Bagaimana Kondisi Perikanan Krustasea di Indonesia Sekarang?

Eksploitasi sumber daya perikanan yang telah berlangsung lama, diyakini bisa mengancam stok yang ada di lautan lepas. Kondisi itu, sudah dialami sektor perikanan tangkap yang mengalami over fishing setelah banyak kapal ikan asing (KIA) melakukan praktik perikanan ilegal di perairan Indonesia. Kini, ancaman itu sedang mengintai perikanan krustasea.

Aquaculture and Fisheries Improvement Manager WWF Indonesia Abdullah Habibi di Jakarta, belum lama ini mengatakan, perikanan krustasea saat ini menjadi komoditas andalan ekspor Indonesia ke Amerika serikat dan Jepang. Kedua negara tersebut, kini memegang peranan penting karena ekspor mencapai 56 persen dan 26 persen.

“Jika ingin komoditas tersebut tetap menjadi andalan, dari sekarang harus dijaga dengan baik,” ucap dia.

 

 

Habibi mengungkapkan, dengan besarnya prosentase ekspor kedua negara maju sangat berpengaruh di dunia itu, perikanan krustasea selama ini telah berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Komoditas tersebut, diakui sebagai komoditas bernilai tinggi dan selalu dicari orang untuk dikonsumsi.

Jika masih ada yang bingung apa itu perikanan krustasea, berikut penjelasannya. Dilansir dari laman Wikipedia, Krustasea adalah suatu kelompok besar dari artropoda, yang terdiri dari kurang lebih 52.000 spesies yang terdeskripsikan, dan biasanya dianggap sebagai suatu subfilum.

Kelompok ini mencakup hewan-hewan yang cukup dikenal seperti lobster, kepiting, udang, udang karang, serta teritip. Mayoritas merupakan hewan air, baik air tawar maupun laut, walaupun beberapa kelompok telah beradaptasi dengan kehidupan darat, seperti kepiting darat.

Kebanyakan anggotanya dapat bebas bergerak, walaupun beberapa takson bersifat parasit dan hidup dengan menumpang pada inangnya. Untuk diketahui, Krustasea dibagi menjadi 2 sub-kelas, yaitu Entomostraca (udang-udangan rendah) dan Malacostrata (udang-udangan besar).

Entomostraca umumnya berukuran kecil dan merupakan zooplankton yang banyak ditemukan di perairan laut atau air tawar. Golongan hewan ini biasanya digunakan sebagai makanan ikan, contohnya adalah ordo Copepoda, Cladocera, Ostracoda, dan Amphipoda.

 

Udang windu. Foto: IPB

 

Sementara, Malacostrata umumnya hidup di laut dan pantai. Yang termasuk ke dalam Malacostrata adalah ordo Decapoda dan Isopoda. Contoh dari spesiesnya adalah udang windu (Panaeus), udang galah (Macrobanchium rosenbergi), rajungan (Neptunus pelagicus), dan kepiting (Portunus sexdentalus).

Dari dua kelompok tersebut, sebagian besar Malacostrata diketahui biasa dimanfaatkan manusia sebagai makanan yang kaya protein hewani, seperti udang, kepiting, dan rajungan. Akan tetapi, diketahui ada beberapa jenis Crustacea juga dapat merugikan manusia, contohnya yuyu yang dapat merusak tanaman padi di sawah dan ketam kenari perusak tanaman kelapa di Maluku. Sub-kelas Entomostraca juga dimanfaatkan manusia sebagai pakan ikan untuk industri perikanan.

Abdullah Habibi menjelaskan, dengan segala manfaat yang dimiliki, Krustasea memiliki nilai ekonomi hingga Rp6,8 miliar pada kurun waktu 2010-2014. Atau, jika dihitung dari total gross domestic bruto (GDP) Indoensia dari sektor perikanan pada 2014, Krustasea menyumbang 5.98 persen.

 

Perlindungan Krustasea

Habibi memaparkan, diterbitkannya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47 Tahun 2016 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, menunjukkan bahwa potensi untuk krustassea, khususnya udang, lobster, kepiting, dan rajungan sudah melewati batas maksimal. Untuk itu, kata dia, harus segera dilakukan pengelolaan yang baik terhadap potensi Krustasea yang masih ada sekarang.

“Status ini disebabkan oleh tingkat upaya penangkapan yang tinggi, dimana tidak diimbangi dengan pengaturan pemanfaatan yang memperhatikan karakter biologi dari sumber daya tersebut,” jelas dia.

