Menggugah Kesadaran Alam Lewat Permainan Tradisional

Perkumpulan Penduduk Lakardowo Bangkit (Pendowo Bangkit) menyelenggarakan kegiatan Dolanan dan Sensus Serangga Air di desa Lakardowo, kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Lewat kegiatan itu, mereka mengajak anak-anak untuk mengenal lingkungan  sekitar.

Minggu (21/5/2017), lebih dari 150 peserta, anak-anak hingga dewasa, bermain bersama sambil menyanyikan tembang-tembang tradisional. Lebih dari 7 macam permainan diperagakan.

Ridho Saiful dari Komunitas Republik Dolanan menjadi pemandu. Sebelum memulai permainan, dia menjelaskan sejumlah aturan, mengingatkan untuk menaati hasil akhir, membagi peran hingga memperkenalkan nada-nada yang akan dinyanyikan.

(baca : Merespon Dugaan Pencemaran Limbah B3, Wagub Jatim dan Ivan Slank Kunjungi Desa Lakardowo )

 

 

Di akhir permainan, kelompok yang mendapatkan poin tertinggi, serta atlit dolanan yang dinilai tangkas dan cekatan, memperoleh penghargaan khusus. Kepada mereka, penyelenggara kegiatan mengalungkan medali yang terbuat dari janur.

“Wah!!!” Ridho mengungkapkan antusiasme peserta. “Dari pembukaan hingga selesai jumlah orang tidak berkurang. Mereka menikmati.”

Dia percaya, semangat peserta timbul karena permainan tradisional bisa mengintegrasikan unsur edukasi, hiburan, olahraga, kesenian dan kebudayaan.

Contohnya, Gancetan, permainan yang dilakukan dengan menautkan tumit masing-masing peserta. Sambil bermain, mereka juga menyanyikan tembang Gundul-Gundul Pacul. Sehingga, tanpa kekompakan, keseimbangan akan hilang.

“Satu kaki memang punya kita, tapi kaki lain punya orang. Ketika satu kaki kita paksakan, egois, sesuka hati, ritme akan terganggu. Bisa jatuh. Itu yang kita tanamkan,” terang Ridho kepada Mongabay, Selasa (23/5/2017).

(baca : Kisah Wisata Limbah B3 di Desa Lakardowo Mojokerto)

 

Kegiatan Dolanan untuk anak-anak yang diselenggarakan Perkumpulan Penduduk Lakardowo Bangkit (Pendowo Bangkit,), Desa Lakardowo, Mojokerto, Jawa Timur. Lewat kegiatan itu, mereka mengajak anak-anak untuk mengenal lingkungan sekitar. Foto : Ecoton

 

Permainan tradisional juga dinilai memudahkan anak-anak untuk belajar pendidikan karakter. Mereka dapat memahami kekuatan diri, kekuatan teman atau orang lain, memahami perbedaan, serta membuka filosofi konsep kesadaran.

Konsep kesadaran, tambah Ridho, memiliki 3 aspek. Pertama, sadar alam. Artinya, hampir semua permainan tradisional bersahabat dengan alam. Itu terlihat dari sumber daya yang digunakan, misalnya batu, pasir, tanah, air, daun, rerumputan, api hingga angin.

Kedua, sadar kreasi. Ini berarti, sumber daya yang tersedia dikreasikan dalam bentuk permainan. Secara topografis permainan tradisional memiliki keunikan tersendiri, tergantung kondisi sekitarnya.

Aspek ketiga adalah sadar hukum. Sebab, ketika anak-anak sudah mengenal permainan tradisional, maka mereka sudah bisa membuat konsensus.

(baca : Di Hari Air Sedunia, 60% Sumur Desa Lakardowo Diduga Tercemar Limbah B3)

 

Kegiatan Dolanan untuk anak-anak, yang melakukan permainan tradisional dengan memanfaatkan sumber daya alam disekelilingnya. Lewat kegiatan itu, mereka mengajak anak-anak untuk mengenal lingkungan sekitar. Foto : Ecoton

 

“Enggak boleh cari celah berbuat curang. Kalau ketahuan bisa dapat hukuman. Mereka bisa secara mudah menegakkan hukum. Kamu nakalan (curang), enggak boleh ikut main,” terang Ridho.

“Namun, uniknya, walau terjadi perselisihan, mereka dengan cepat bisa main bersama lagi.”

Kearifan lokal nampak pula dalam tembang-tembang dolanan, misalnya Gundul-Gundul Pacul. Dalam tembang itu, kepala dimaknai sebagai tempat berpikir, menganalisis dan mengambil sikap. Gembelengan berarti banyak tengok atau tidak fokus. Sedangkan, wakul adalah wadah untuk menampung amanat.

“Kalau nyunggi wakul tidak fokus, nasinya bisa tumpah,” Ridho menambahkan. “Maknanya, jika dilimpahi air yang baik, hutan yang baik, tapi karena pemimpinnya gembelengan, ya, hasilnya tidak bisa dinikmati.”

Contoh lain adalah tembang Kidang Talun, yang mengisahkan sejumlah satwa seperti kijang, tikus dan gajah. Menurut Ridho, tembang dolanan selalu menghadirkan metafora yang sarat keindahan, sekaligus edukatif.

