Lutung Beruban di Hutan Wehea, Perlu Riset Mendalam untuk Mengetahuinya

 

 

Setelah menampakkan diri tahun 2012, keberadaan lutung beruban (Grizzled Langur), hingga kini masih menundang keingintahuan ilmuwan akan persebarannya. Sempat diperkirakan telah habis populasinya, primata ini terlihat di Hutan Wehea, Muara Wahau, Kalimantan Timur, saat sejumlah peneliti melakukan riset di hutan seluas 38 ribu hektare tersebut.

Lutung beruban ini berbulu hitam keabu-abuan, berkerah, dan berjanggut putih. Beratnya sekitar 6 kilogram. Wujudnya memang sulit ditemukan. Pasca-kebakaran hebat yang melanda sejumlah hutan tropis di Kalimantan Timur pada 1990-an, sosoknya hilang. Ada juga yang menyatakan telah punah.

Peneliti primata dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Dokter Hewan Yaya Riyadin, mengatakan informasi punahnya lutung uban tidak harus dipercaya. Sebab, hutan di Kalimantan sangat luas, ditambah kurangnya teknologi di masa lalu membuat manusia sulit menemukannya.

“Lutung beruban memang baru ditemukan di Hutan Lindung Wehea. Sementara di pulau lain belum ada informasinya. Besar kemungkinan, lutung tersebut satwa endemik Kalimantan,” ujarnya, baru-baru ini.

 

Baca: Lutung Beruban “Ditemukan” Kembali di Hutan Wehea

 

Yaya merupakan peneliti yang melihat kemunculan lutung uban di Wehea itu. Menurutnya, Tim Wehea, yang terdiri dari Peneliti Kanada, Republik Ceko, dan Amerika, mendatangi Hutan Lindung Wehea untuk penelitian orangutan. Tidak disangka, mereka dikejutkan dengan penampakan foto-foto lutung uban yang tertangka kamera jebak (trap).

“Awalnya memang penelitian orangutan, saya sendiri sebagai local counterpart-nya. Tim waktu itu memasang kamera jebak untuk melihat perilaku orangutan, tetapi ternyata dapat Presbytis ini,” sebutnya.

Dijelaskan Yaya, bukan tidak mungkin, kehadiran kamera jebak bisa menghasilkan penelitian baru. Kecanggihan teknologi, sangat membantu manusia menemukan fakta-fakta unik yang sulit dijangkau.

“Teknologi kamera jebak menghasilkan riset baru, jadi sebenarnya tidak punah. Hanya waktu itu tekonologi belum ada, jadi satwanya juga belum bisa teridentifikasi. Kesimpulannya, bukan satwanya yang punah, namun riset mendalam dengan dukungan teknologi terkini yang harus dilakukan,” ungkapnya.

Peneliti primata dari LIPI, Wirdateti mengungkapkan, primata tersebut memang tidak punah. Penurunan populasi, karena berkurangnya habitat dan perburuan adalah hal yang sangat memungkinkan. “Salah satu faktor kelangkaannya, karena penelitian pada primata masih sangat kurang. Sehingga datanya tidak banyak diketahui,” tuturnya.

 

Lutung beruban atau Grizzled Langur di Hutan Wehea, Kalimantan Timur. Foto: Eric Fell

 

Jaga Wehea

Senior Manager, TNC East Kalimantan Program, Niel Makinuddin menjelaskan, bicara menjaga Hutan Wehea dan satwanya, sebaiknya kita harus pahami dulu apa ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup satwa yang ada di sana, termasuk lutung beruban.

Umumnya ancaman yang paling dekat adalah konversi habitat, hilangnya sumber pakan, perburuan/hunting, kekeringan/drought, dan kebakaran hutan (forest fire). Kelima ancaman tersebut saling menopang atau saling mempengaruhi.

Semakin banyak faktor yang mempengaruhi, percepatan kepunahan satwa akan semakin cepat. “Misalnya, kekeringan dibarengi kebakaran dan perburuan satwa akan menjadikan satwa sulit mencari sumber pakan. Sekaligus, mendapati ancaman fisik secara langsung dari kegiatan perburuan,” sebutnya, Senin (29/05/2017).

Lebih lanjut, kata Niel, faktor konversi habitat penyebabnya beragam. Bisa politis, ada kesengajaan atau rencana dari penentu kebijakan. Seperti merubah peruntukan kawasan (habitat) dan mengkoversinya ke dalam bentuk penggunaan lainnya: perkebunan, pertambangan atau permukiman.

Namun, dalam beberapa kasus, konversi bisa disebabkan oleh faktor informal atau sosial ekonomi. Misalnya, kasus perambahan di beberapa taman nasional, hutan lindung, dan cagar alam untuk dijadikan permukiman serta kegiatan pertanian dan perkebunan.

“Kembali ke Wehea, untuk memastikan satwa langka terlindungi, harus ada upaya memastikan wilayah ini aman dari kelima ancaman tersebut. Statusnya sebagai hutan lindung relatif aman,” lanjutnya.

 

Hutan Lindung Wehea yang begitu dijaga oleh masyarakat adat Dayak Wehea. Hutan adalah sumber kehidupan dan bagian penting bagi mereka. Foto: Yovanda

 

Lagi pula, saat ini, kawasan hutan Wehea dijaga Petkuq Mehuy (PM) yaitu penjaga hutan lokal/tradisional yang dibentuk Kepala Adat Wehea. PM tersebut dalam beberapa kejadian juga mengamankan dan mencegah terjadinya perburuan binatang yang dilakukan pemburu maupun pencari gaharu, yang melakukan perburuan.

Meski demikian, lanjut dia, ada kegiatan pengamanan kawasan dan satwa yang memerlukan kerja sama dengan para pihak lain di sekitar Hutan Wehea. Seperti pencegahan kebakaran hutan dan menyambungkan (koridor) satwa antara Wehea dengan kawasan sekeliling. Sehingga, pola pengelolaannya meluas menjadi skala bentang bentang alam (landscape).

Untuk jenis satwa penjelajah yang memiliki mobilitas tinggi seperti orangutan, pendekatan pengelolaan berbasis bentang alam adalah keniscayaan. Pendekatan ini memungkinkan koneksi (koridor) satwa dengan berbagai habitat, sehingga menjadikannya leluasa bergerak dan menemukan sumber pakan. Dengan begitu, tingkal survivalnya lebih baik dibandingkan berbasis satu unit manajemen saja.

“Bagi dunia usaha dan pemerintah daerah, pendekatan bentang alam akan mengurangi biaya (cost) dan risiko (risks) terhadap berbagai ancaman seperti kebakaran, perburuan, dan lainnya,” pungkasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,