Kembangkan Wisata Pantai, Warga Kampung Ammani Bangkit dari Kemiskinan 

Dusun Ammani yang terletak di Desa Mattiro Tasi, Kecamatan Mattiro Sompe, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, dulunya adalah daerah yang miskin. Sebagian masyarakatnya hanyalah buruh tani dan nelayan tradisional dengan penghasilan yang pas-pas. Dibanding daerah lain sekitar, dusun ini tergolong sangat tertinggal.

Kondisi ini mulai berubah sejak pertengahan 2015 silam. Sebuah inisiatif warga setempat mengubah pantai yang tak terawat ini menjadi kawasan wisata pantai. Secara swadaya mereka mulai meratakan daerah sekitar pantai yang berbukitan dan membuka akses kendaraan masuk ke kawasan yang kemudian dinamakan Pantai Harapan Ammani atau Pantai Ammani.

Ketika saya berkunjung ke kawasan wisata yang berjarak sekitar 20 km dari ibukota kabupaten ini, Minggu (14/5/2017), suasananya memang sangat ramai. Puluhan kendaraan roda empat mulai berdatangan di pagi hari. Memasuki pintu gerbang kawasan wisata, mulai terdengar suara musik dari ratusan lapak-lapak yang tersusun rapi memanjang hingga sekitar 100-an meter.

 

 

Murni, salah seorang pemilik usaha rumah makan, menyambut kami dengan ramah. Sebelum datang ke lokasi tersebut kami memang sudah terlebih dahulu menelpon untuk reservasi. Tak jarang, agak susah mencari tempat makan tanpa reservasi terlebih dahulu. Apalagi hari itu bertepatan dengan hari minggu yang biasanya padat pengunjung.

Murni mulai menawarkan beragam jenis ikan yang terlihat masih segar di sebuah coldbox. Ikan-ikan itu dijual dengan takaran kg. Harga ikan per kg tergantung pada jenis ikan yang dipesan.

“Ada macam-macam ikan pak, ada ikan cepa, katamba, baronang, sunu dan kerapu. Paling mahal ikan baronang seharga Rp60 ribu per kg dan kakap merah Rp70 ribu. Ikan lain kisaran Rp15 ribu hingga Rp40 ribu per kg. Itu harga kalau dibawa pulang. Kalau dimakan di sini ada tambahan Rp 30 ribu per kg, untuk biaya pengerjaan, nasi, sayuran dan tempat makannya,” jelas Murni.

Murni dulunya adalah pedagang pakaian dan fasilitator program PNPM. Ketika wisata pantai ini mulai dibuka, ia banting stir membuka warung makan. Ia juga termasuk pengurus kelompok pengelola kawasan tersebut.

“Kalau sekarang penghasilan bisa tiga kali lipat bahkan lebih dibanding sebelumnya. Apalagi di sini tak pernah sepi, selalu ramai dengan pengunjung bahkan di hari-hari biasa,” katanya.

Meski ruang usahanya tergolong kecil, omzet penjualan Murni setiap harinya lumayan besar, mencapai Rp3 juta – Rp5 juta di hari biasa, dan bisa sampai Rp15 juta di hari libur. Bahkan di hari libur panjang, seperti habis lebaran Idul Fitri omzetnya bisa mencapai Rp20 juta per hari.

“Kalau habis lebaran pengunjung bisa puluhan ribu per hari sampai-sampai jalanan padat dan sulit dilewati. Sekarang saja sudah mulai ramai,” katanya.

 

Murni memperlihatkan ikan kakap merah yang dijual seharga Rp300 ribu per ekor di Pantai Ammani, Pinrang, Sulsel. Dari hasil usaha rumah makan yang dikelolanya, ia bisa menambah penghasilan tiga kali lipat dibanding sebelumnya. Seluruh pekerjanya berasal dari keluarga dekat, yang kehidupan ekonominya meningkat setelah adanya usaha tersebut. Foto : Wahyu Chandra

 

Berkah dari Kampung Tetangga

Menyulap Pantai Ammani menjadi kawasan wisata popular seperti sekarang tak terlepas dari campur tangan seorang pengusaha muda setempat bernama Among Paturusi. Sebelum mengelola Pantai Ammani ia lebih banyak berada di Kalimantan sebagai peternak ayam.

Menurut Among, inspirasi mengubah kawasan tersebut menjadi seperti sekarang muncul karena dua penyebab. Pertama, terdorong oleh situasi kemiskinan yang mendera masyarakat di desanya. Kedua, karena adanya luberan pengunjung ke kawasan wisata Pantai Wakka, di desa tetangga, yang lebih dulu populer sebagai kawasan wisata pantai.

“Pada tahun 2015 itu, setelah lebaran saya melihat pengunjung di Pantai Wakka itu melimpah dan kendaraan harus antrian hingga 1 km. Bahkan banyak pengunjung yang pulang sebelum masuk ke lokasi, karena banyaknya orang yang datang. Saya berpikir, kenapa mereka tidak dialihkan ke Pantai Ammani saja. Toh kondisi alamnya sama karena berdekatan.”

