Penelitian Ini Coba Singkap Ancaman Tsunami pada Kehidupan Badak Jawa

 

 

Keberadaan badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon saat ini, tidak hanya menghadapi permasalahan terbatasnya habitat sebagai tempat hidup dan pertumbuhan tanaman langkap yang mengancam ketersedian pakan. Akan tetapi juga, ada bencana tsunami yang mengintai, bisa datang sewaktu-waktu.

Seperti yang kita ketahui, badak jawa (Rhinoceros sondaicus) berada di lokasi terisolir, Ujung Kulon. Wilayah ini  berada di area paling ujung Pulau Jawa bagian barat yang berbatasan dengan Selat Sunda. Ancaman bencana tsunami rawan terjadi, kapan saja, mengingat di antara Pulau Jawa dan Sumatera, di Selat Sunda, terdapat Gunung Anak Krakatau.

Ancaman bencana alam ini yang diteliti oleh para ahli badak dan dituliskan dalam jurnal ilmiah Society for Conservation Biology bertajuk Preventing Global Extinction of the Javan Rhino: Tsunami risk and Future Conservation Direction.

Jurnal edisi April 2017 ini disusun berdasarkan hasil survei lapangan, studi literatur, dan diskusi para ahli badak. Ada WWF-Indonesia, Departemen Konservasi Ikan, Satwa Liar dan Konservasi Biologi Universitas Colorado, Taman Nasional Ujung Kulon, WWF Amerika Serkat, Global Wildlife Conservation, EPASS Project Balai Taman Nasional Bogani Nari Wartabone, dan Yayasan Badak Indonesia (YABI).

“Karena habitat badak jawa ini memang berada tak jauh dari garis pantai, ancaman bahayanya besar,” ujar Sunarto, Spesialis Program Satwa WWF-Indonesia, ahli yang ikut menulis dan melakukan penelitian badak ini, kepada Mongabay Indonesia pertengahan pekan ini.

 

Badak jawa yang terpantau kamera jebak di Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: WWF-Indonesia/Rhino Resource Center

 

Dalam jurnal dituliskan, para peneliti sejak Maret – Desember 2013, meletakkan hampir 90 persen kamera infra merah di area potensial habitat badak. Kurang lebih 178 kamera dipasang. Di taman nasional ini setidaknya ada 29 jenis mamalia dan lebih dari 270 jenis burung yang hidup beserta beragam amfibi dan reptil.

Dalam monitoring kamera tersebut, individu badak diidentifikasi dari video klip yaitu dengan mendiagnosa morfologi seperti ukuran, ketajaman cula, rupa kerutan kulit muka, pori-pori kulit, lipatan leher, pigmentasi, dan jenis kelamin. Sebagai finalisasi pendataan, digunakan model penangkapan spasial dan hipotesa faktor yang mempengaruhi pendeteksian, kepadatan, jarak badak, serta cuaca dan ketinggian.

Dari hasil pemasangan kamera tersebut, diperoleh lebih dari 36 ribu video klip yang lima persennya badak jawa. Jumlahnya 54 individu dengan komposisi 22 betina dan 32 jantan. Temuan lain dari kepadatan badak adalah umumnya satwa ini berada pada ketinggian 7 meter pada jarak 108 meter dari garis pantai (25 persen). Ada juga yang berada pada  ketinggian 9 meter pada jarak 412 meter dari garis pantai dan ketinggian 15 meter dari 855 meter jarak pantai, dengan kerapatan 50 hingga 70 persen.

Bila tsunami  terjadi pada ketinggian 5 meter maka akan mengenai semua area kepadatan badak hingga 20 persen. Tsunam ketinggian 10 meter akan mengenai 80 persen daerah kepadatan badak yang berada di ketinggian 9 meter. Sementara tsunami dengan gelombang hingga 30 meter bisa menenggelamkan semua area, tempat badak jawa terkonsentrasi.

 

Peta persebaran badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Sumber: Jurnal Society for Conservation Biology

 

Populasi

Populasi badak diperkirakan sudah ada sebelum Krakatau meletus pada 1883. Jarak interval penghitungan badak setelah sekian lama, baru muncul kembali pada 1993, lebih dari 100 tahun. Perkiraan identifikasi populasi individu dan kesimpulan statistik yang kuat pada 1993. Saat itu menggunakan 60 kamera yang lokasinya disebar di tempat yang mirip pada penelitian ditemukan 34 individu badak dewasa.

Para ahli juga mendiskusikan keberadaan badak tersebut yang mayoritas berada dekat garis pantai, yang sangat berisiko terekspos gelombang tsunami. Meskipun, perkiraan kemungkinan gempa bumi tahunan yang menyebabkan tsunami dengan ketinggian tiga meter di Taman Nasional Ujung Kulon relatif kecil, hanya 10 persen.

Untuk gambaran prediksi gempa bumi periode panjang lebih dari 100 tahun, para ahli meyakini bisa terjadi dan menyebabkan tsunami hingga ketinggian 30 meter. Namun, umumnya tsunami yang terjadi di Indonesia, ketinggian gelombangnya hingga 10 meter. Akan tetapi, hal ini akan mengancam mayoritas area padat badak, yang berpotensi menenggelamkan habitat utamanya.

