Hidup dalam Kemiskinan, Kampung ini Berada dalam Kawasan Hutan Lindung Egon Ilimedo

Berada di balik bukit yang berjarak sekitar 3.5 kilometer arah selatan jalan negara trans Flores Maumere-Larantuka, terdapatlah Kampung Wairbukang.  Kampung di ketinggian sekitar 800 mdpl ini statusnya berada dalam kawasan hutan lindung Egon Ilimedo tapal batas 84. Secara administratif Wairbukang masuk Dusun Wodong, Desa Wairterang, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka.

Di Wairbukang, terdapat 43 KK dengan jumlah jiwa sekitar 150 orang. Seluruh rumah warga berlantai tanah dan berdinding bambu belah. Rumah warga pun masih beratap ilalang, meski beberapa sudah ada yang beratap seng. Untuk sampai ke Wairbukang memerlukan perjuangan, termasuk harus menyusuri jalan setapak berbatu yang berkemiringan hingga 45 derajat.

Tidak hanya Wairbukang, berjarak sekitar 3 kilometer arah barat, terdapat Kampung Leng, yang dihuni sekitar 23 Kepala Keluarga dengan jumlah jiwa sekitar 70 orang yang juga berada kawasan hutan lindung ini.

Berada di dalam kawasan hutan lindung praktis membuat warga Wairbukang hidup dalam keterbatasan, tanpa berbagai fasilitas pendukung yang layak. Tanaman seperti padi ladang, singkong dan kacang tanah mereka tanam untuk konsumsi harian.

Kondisi tanah di sekitar perkampungan ini sangat gersang berbatu-batu besar sehingga praktis hanya bisa ditanami jambu mente saja. Sementara hasil ladang lain cuma ditanam setahun sekali saat musim hujan.

“Sudah dua kali kami diusir keluar dari kawasan hutan lindung, namun kami tetap bertahan. Warga yang dulunya lari akhirnya juga kembali ke kampung ini karena tidak punya tanah di tempat lain,” ungkap Bernardus Brebo (62), salah seorang tetua Wairbukang menjelaskan kepada Mongabay Indonesia.

Menurutnya, kampung ini telah ada sejak jaman kolonial Belanda dengan jumlah ratusan rumah. Di tahun 1986, pemerintah melarang warga berdiam di kawasan hutan lindung ini. Masyarakat pun sempat keluar kawasan, meski akhirnya kembali lagi karena tidak ada alternatif mata pencarian.

Jelas Bernardus, di tahun 2015 Pemda Sikka sebenarnya menganggarkan dana pembangunan jalan. Namun karena berada di hutan lindung akhirnya proyek ini dibatalkan. Pemda beralasan pembuatan jalan memerlukan persetujuan Kementerian LHK. Satu-satunya fasilitas bantuan pemerintah hanya bak penampung air yang berdiri sejak tahun 2011.

“Pemerintah belum bisa mengabulkan sampai sekarang dan jalan menuju desa tidak bisa dibangun sebab harus mendapat persetujuan pemerintah pusat lewat status pinjam pakai,” ujar Bernardus.

Tidak ada sekolah dan listrik di kampung ini. Posyandu pun hanya digelar sekali ditiap awal bulan. Di luar waktu itu jika ada warga yang sakit, mereka harus berjalan kaki ke Wodong, kampung terdekat di bawah untuk berobat di puskesmas. Jika terlalu parah, warga hanya bisa pasrah sambil menunggu kondisi tubuhnya memungkinkan untuk berjalan ke luar kampung.

“Pernah tahun 1980-an ada tawaran program transmigrasi, namun warga tidak mau meninggalkan tanah ini, karena dianggap warisan leluhur. Mereka lebih memilih menetap sementara di kampung sekitar hutan lindung.”

Bagi Bernardus, tanpa adanya ketrampilan lain muskil bagi warga untuk keluar dari lokasi ini.

