Studi terbaru yang dilakukan para peneliti paleontologi dari University of Hongkong berhasil menemukan fosil “dinosaurus” berbulu yang diyakini merupakan nenek moyangnya burung-burung moderen saat ini.
Berdasarkan laporan yang dipublikasikan Nature Communication, fosil yang diberi nama Jianianhualong tengi itu ditemukan di Baicai Gou, Provinsi Liaoning, Tiongkok. Fosil setinggi satu meter dalam kondisi baik ini, diperkirakan berusia 125 juta tahun.
Dengan menggunakan teknik anatomi dan Laser Stimulated Fluorescence (LSF Imaging), yang dikenal sebagai alat bantu pemindai fosil di bidang palaeontologi, para peneliti berhasil menganalisis anatomi bulu dan tulangnya.
Hasilnya, sungguh luar biasa. Para ilmuwan terkejut, J. tengi ini benar-benar spesies troodontid yang sama sekali baru. Ciri yang sangat menonjol adalah bulu-bulunya yang asimetris, dengan bulu-bulu di satu sisi lebih lebar ketimbang sisi lainnya.
“Troodontid merupakan sekelompok burung berbulu, mirip dinosaurus, bersama dromaeosaurus atau yang lebih dikenal dengan sebutan Velociraptor, yang merupakan raptor. Keduanya menjadi nenek moyang paling dekat burung,” kata Michael Pittman, paleontologis, sekaligus penulis utama jurnal ini, sebagaimana dilansir dari Gizmodo, Mei 2017.
“Oleh karena itu, troodontid sangat penting dalam hal memahami asal usul burung terbang. J. tengi terlihat seperti ayam dengan ekor memanjang.”
Pittman lebih lanjut mengatakan, J. tengi mewakili bentuk peralihan penting dalam evolusi troodontid, makhluk yang menampilkan bulu besar pada kaki depan, kaki belakang, dan ekornya. Bulu pada ekornya menunjukkan susunan mirip daun, seperti burung ekor panjang lainnya yaitu Archaeopteryx. Makhluk yang juga memiliki bulu asimetris, hidup 150 juta tahun lalu, tetapi itu bukan nenek moyang burung yang sebenarnya.
Peneliti lainnya yang terlibat dalam studi ini, Xu Xing seperti diberitakan National Geographic edisi Mei 2017 mengatakan, bulu asimetris menjadi salah satu ciri evolusi burung bisa terbang. “Sudah diterima secara luas bahwa asimetris pada bulu menjadi salah satu ciri penting asal-usul burung dapat terbang,”
Meski kehadiran bulu-bulu dikaitkan dengan kemampuan terbang, tapi tidak semua bulu diciptakan memiliki fungsi yang sama. Bulu asimetris yang ditemukan pada J. tengi ini juga tak lantas membuat spesies itu bisa terbang.
Para peneliti pun mengakui, untuk saat ini belum memiliki informasi yang cukup untuk memastikan apakah J. tengi bisa terbang atau tidak. “Menjadi tantangan untuk merekonstruksi kemampuan aerodinamis pada fosil spesies dinosuarus baru itu, karena banyak data terkait yang belum ditemukan,” ungkapnya.
Namun, bulu asimetris pada spesies baru itu menunjukkan bahwa setidaknya ada peningkatan aerodinamis. Walaupun pada beberapa spesies dinosaurus kondisi itu bisa diartikan sebagai lompatan atau gerakan gesit untuk mengindari predator.
Ryan Carney, paleontologis dan penerima beasiswa National Geographic yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menyatakan menggabungkan bentuk bulu ke dalam penelitian tentang hubungan evolusioner merupakan langkah penting.
Kini, holotype atau contoh asli dari spesies itu diletakkan di sebuah museum di Dalian, Tiongkok, untuk kemudian diamati lebih rinci. Para peneliti mencatat dengan cermat ciri-ciri kerangkanya, membandingkan dengan spesimen troodontid yang sudah ditemukan sebelumnya dan memindai sisa-sisa fosilnya menggunakan laser. Kemudian, melihat rinciannya lebih dalam lagi.
Para peneliti berharap, temuan ini tidak hanya mengungkapkan sejarah “dinosaurus” terbang, lebih dari itu bisa menyoroti hubungannya dengan burung pertama di dunia. (Berbagai sumber)