumnya tidak pernah diperkirakan akan adanya kucing tersebut.

Temuan itu, dituliskan di Cat News 2017, jurnal terbitan Specialist Group Cat, Species Survival Commission SSC, International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Borneo Nature Foundation, yang bekerja sama dengan peneliti dari Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Indonesia, juga Universitas Exeter, Inggris, melakukan survei tersebut di Landsekap Rungan. Untuk lokasi penemuan diperkirakan sekitar 64 kilometer arah tenggara dari lokasi utama persebarannya.

 

https://www.youtube.com/watch?v=0E5V3tnBhE4&feature=youtu.be

 

Sebanyak 54 kamera jebak yang disebar di 28 lokasi telah dipersiapkan untuk menemukan spesies endemik Kalimantan ini. Rekaman didapat setelah riset berlangsung 28 hari. Namun, demi keselamatan hidup kucing merah, para peneliti sengaja tidak menuliskan koordinat lokasi. Terlebih, hutan tempat kucing itu hidup bukan wilayah konservasi sehingga perburuan bisa terjadi setiap waktu.

Dr. Susan Cheyne, Co-Director Borneo Nature Foundation dan penulis utama laporan mengatakan, kucing liar merah bisa menjadi spesies yang paling sulit dipelajari atau diteliti di alam. Mereka tertutup, tersembunyi, dan sangat tersamarkan. “Akan tetapi, pengetahuan dan pemahaman kami tentang kucing merah kalimantan mendapat secercah asa berkat adanya teknologi, terutama kamera dan video perangkap,” tuturnya.

Adul, koordinator proyek kamera jebak yang juga penulis pendamping publikasi menuturkan, kamera jebak sangat membantu penelitian pada satwa yang jarang terlihat. “Kamera trap merupakan alat konservasi yang mumpuni karena dapat mengungkapkan informasi penting sekaligus melindungi spesies terancam punah, semisal kucing merah ini.”

 

Kucing merah adalah satwa endemik kalimantan yang hingga kini sulit dilihat. Foto: Borneo Nature Foundation

 

Dilindungi

Di Indonesia, bila merujuk Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999, kucing merah (Catopuma badia) merupakan satu dari enam jenis kucing yang dilindungi: Prionailurus bengalensis (kucing hutan), Pardofelis marmorata (kucing batu), Felis planiceps (kucing dampak), Catopuma temmincki (kucing emas), dan Prionailurus viverrinus (kucing bakau).

“Kucing merah merupakan satwa yang jelas dilindungi di Indonesia. Untuk itu, bila kita ingin melindungi spesies ini, hal penting yang harus kita lakukan adalah menjaga hutan sebagai rumah kehidupannya,” tutur Siti Maimunah, Dekan Fakultas Kehutanan dan Pertanian Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, yang juga rekanan penulis publikasi tersebut.

 

Bentang hutan yang merupakan tempat hidup kucing kalimantan di Kalimantan Tengah. Foto: Bernat Ripoll/Borneo Nature Foundation

 

Siti, kepada Mongabay Indonesia, menjelaskan sejauh ini keberadaan sang kucing aman karena pemantauan dan penjagaan terus dilakukan. Meminimalisir perburuan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sekaligus menjaga habitat alaminya wajib dijalankan.

“Melindungi hutan tidak hanya penting untuk kehidupan kucing merah dan kelestarian keanekaragaman hayati yang ada, tetapi juga bagi vital bagi masyarakat lokal sekitar. Hutan memberikan udara segar, air bersih, ikan, dan sumber kehidupan yang senafas dengan budaya dan kearifan lokal mereka,” jelasnya Rabu, 24 Mei 2017.

Sebagaimana namanya, kucing merah kalimantan memang hanya ada di Kalimantan. Ukuran dewasanya sekitar 50 hingga 60 sentimeter dengan panjang ekor 30 – 40 sentimeter. Beratnya sekitar 3 sampai 3,5 kilogram. Habitatnya tersebar mulai dai hutan rawa, gambut, dataran rendah, hingga perbukitan setinggi 500 meter di atas permukaan laut (m dpl). Hingga kini, belum dapat dipastikan berapa jumlah populasinya di alam liar.

 

Peta persebaran kucing batu kalimantan. Sumber: IUCN/Borneo Nature Foundation

 

Adalah John Edward Gray sebagai orang pertama yang mendeskripsikan kucing kalimantan Felis badia pada 1874 berdasarkan analisis kulit dan tengkorak yang dikumpulkannya di Serawak (1856). Awalnya, jenis ini dianggap sebagai anak kucing emas asia (Catopuma temminckii).

Namun, berdasarkan analisis morfologi dan genetika yang dilakukan pada 1992, didapatkan fakta bahwa kedua spesies ini telah dipisahkan dari satu nenek moyangnya sekitar 4,9 hingga 5,3 juta tahun lalu. Karena keduanya masih berkerabat, dalam klasifikasinya dimasukkan dalam Genus Pardofelis. Sedangkan klasifikasi kucing merah dengan nama ilmiah Catopuma badia secara luas digunakan pada 2006.

Berdasarkan IUCN, Borneo Bay Cat yang tersebar di Indonesia (Kalimantan) dan Malaysia (Sabah dan Serawak), berstatus Genting (Endangerd/EN) atau dua langkah menuju kepunahan di alam liar. Hilangnya habitat dan alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit adalah ancama terbesar bagi kehidupan satwa yang juga dijuluki kucing batu kalimantan ini.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,