‘Panas’ dengan Hukum Kebakaran Hutan, Asosiasi Pengusaha Kayu dan Sawit Gugat UU Lingkungan

 

 

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengajukan gugatan peninjauan kembali (judicial review) UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan ke Mahkamah Konstitusi.

Adapun pasal-pasal yang digugat merupakan kunci bagi pemerintah menjatuhkan para perusahaan pembakar hutan yakni pengujian Pasal 69 ayat (1) dan (2), Pasal 88, Pasal 99 UU Nomor 32/2009 juncto Pasal 49 UU Nomor 41/1999.

Pada 29 Mei 2017, MK menggelar sidang agenda pemeriksaan pendahuluan berdasarkan surat gugatan dari APHI dan GAPKI teregistrasi dengan Nomor 25/PUU-XV/2017. Persidangan sekitar lebih satu jam itu, dipimpin Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, I Gede Palguna, dan Suhartoyo.

Kedua asosiasi bisnis ini diwakili kuasa hukum, Refly Harun. ”Tujuan agar Yang Mulia menghapuskan pasal, hingga tak ada ruang pembakaran hutan baik pemegang konsesi atau orang-orang di wilayah konsesi itu,” kata Refly saat memaparkan gugatan di Gedung MK, Jakarta, Senin (29/5/17).

Dia bilang, masih ada celah kasus kebakaran hutan karena ada Pasal 69 ayat (2) soal kearifan lokal yang masih memperbolehkan membakar seluas dua hektar. Dia menyalahkan masyarakat sebagai penyebab kebakaran.

Katanya, kebakaran seringkali merembet ke konsesi dan merugikan serta tak adil bagi para pemohon karena perlu mempertanggungjawabkan.

Tak hanya itu. Rafly mengatakan, penerapan pasal strict liability (tanggung jawab multak), tak jelas. ”Intinya, kalau kelalaian oleh pemohon, pemohon yang tanggung jawab, tetapi kalau bukan pemohon tak perlu bertanggung jawab,” katanya.

Setelah pemaparan, Hakim Konstitusi bergantian memberikan pandangan. Ada dua pembahasan pokok ditekankan hakim konstitusi, soal pasal strict liability dan kearifan lokal.

”Kita ketahui bersama kalau strict liability itu sudah diterima secara universal dan berlaku di hukum lingkungan, sudah dianggap ’canon’ sebagai kaidah yang secara taken for granted diterima,” kata Palguna.

Hakim Suhartoyo, mengatakan, prinsip strict liability sudah menjadi karakter spesifik dalam perkara hukum lingkungan dan kehutanan, berbeda dengan perkara hukum lain.

Dia bilang, penegakan hukum lingkungan hal mendesak. “Lingkungan hidup betul-betul menjadi jantung dan paru-paru kehidupan masyarakat kita,” katanya. Suhartoyo menilai, pengajuan gugatan asosiasi ini benar-benar bergeser dari semangat itu.

Para hakim meminta Refly untuk membuktikan dimana kelemahan strict liability hingga pasal ini dianggap ‘tidak layak’ diterapkan di Indonesia.

Begitupula soal pasal kearifal lokal, Suhartoyo mengatakan kalau Pasal 69 ini disikat habis, bagaimana nasib orang-orang yang memiliki kearifan lokal itu.

Hakim ini malah balik mempertanyakan dan menganggap pemohon tak berimbang. Dia menasehati agar Refly bisa merumuskan jalan tengah.

”Bisa tidak bapak berdiri di tengah. Kalau disikat habis, apa bapak nanti enggak dimusuhi orang?” katanya tertawa kecil.

Menurut dia, masyarakat lokal tak bisa mendapatkan perlakuan semena-mena. ”(Masyarakat lokal) masih bisa diberi ruang, toh itu kan juga hukum adat yang harus tetap kita pertahankan. UUD 1945 melindungi itu,” katanya.

Manahan MP Sitompul pun berpendapat, tak melihat ada masalah di norma pokok Pasal 69 ayat 2. “Bagaimanapun kearifan lokal ini harus dilindungi. Secara hak itu konkrit ada di daerah-daerah tertentu,” katanya.