 

Pelepasan kepiting hasil penyitaan di Bandara Ngurah Rai Bali. Pelepasan dilakukan di Kampung Kepiting, Tuban, Bali. Foto : Anton Muhajir

 

Selain itu, menurut Habibi, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, perikanan ilegal, dan penurunan fungsi ekosistem juga memberikan kontribusi pada penurunan stok sumber daya krustasea di alam.

Habibi menambahkan, dengan stok perikanan krustasea yang pemanfaatan penuhnya (fully exploited) sudah mencapai 95 persen, maka sudah saatnya bagi Indonesia untuk membuat rencana strategi dan sekaligus inovasi untuk mengembalikan stok krustasea di alam. Tujuannya, agar kesejahteraan nelayan bisa tetap terjamin dan sekaligus untuk menjaga kesehatan ekosistem di alam.

Kepala Pusat Riset Perikanan (Pusriskan) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Toni Ruchimat mengungkapkan, saat ini perikanan krustasea sudah berkontribusi nyata dalam modernisasi perikanan di Indonesia. Kontribusi itu, baik yang berdampak positi terhadap perekonomian Indonesia, juga dampak negatif terhadap kebijakan Pemerintah.

“Untuk menuju pengelolaan perikanan krustasea yang berkelanjutan harus berdasarkan dasar hukum yang berlaku,” tutur dia.

 

Foto: Wikipedia

 

 

Ukuran Terus Mengecil

Perlunya dilakukan perencanaan strategi segera, menurut Toni, karena saat ini fakta sudah menunjukkan bahwa daerah penangkapan krustasea di alam semakin jauh. Kemudian, ukuran krustasea yang tertangkap juga semakin kecil, dan itu berakibat pada modifikasi alat tangkap krustasea di alam.

Selama ini, kata Toni, krustasea yang tertangkap alat tangkap ukurannya besar. Namun, setelah eksploitasi berlebih, krustasea yang tertangkap oleh alat tangkap ukurannya menjadi lebih kecil (fase anakan). Selain itu, komposisi hasil tangkapan krustasea juga menjadi didominasi oleh krustasea yang sedang masuk fase melakukan reproduksi.

“Harus ada aturan pengendalian penangkapan, pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem serta pengelolaan dengan pendekatan bioekonomi perikanan,” tegas dia.

Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP) Zulficar Mochtar menambahkan, menyadari semakin tingginya pemanfaatan potensi krustasea, perlu ada perlindungan segera terhadap stok yang ada di alam sekarang. Namun, langkah tersebut juga diakuinya pasti tidak akan mudah dilakukan.

“Pengelolaan perikanan berkelanjutan tidak mudah dilakukan, tapi juga tidak susah,” tutur dia.

Dalam pelaksanaannya, Zulficar mensyaratkan harus ada aktivitas tarik-menarik antara tiga poin utama, yaitu ekonomi yang optimal, ekologi yang dikelola secara lestari dan hubungan sosial untuk kesejahteraan masyarakat. Ketiga poin tersebut harus bersinergi mencapai keseimbangan.

 

Kepiting bakau adalah anggota suku portunidae yang hidup di ekosistem hutan bakau. Kepiting yang mempunyai nilai ekonomis menjadi salah satu unggulan dari Dukuh Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. foto : Donny Iqbal

 

Agar keberadaan stok krustasea bisa tetap tersedia, baik Zulficar maupun Toni dan Habibi bersepakat bahwa harus ada strategi untuk melakukan pengelolaan perikanan krustasea berkelanjutan. Adapun, strategi tersebut, adalah:

1).Mengaji status stok krustasea;

2) Melakukan pemantauan dan evaluasi implementasi hasil pengkajian stok krustasea dan penerapannya dalam pengelolaan krustasea;

3) Melengkapi Rencana Pengelolaan Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia(WPP RI)yang sudah ada sesuai dengan UU Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 7;

4) Melakukan pengenalan, pengembangan dan implementasi pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management/EAFM);

5) Melakukan pengembangan riset aplikasi sertifikasi ekolabel dalam penilaian status stok, dampak terhadap perikanan dan lingkungan, dan kriteria sistem pengelolaan perikanan dan krustasea;

6) Menguatkan kelembagaan pengelolaan perikanan krustasea skala kecil untuk mengatasi permasalahan tata kelola perikanan khususnya rajungan, kepiting bakau, dan lobster.

Jika strategi di atas sudah dilaksanakan, ketiga orang tersebut sepakat, stok krustasea yang tersisa di alam sekarang, bukan saja bisa diselamatkan, tetapi juga akan bertambah. Jika sudah begitu, nelayan yang mencari ikan akan mendapatkan manfaatnya. Kesejahteraan bisa kembali diraih mereka.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,