Bukan Perburuan, Ancaman Kebakaran yang Menghantui Cagar Alam Tangkoko

 

 

Nestor Mirontoneng berjalan pelan. Tangannya menyingkap dedaunan dan sarang laba-laba yang menghalanginya. Sesaat dia berhenti. Kepalanya mendongak ke atas pohon. Kaki kiri dan kanannya semakin hati-hati melangkah, menghindari ranting kering yang bisa menciptakan bunyi. Tangan kanannya kemudian memberi kode, meminta Rhett A. Butler, untuk mendekatinya.

Rhett A. Butler, pendiri dan CEO Mongabay, yang menenteng dua kamera dengan berbagai lensa panjangnya, berjalan pelan mengikuti arahan Nestor.

“Itu burung rangkong yang bersembunyi di balik daun,” kata Nestor menunjuk dengan suara membisik.

Rhett segera membidik. Suara kamerannya menimbulkan bunyi. Ia memotret burung endemik Sulawesi itu beruntun. Tak puas, Rhett mengambil tripod dan memasang kameranya agar gambar burung bernama julang sulawesi (Aceros cassidix) itu dipotret dengan stabil dan sempurna. Namun tidak berapa lama, si burung yang dikenal setia pada pasangannya itu, akhirnya terbang.

Menurut catatan Burung Indonesia, julang sulawesi merupakan pemencar biji yang handal dengan wilayah jelajah bervariasi dari 39,8 hingga 55,8 kilometer persegi. Rata-rata jarak jelajah harian mereka dapat mencapai 10,49 km persegi, namun ada pula yang mampu terbang sejauh 30 km persegi dalam sehari.

Saat berbiak, julang sulawesi bersarang pada lubang pohon yang besar. Lembaga konservasi dunia (IUCN) mengkategorikannya dalam status Rentan (Vurnerable/VU) karena penurunan populasi yang cepat akibat kerusakan habitat, perburuan, penambangan emas, dan kebakaran hutan.

 

Julang sulawesi yang merupakan burung endemik Sulawesi ini bisa ditemukan di hutan Tangkoko. Foto: Rhett A. Butler

 

Nestor kembali menuntun kami menjelajah hutan. Ia adalah pemandu handal di hutan Tangkoko, yang berstatus Cagar Alam (CA) dan juga sebagian berstatus Taman Wisata Alam (TWA). Sudah 27 tahun menjadi pemandu di Tangkoko, ia tercatat sebagai salah satu pemandu senior.

“Umur saya sekarang 55 tahun, menjadi pemandu sejak 17 tahun,” ungkapnya.

Nestor bercerita sembari berjalan memasuki hutan. Namun mata dan telinganya tetap awas dengan suara atau gerak binatang yang hinggap di sekitar pohon tinggi menjulang. Selain pemandu, Nestor juga ikut membantu BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) sebagai Masyarakat Mitra Polhut (MMP). Tugas mereka mengawasi perambahan maupun perburuan satwa yang terjadi di hutan Tangkoko.

“Lihat itu kuskus.”

Tiba-tiba langkah Nestor terhenti. Tangannya menunjuk pada dua ekor kuskus (Ailurops ursinus) yang terlihat seperti tidur pada cabang pohon yang tinggi. Namun setelah Rhett memotret dan memperlihatkan hasilnya, kuskus itu ternyata sedang memandang kami yang berada di bawah pohon.

Sepanjang perjalanan menelusuri hutan itu, beberapa kali Nestor dengan jeli menunjukan burung-burung kingfisher berbagai jenis. Begitu juga dengan beberapa jenis cicak hutan, ada flying dragon atau claret gombel.

 

Kuskus (Ailurops ursinus) yang hidupnya damai di hutan Tangkoko. Foto: Rhett A. Butler

 

Langkah Nestor kembali melambat. Suaranya pelan memberi tahu ada rombongan monyet hitam sulawesi (Macaca nigra). Monyet ini memiliki ciri khas yang tidak ditemukan di tempat lain. Seperti kepala hitam berjambul, bulu di sekujur tubuh hitam, moncong lebih menonjol dengan kulit di sekitar penis berwarna merah. Untuk monyet betina, ciri khas yang menonjol adalah pantat berwarna merah menyala berbentuk hati. Masyarakat di Sulawesi Utara menyebut monyet ini dengan nama yaki.