Suhartoyopun mempertanyakan pengajuan gugatan yang diwakili Refly. ”Apakah ini gabungan, sedangkan yang terkena ancaman ganti rugi adalah masing-masing anggota? Apakah disitu koridor untuk bisa diwakili kepentingan anggota-anggota lain kepada anggota yang terkena ancaman ganti rugi?  Kenapa tidak anggota saja yang secara konsistuenalitas mengalami kerugian memberikan kuasa kepada bapak?” katanya.

Palguna pun mempertegas hal sama, terkait legal standing gugatan ini. ”Kalau ini diajukan asosiasi, apakah ini berkaitan langsung dengan kerugian konstituen? Hak konstituonal mana yang dirugikan?”

Refly pun belum menjelaskan siapa yang bertindak mengatasnamakan asosiasi untuk memberi kuasa ini. ”Kedua hal ini berkaitan untuk membuka legal-nya,” kata Palguna.

Untuk argumen dan jawaban pemohon diserahkan paling lambat 9 Juni 2017 pukul 10.00.

Refly menjawab akan mempertimbangkan terkait Pasal 69 ayat (2) untuk lebih berfokus pada kebakaran. ”Pertama terkait persamaan perlakuan baik untuk pengusaha maupun masyarakat.”

Dia mengatakan, banyak perusahaan mengalami kerugian karena kasus kebakaran hutan dan lahan hingga bangkrut.

Refly bilang, mewakili APHI dan GAPKI, karena memiliki kepentingan sama. ”Ini bukan spesifik perusahaan mana. Ini semua punya kepentingan sama.”

 

Sumber: Jikalahari

 

Upaya melawan hukum

Henri Subagyo, Direktur Eksekutif ICEL yang hadir dalam persidangan mengatakan, gugatan ini bentuk perlawanan korporasi terhadap penegakan hukum di Indonesia.

“Saya yakin, hakim tak akan gegabah,” katanya.

Dia bilang, pengusaha yang sedang bermasalah, berlindung di balik asosiasi. ”Kalau mau fair, keluar untuk maju sendiri, hingga kita tahu kasus mana dan dimana, tidak usah pakai asosiasi.”

Henri menyayangkan, kuasa hukum pemohon tak cukup paham penyelesaian perkara lingkungan hidup, misal prinsip strict liability yang disangkutpautkan dalam hukum pidana, kemudian kebakaran hutan yang menyalahkan warga.

”Dianggapnya, masyarakat yang lakukan, kemudian para pengusaha itu yang harus bertanggung jawab. Kalau dicek, masyarakat kena jauh lebih banyak. Persidangan atas ini seharusnya di bawah Mahkamah Agung, mestinya itu yang diuji,” katanya.

Kesempatan berbeda Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK menyatakan, perlawanan perusahaan lewat uji materi ke MK ini karena ada banyak kasus karhutla dikabulkan pengadilan.

Jasmin Ragil Utomo, Direktur Penyelesaian Sengketa KLHK mengatakan, ini langkah korporasi menggugurkan proses pengadilan yang berlangsung.

”Kami sudah ajukan jawaban (atas gugatan itu-red). Kami merumuskan kebijakan, awalnya beliau-beliau (APHI dan GAPKI) juga terlibat.”

 

Perusahaan mau lari dari tanggung jawab

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menanggapi perihal gugatan kedua asosiasi perusahaan ini. Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN, dalam rilis kepada media mengatakan, korporasi menuding masyarakat adat sebagai penyebab kebakaran hutan merupakan upaya atau tindakan lari tanggung jawab.

Pelarangan membuka lahan dengan cara tradisional, katanya,  membahayakan masyarakat adat yang sangat mengantungkan hidup sebagai petani atau peladang.

Selain itu, katanya, Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO 111 tentang perlindungan atas diskriminasi atas pekerjaan, baik pekerjaan formal maupun informal termasuk perlindungan pekerjaan tradisional seperti petani, nelayan dan lain-lain.

Jadi, katanya, kalau ada pelarangan membuka lahan secara tradisional adalah pelanggaran HAM dan tindakan menggangkangi konstitusi.