 

Oreta Timu (58) warga Wairbukang yang menetap di rumah sederhana di dalam kawasan hutan lindung Egon Ilimedo. Foto: Ebed de Rosary

 

Hidup Dalam Kemiskinan

Yohanes Salikone (35) dan Maria Made (44) warga Wairbukang mengaku hanya memiliki dua bidang tanah dengan luas sekitar 2 hektar dengan hasil pas-pasan.

“Hasil mente setahun hanya sekitar 500 ribu rupiah. Kalau jagung, padi dan kacang tanah dimakan sendiri. Untuk tambahan penghasilan saya kerja serabutan jadi kuli bangunan jika ada yang butuh,” tutur Yohanes.

Yohanes mengaku jarang mengkonsumsi ikan, sebab tidak ada uang untuk membelinya. Daging pun hanya dikonsumsi kalau ada pesta di kampung. Pakaian hanya dibeli setahun sekali itupun jika diberi bantuan oleh saudaranya. Uang dipakai untuk membeli sabun untuk mandi dan cuci pakaian.

Oreta Timu (58) warga beranak enam, mengaku kembali menetap di Wairbukang sejak tahun 2000, setelah sebelumnya keluar akibat diusir aparat pemerintah. Ia memilih kembali karena tidak memiliki lahan lain di luar kampung.

Rumah Oreta sangat sederhana beratap ilalang, dimana tiang penyangga rumah berasal dari kayu lamtoro dan berdinding bambu belah. Atapnya menggunakan ilalang yang sudah belasan tahun belum diganti yang sudah berlubang disana-sini.

“Hasil kebun tidak seberapa, hasil ladang seperti padi dan jagung paling hanya cukup untuk makan saja. Saya menenun sarung untuk menambah penghasilan atau untuk digunakan sendiri,” ungkapnya.

 

Minta Diusulkan menjadi Hutan Kemasyarakatan

Di Kabupaten Sikka sendiri terdapat dua kawasan hutan, kawasan hutan lindung Egon Ilimedo seluas 19.456 hektar dan kawasan hutan produksi Iligai seluas 1.226 hektar.

Kawasan hutan lindung Egon Ilimedo, sesuai register tanah kehutanan nomor 107, telah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung sejak tahun 1932, yang lalu dikukuhkan dengan berita acara tapal batas tanggal 12 Desember 1984. Hutan lindung ini disahkan Menhut lewat SK nomor 423/KPTS-II/1999 tentang peta penunjukan Kawasan Hutan Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Secara administrasi, kawasan hutan lindung ini melingkupi lima kecamatan, yaitu Waigete, Mapitara, Doreng, Talibura dan kecamatan Waiblama.

Saat dikonfirmasi oleh Mongabay Indonesia, Kabid Pembinaan dan Perlindungan Hutan Kesatuan Pengelolaan Hutan dan Produksi Sikka, Benediktus Herry Siswandi menjelaskan, perkampungan Wairbukang dan Leng yang masuk Desa Wairterang, yang keduanya masuk dalam kawasan hutan lindung, sedang dalam tahap pengusulan untuk dijadikan kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm).

“Tahapnya masih diusulkan menjadi Hutan Kemasyarakatan,” jelas Hery. Dia menyebut pemda tidak memiliki opsi untuk relokasi warga, sebab adanya keterbatasan lahan.

Beberapa perkampungan lain yang berada di dalam kawasan hutan lindung Egon Ilimedo adalah Todang di Desa Hokor, Tanah Hikong Desa Runut, Glak Desa Hale, Darat Natar dan Kolibuluk Desa Hoder serta Habilogut Desa Nangatobong, jelasnya semuanya telah diusulkan sejak 2014 dan saat ini sedang dilakukan penelaahan.

Menurutnya, dalam pertemuan dengan DPRD dan Bupati Sikka sebelumnya, warga Wairbukang dan Leng sempat meminta agar wilayahnya dapat dikeluarkan dari status hutan lindung. Dengan perubahan status, masyarakat berharap akan lebih punya akses dalam pemanfaatan hasil kebun yang ada, juga dapat dibangun berbagai fasilitas hidup dan akses transportasi.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,