Nestor menyebut nama kelompok yaki itu dengan nama Rambo 2. Ini adalah kelompok yaki yang sudah terbiasa dengan manusia. Mereka bisa menjulurkan lidah kepada pengunjung, seperti sedang ingin mengajak bermain. Beberapa yaki mencoba merebut kamera pengunjung.

Dalam perjalanan menelusuri sisi hutan lainnya, tiba-tiba di salah satu pohon beringin, seekor yaki loncat dari pohon dan langsung lari. Nestor menyebut yaki tersebut di luar kelompok yaki yang sering dilihat pengunjung.

“Ada tiga kelompok yaki yang akrab manusia. Semuanya diberi nama Rambo; Rambo 1, Rambo 2, dan Rambo 3. Tadi itu, yaki liar,” ucap Nestor.

Menjelang gelap, Nestor mengajak kami melihat tarsius (Tarsius spectrum) di salah satu pohon beringin. Satwa nokturnal ini awalnya terlihat satu ekor. Namun semakin gelap, tarsius lain mulai bermunculan, dan mengeluarkan suara khas mereka. Kamera Rhett Butler terus membidik tarsius. Dengan bantuan cahaya senter, ia mengabadikan setiap moment tarsius yang berganti posisi.

“Dibandingkan macaca dan burung rangkong, saya lebih senang melihat tarsius. Bentuknya kecil dan imut. Hutan di Tangkoko juga masih bagus dibandingkan beberapa hutan yang pernah saya kunjungi di Indonesia,” ungkap Rhett.

Yaki dan tarsius merupakan maskot hutan Tangkoko yang juga merupakan rumah terbaik kedua satwa ini. Karena hutannya masih terjaga, banyak wisatawan mancanegara setiap tahunnya datang, melihat langsung yaki dan tarsius.

 

Tarsius spectrum si penjelajah malam. Foto: Rhett A. Butler

 

Masalah terbesar adalah kebakaran

Perusakan habitat dan perburuan satwa adalah ancaman utama yang membuat merosotnya populasi yaki maupun tarsius di hutan Tangkoko. Kedua satwa tersebut kini berstatus terancam punah. Salah satu penyebab yang kerap dikaitkan dengan keterancaman itu adalah budaya orang Minahasa, Sulawesi Utara, yang mengkonsumsi berbagai macam satwa, termasuk yaki.

Data dari Macaca Nigra Project (MNP) menyebutkan, populasi yaki di habitat aslinya tinggal 5.000 ekor yang seluruhnya tersebar di Sulawesi Utara. Sedangkan, 2.000 ekor di antara 5.000 individu ini berada di hutan Tangkoko. Habitat yaki berada di hutan primer dan sekunder. Namun yaki lebih suka berada di hutan primer, memakan daun juga ular, serta sebagian besar makanan yaki adalah buah-buahan, erau, dan tikus.

Namun, menurut Jenli Gawina, Kepala Resort Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Tangkoko, BKSDA Sulawesi Utara, perburuan yaki di Cagar Alam Tangkoko yang luasnya 3.196 hektare itu bisa dikatakan sudah tidak ada. Ancaman utama yang saat ini terus dihadapi di Tangkoko adalah kebakaran hutan, yang hampir setiap tahun terjadi.

“Kebakaran paling parah terjadi pada 2015,” katanya.

 

Cekakak-hutan tunggir-hijau yang terlihat jelas di hutan Tangkoko. Foto: Rhett A. Butler

 

Menurut Jenli, kebakaran terjadi selama tiga bulan. Dimulai Agustus, September, hingga Oktober. Api siang malam berkobar. Ratusan orang dari lima kelurahan sekitar kawasan ikut membantu memadamkan. Bahkan, pesawat diterbangkan delapan kali, tapi hasilnya nihil. Yang ada malah pengeluaran lebih besar karena biaya operasional pesawat sangat mahal.