UU Lingkungan Hidup memasukkan pasal pengecualian terkait larangan membuka lahan dengan cara membakar, katanya, karena pembentuk UU tahu dan memahami fakta bahwa masyarakat adat memiliki kearifan lokal ini.

Pembentuk UU memperdebatkan perihal kemungkinan kriminalisasi terhadap masyarakat adat di kemudian hari bila pasal pengecualian bagi masyarakat adat tak masuk. Terlebih, katanya, cara tradisional masyarakat adat, dengan membakar lahan untuk memulai berladang merupakan hak tradisional dan telah diakui konstitusi Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945.

Anisa Rahmawati, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menyebutkan, langkah ini membuktikan korporasi enggan mengikuti aturan dan berusaha lepas tanggung jawab mereka.

”Kasus ini tidak main-main. Kekuatan korporasi sudah mulai menggerus pemerintah. Jika perusahaan tak mau melakukan langkah pencegahan kebakaran  dan mereka tak mau bertanggung jawab gara-gara strict liability, itu tidak masuk di akal saya. Merekalah pemilik dan pemegang kendali atas konsesi mereka. Merekalah yang harus bertanggung jawab. Inilah salah satu alasan mengapa strict liability  harus dipertahankan, bukan lagi masalah dari mana api berasal,” katanya.

Berbicara UUD 1945 Pasal 28 H Ayat 1, menyebutkan, Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.

”Ini tidak hanya berbicara karhutla, tapi masalah lingkungan, limbah dan lain-lain.” Pengajuan uji materil ini, katanya, perlu dihadapkan pada pemicu kebakaran hutan karena ada kelalaian dan keengganan perusahaan melindungi lingkungan hidup.

Dia malah merekomendasikan, pemerintah perlu memperkuat pembuktian dengan pengacara yang paham sekali dengan kasus ini.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, kekuatan korporasi ini bukan hanya berbahaya bagi lingkungan hidup tetapi mengancam keselamatan hidup rakyat, hingga generasi mendatang.

”Kami nilai (UU 32/2009) jadi salah satu UU yang sangat progressif melindungi lingkungan hidup dan keselamatan rakyat,” katanya.

Gugatan ini, katanya, memperlihatkan, bagaimana korporasi berupaya secara sistematis melawan konstitusi dan UU serta ingin melemahkan negara dan supremasi hukum. Melalui uji materi ini, korporasi berusaha bikin manuver melawan regulasi perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut (PP 57/2016).

”Kami mengingatkan Presiden, aparat penegak hukum dan lembaga peradilan agar tak ragu terus membawa kasus kejahatan korporasi ke ranah hukum.”

 

Kebakaran hutan mulai datang

Seiring dua asosiasi bisnis ini mengajukan gugatan terkait pasal kebakaran hutan dan lahan, titik api mulai muncul bahkan sejak April 2017 di beberapa wilayah termasuk ada di konsesi.

Data BMKG, Hary Tirto Djatmiko, Kepala Bagian Humas BMKG memperkirakan, kemarau mulai Mei hingga Juli 2017, dari Indonesia bagian timur menuju ke barat, seperti NTT, NTB dan Jawa bagian Timur.

”Antisipasi kebakaran hutan dan lahan tahun ini masih lebih rendah dibandingkan 2015,” katanya seraya bilang tak menutup kemungkinan kondisi kering lebih awal.

BMKG menyebutkan, prakiraan kemudahan kebakaran di Riau masuk kategori aman. Ada sebagian kecil di selatan kategori sangat mudah terbakar.

Pada Sabtu 27 Mei 2017, berdasarkan rilis BNPB dari data satelit Terra/Aqua terdeteksi 15 titik di Sumatera, empat titik di Riau, dengan dua memiliki level confident lebih 70%, yakni di Kampar dan Kuansing.

”Luas terbakar dari 14 Januari hingga hari ini 336,20 hektar dan bertambah di belakang Kantor Kejaksaan Negeri Bangkinang-Kampar seluas 0,25 hektar,” kata Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB.

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,