Kidang talun mangan kacang talun. Mil-kethemil, mil-kethemil. Si kidang mangan lembayung,” demikian syair pada bait pertama, yang disambung, “Tikus pithi nduwe anak siji, cit-cit cuit, cit-cit cuit.”

 

Peserta Kegiatan Dolanan yang diselenggarakan Perkumpulan Penduduk Lakardowo Bangkit (Pendowo Bangkit,), Desa Lakardowo, Mojokerto, Jawa Timur. berfoto bersama. Foto : Ecoton

 

Kijang diumpamakan sebagai hewan yang lincah, manis, menggemaskan dan makan secukupnya. Sedangkan, tikus diartikan sebagai binatang yang hanya berani keluar ketika tidak ada orang, suka mengambil diam-diam tapi berisik.

Maju perang wani mati berarti kalau punya tujuang baik jangan takut,” terang Ridho, “(Itu juga berarti) Perang tertinggi adalah melawan diri sendiri. Mengalahkan hawa nafsu dan tidak pamrih saat melakukan hal baik.”

Pada bait terakhir, terdapat syair “Gajah belang saka tanah sabrang. Nuk legunuk, nuk legunuk. Gedhene meh padha gunung”. Bagian ini, dinillai menguatkan peribahasa “gajah di pelupuk mata tak nampak, kuman di seberang lautan nampak”.

“Ini bangsa yang kreatif. Tiap permainan punya tujuan, dan makna filosofis. Jika kita tanamkan, dan jadi keyakinan, maka kita bisa saksikan masa depan yang punya harapan,” terangnya.

 

Sensus serangga air Lakardowo, Mojokerto, Jatim yang dilakukan oleh Perkumpulan Penduduk Lakardowo Bangkit (Pendowo Bangkit,) dengan mengajak anak-anak. Foto : Ecoton

 

Sensus Serangga Air

Sehari kemudian, Senin (22/5/2017), sekitar 120 anak-anak kembali diajak mengkuti sensus serangga air Lakardowo. Mereka diajak mengenal jenis serangga air yang ada di sungai, saluran air dan sawah-sawah di sekitar desa Lakardowo.

Menurut Farida, mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, sensus serangga air bertujuan memonitoring kualitas air di Lakardowo. Sebab, kata dia, serangga air memiliki sensitifitas terhadap pencemaran.

Dalam sensus tersebut, peserta menemukan 6 jenis famili serangga air, seperti Caenidae, kumbang air (Corixidae), yuyu (Parathepulsidae) caving merah (tubificidae), laron air (leptophlebidae) dan lalat sehari (baetidae).

Hasil temuan hari itu terbilang sedikit jika dibanding sensus serangga air di sungai Kwangean, yang berbatasan dengan desa Lakardowo. Di sungai tersebut, ditemukan 10 jenis famili serangga air dan biota air tidak bertulang belakang (makro invertebrata).

10 jenis itu di antaranya, laron air (Leptophlebidae) dan lalat sehari (Baetidae), empat jenis anggang-anggang (Velidae, Mesovellidae, Nepidae, Hydrometridae), yuyu (Parathepulsidae), cuncum (thiaridae), kijeng (Unionidae) dan remis (Cobicullidae).

“Apabila di suatu perairan ditemukan beragam jenis serangga air seperti capung, anggang-anggang dan kunang-kunang, maka perairan itu bisa dikategorikan sehat atau tidak tercemar,” jelas Farida yang juga bertempat tinggal di dusun Kedungpalang, Lakardowo.

 

Perkumpulan Penduduk Lakardowo Bangkit (Pendowo Bangkit,) mengajak anak-anak melakukan sensur serangga air. Hewan ini merupakan indikator iir belum tercemar. Foto : Ecoton

 

Sementara itu, bagi Perkumpulan Pendowo Bangkit, Dolanan dan Sensus Serangga Air diharapkan dapat membina kebersamaan anak-anak desa Lakardowo. Harapan itu merespon anggapan perpecahan akibat dugaan pencemaran lingkungan di desa tersebut.

“Selama ini, kami dianggap berkonflik dan ada perpecahan di antara penduduk desa Lakardowo. Untuk itu, Pendowo Bangkit ingin merekatkan kembali kerukunan penduduk. Terutama, anak-anak yang selama ini menjadi korban buruknya kualitas air,” ungkap Nurasim, ketua Pendowo Bangkit.

“Bermain sambil meneliti. Tidak hanya protes dan demonstrasi pada Pemerintah untuk tangani pencemaran lingkungan hidup di Lakardowo,” tambahnya.

Dalam kurun beberapa tahun belakangan, warga desa Lakardowo menyerukan dugaan pencemaran lingkungan. Mereka mengaku tidak berani lagi meminum atau menggunakan air sumur untuk kebutuhan sehari-hari.

Sebab, menurut warga, air di desa tersebut terlihat keruh, berbau dan terasa pahit. Akibatnya, setiap hari mereka harus patungan membeli air bersih dari luar daerah. Namun, tak sedikit juga yang terpaksa menggunakan air sumur untuk mandi.

(baca : 6 Tahun Berjuang Atasi Limbah B3, Warga Lakardowo Minta Perhatian Gubernur Jatim)

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,