Among pun mengajak dua sepupunya, Nasir dan Syarif untuk merencanakan membangun kawasan tersebut agar seperti Pantai Wakka.

“Kita coba berkumpul dengan warga dan pemilik lahan merencanakan pembangunan kawasan ini. Kami rapat bersama hingga tiga kali sebelum akhirnya memutuskan untuk segera merealisasikannya.”

Karena tak ada investor dari luar, sebagai biaya awal, Amor patungan dengan tiga warga lainnya. Dana yang terkumpul sebanyak Rp150 juta digunakan untuk meratakan tanah sekitar pantai dan memperlebar jalan untuk akses masuk ke kawasan tersebut.

 

Berkat Amor Paturusi, kawasan wisata Pantai Harapan Ammani bisa hadir dan berkembang pesat seperti sekarang. Ia merasa memiliki tanggungjawab turut memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat di desanya yang selama ini sangat tertinggal. Foto: Wahyu Chandra

 

“Dulu untuk masuk ke sini harus melewati jalan kecil, pematang tambak. Bahkan untuk jalan kaki pun harus hati-hati agar tak terpeleset jatuh. Atas izin dari pemilik tambak kita adakan penimbunan tambak untuk perluasan jalan. Untungnya ada dana PNPM khusus untuk membantu pelebaran jalan tersebut, sementara pembiayaan di dalam kawasan sepenuhnya swadaya warga,” kata Amor.

Karena sebagian besar calon pedagang memiliki kemampuan uang yang terbatas, Amor pun kembali merogoh kecek untuk membiayai pembangunan rumah toko dan lapak-lapak di sekitar pantai dengan biaya berkisar Rp4 juta – Rp5 juta per bangunan.

“Mereka mengembalikan uang itu setelah usahanya mulai berhasil, dan itu tak butuh waktu lama. Sampai sekarang juga masih ada pembagian hasil antara pedagang dengan pemodal awal.”

Jerih payah Amor dan warga Ammani lainnya membangun kawasan tersebut tak butuh waktu lama untuk menunjukkan hasil. Dalam waktu tiga bulan, Pantai Ammani mulai dikenal luas masyarakat dan pengunjung pun mulai berdatangan dari berbagai daerah.

 

Pantai Harapan Ammani atau Pantai Ammani di Dusun Ammani, Desa Mattiro Tasi, Mattiro Sompe, Pinrang, Sulsel. Foto : wisatalengkap.com

 

Keberhasilan pengelolaan kawasan wisata berbasis swadaya masyarakat ini belakangan menarik perhatian pemerintah dan berbagai pihak. Bantuan mulai berdatangan, seperti perbaikan jalan, pembangunan instalasi listrik, dan perbaikan sempadan pantai. Bantuan lainnya berupa pengadaan freezer dan tempat sampah juga mulai berdatangan dari instansi-instansi terkait.

Hal menarik dari pengelolaan kawasan ini adalah sistem pembagian hasil antara pengusaha, pemilik lahan, dan pengelola dan pemerintah.

Untuk setiap ‘basket’ atau keranjang ikan yang benilai Rp 400 ribu, sebanyak Rp 20 ribu dibagikan kepada pengelola dan pemilik lahan. Khusus untuk pemerintah desa mereka memperoleh ‘jatah’ dari hasil retribusi parkir sebanyak 20 persen.

Hal menarik lainnya adalah pada kesadaran warga untuk saling mendukung satu sama lain. Seorang pedagang hanya diperkenankan memiliki satu jenis usaha agar ada pemerataan penghasilan.

“Kalau dia menjual ikan bakar maka tak boleh bikin usaha lain seperti es kelapa, jual pakaian, sewa perahu atau ban. Kita ingin semua warga di sini bisa bekerja tak ada yang monopoli,” ungkap Amor.

Untuk menjaga kenyamanan dan keamanan kawasan tersebut, mereka memiliki aturan ketat terkait larangan bagi pengunjung membawa senjata tajam dan minuman beralkohol. Bagi pedagang yang melanggar akan ada sanksi.

Meski telah berkembang besar dan populer, Amor berharap kawasan tersebut bisa dikelola lebih baik di masa mendatang dan untuk itu mereka membutuhkan dukungan pemerintah dan pihak-pihak lain.

“Kita harap di kawasan ini ada semacam tower pengawas dan tenaga pengawas pantai. Kita juga berharap ada dukungan pelatihan-pelatihan bagaimana memberi pelayanan yang baik kepada pengunjung. Dukungan lain yang kami harapkan adalah agar bangunan-bangunan yang ada bisa diperbaiki kondisi dan bentuknya, supaya lebih nyaman dan bisa bertaraf internasional,” katanya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,