Ancaman lain adalah tsunami dari gunung berapi Anak Krakatau, yang merupakan sisa Gunung Krakatau yang meletus 1883, dan tercatat sejarah sebagai letusan yang sangat menghancurkan. Meskipun Anak Krakatau tidak seukuran Krakatau, tetap saja diprediksi menghasilkan tsunami dengan ketinggian gelombang mencapai 7,9 – 21 meter. Hal yang patut diwaspadai juga adalah kenaikan air laut, siklon, dan aktivitas gunung berapi, juga perburuan liar, wabah penyakit, dan spesies invasif.

Untuk mengurangi risiko pengurangan badak jawa, diperlukan intervensi manusia dan investasi jangka panjang. Termasuk di dalamnya adalah penambahan kapasitas Taman Nasional Ujung Kulon melalui manajemen habitat atau penambahan jenis pakan dan  pemantapan populasi independen. Tujuannya, mengurangi paparan tsunami dan ancaman lain yang ada di taman nasional.

Informasi individu badak yang dapat diperoleh dari video seperti jenis kelamin, ukuran, dan kondisi tubuh juga sangat membantu mengidentifikasi individu yang tepat untuk dipindahkan. Melanjutkan monitoring populasi setelah pemindahan akan menjadi hal penting untuk melacak populasi dan mengevaluasi kesuksesan manipulasi habitat demi meningkatkan kualitas habitat badak jawa ini.

 

Ancaman tsunami bila terjadi dan dampaknya pada kehidupan badak jawa di Ujung Kulon. Sumber: Jurnal Society for Conservation Biology

 

Penyelamatan badak sumatera

Ancaman kelangsungan hidup badak tak hanya terjadi pada badak jawa. Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) yang tersebar di beberapa taman nasional di Sumatera juga mengalami hal sama. Kondisinya tak lebih baik dari badak Jawa. “Walaupun jumlahnya tidak lebih 100 individu tapi terpencar, susah ditemukan,” ujar Widodo Ramono, Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia (YABI).

Untuk menyelamatkan badak sumatera, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehidupan (KLHK) bekerja sama dengan Konsorsium Badak Sumatera, YABI, WWF, WCS, Forum Konservasi Leuser (FKL), dan Leuser International Foundation, menggalang dukungan masyarakat melalui Kampanye #KadoUntukDelilah.

#KadoUntukDelilah sengaja diambil untuk mengingat kelahiran bayi badak betina tahun lalu. Delilah lahir dari pasangan badak Andalas dan Ratu di kawasan konservasi penangkaran badak SuakaRhino Sumatera (SRS), Taman Nasional Way Kambas, Lampung.

 

Delilah, badak sumatera betina yang lahir dari pasangan Ratu dan Andalas, 12 Mei 2016. Nama Delilah diberikan langsung Presiden Joko Widodo. Foto: Rhett Butler

 

Mewakili Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK pada Konferensi Pers Kampanye #KadoUntukDelilah tersebut (16/05/2017) di Jakarta, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK Bambang Dahono Adji menyampaikan, KLHK patut bersyukur konservasi badak mendapat perhatian serius dari Presiden. “Nama Delilah diberikan langsung oleh Presiden Jokowi, yang menunjukkan konsen Presiden terhadap konservasi di Indonesia”.

Pemerintahan saat ini menargetkan peningkatan populasi 25 satwa terancam punah termasuk badak sumatera sebesar 10 persen sampai 2019. “Dalam kabinet ini kita harus mampu meningkatkan 10 persen populasi satwa terancam punah, Jika populasi badak sumatera saat ini 100 individu, kita perlu meningkatkan 10 individu sampai 2019. Sampai saat ini, badak sumatera yang lahir 2 individu, perlu upaya lebih serius,”ujar Bambang.

Menambah populasi hingga 10 persen, merupakan pekerjaan berat. “Tidak mudah, harapannya semua juga ikut bergerak. Masyarakat dan pemerintah juga ikut mendukung,” lanjut Widodo.

Menurut Widodo, organisasi yang peduli badak juga membicarakan translokasi untuk mempermudah pertemuan badak, sehingga bisa bereproduksi. Tentunya, kesiapan banyak pihak dibutuhkan untuk menangani pemindahan tersebut.

Kabar baik lainnya adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyetujui perluasan Suaka Rhino Sumatera dari 100 hektaren menjadi menjadi 250 hektare. Lahan ini nantinya, sekitar 30 persen sebagai fasilitas jalan dan bangunan, sedangkan lainnya untuk zona intensif pengelolaan.

“SK Dirjen KSDAE No. SK.307/KSDAE/SET/KUM.0/9/2016 pada 27 September 2016, menetapkan areal SRS dikembangkan seluas 250 hektare. Perluasan sarana dan infrastruktur telah berjalan sejak pembukaan area pertama 5 April 2017,” tandas Widodo.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,