“Bantuan pesawat tidak efektif. Apalagi pada saat itu angin bertiup kencang. Beruntung kebakaran padam karena turunnya hujan,” ujar Jenli.

Kebakaran itu menyebabkan hampir 2.000 hektare kawasan hutan ludes, baik yang berstatus cagar alam maupun taman wisata alam. Wisatawan yang biasanya datang ke taman wisata alam akhirnya dilarang masuk, sampai api benar-benar padam dan kawasan hutan di Tangkoko dinyatakan terbuka bagi pengunjung. Akibat kebakaran itu, ada satwa yang ditemukan mati: dua ekor ular green paper, tiga ekor ular piton, dan dua ekor kuskus.

“Beruntung tak ada yaki yang mati. Penyebab kebakaran sampai sekarang tidak terungkap. Tapi kuat dugaan ulah manusia yang sengaja membakar,” ungkap Jenli.

 

Cagar Alam Tangkoko memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan ekosistem yang khas. Foto: Rhett A. Butler

 

Kebakaran besar juga terjadi pada 1992. Namun, menurutnya, tidak separah yang terjadi 2015 itu. Sementara, setiap tahunnya juga terjadi kebakaran kecil yang sengaja dilakukan oleh orang-orang tertentu. Jenli menduga beberapa tahun belakangan ini ada kecemburuan sosial yang terjadi di kampung-kampung di kawasan hutan Tangkoko.

“Kecemburuan itu bisa jadi karena sudah ada ekowisata dan masyarakat banyak yang menjadi guide atau pemandu.”

Namun yang banyak menjadi pemandu justru dari Kelurahan Batu Putih, Kecamatan Ranowulu, Kota Bitung, yang merupakan wilayah administrasi hutan Tangkoko. Padahal tutur Jenli, pihaknya membuka seluas-luasnya kepada masyarakat sekitar untuk menjadi pemandu, asal mereka mempunyai kemampuan dan pengetahun sesuai syarat yang berlaku. Karena dugaan kecemburuan ini, pada 30 April 2017 lalu, ada beberapa masyarakat yang merusak papan informasi di taman wisata alam.

“Sekarang sudah ada inisiatif membentuk Lembaga Konservasi Kelurahan atau LKK. Semua aturan diatur di sini, termasuk soal siapa yang bisa menjadi pemandu. Harapannya, LKK bisa mengatasi persoalan kawasan dan juga memberikan dampak baik ekonomi masyarakat.”

 

Ancaman utama kelestarian Cagar Alam Tangkoko bukanlah perburuan satwa, melainkan kebakaran yang terjadi hampir setiap tahun. Foto: Rhett A. Butler

 

Selama ini, kata Jenli, BKSDA terus melakukan kampanye kepada masyarakat mengenai kawasan konservasi dan perlindungan satwa yang ada di hutan Tangkoko. Bahkan menurutnya, pernah ketika patroli BKSDA bersama Kepolisian menangkap 17 warga sekitar yang kedapatan membuka lahan di kawasan taman wisata alam.

“Kami sudah sering dapat ancaman dari masyarakat, misalkan soal klaim bahwa kawasan cagar alam adalah milik nenek moyang mereka. Meski personil kami sedikit, tapi tidak menyurutkan kami untuk terus menjaga kawasan konservasi di Tangkoko.”

Cagar Alam Tangkoko ditunjuk Pemerintah Belanda sebagai cagar alam berdasarkan GB. Nomor 6 Stbl 90, tanggal 12 Februari 1919 dengan luas 3.196 hektare. Ditetapkan sebagai cagar alam karena memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan ekosistem khas, berupa ekosistem yang kompleks, baik itu dari hutan pantai maupun hutan lumut. Selain itu juga, Tangkoko memiliki keanekaragaman tumbuhan dan satwa endemik.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,