Stasiun Riset Ketambe, Bukan Orangutan Sumatera Saja yang Bisa Diteliti

 

 

Stasiun Riset Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, yang berada di dalam Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), merupakan stasiun tertua di Indonesia.

Stasiun penelitian yang luasnya mencapai 450 hektare ini, dikelola oleh Forum Konservasi Leuser (FKL) bersama Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser dan Dinas Kehutanan Provinsi Aceh.

Pertengahan Mei 2017, Mongabay Indonesia, berkesempatan melihat langsung orangutan sumatera yang identik dengan pusat riset ini.

 

Baca: Stasiun Penelitian Orangutan Ketambe Hidup Lagi

 

Manager Stasiun Riset Ketambe Arwin mengatakan, pohon besar bernilai tinggi dan satwa yang ada di wilayah ini terjaga dari segala ancaman: pemburu atau perambah.

“Di dalam stasiun riset ini, banyak orangutan. Bahkan, mereka sering membuat sarang di dekat bangunan tempat tinggal kami,” jelas Arwin yang merupakan penduduk asli Ketambe.

 

 

Hutan dan satwa liar di Ketambe dijaga penuh, sehingga bebasa dari perburuan dan perambahan. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah

 

Arwin mengatakan, sebelum stasiun tutup Juli 2011, terkait pengelolaan antara Balai Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) dengan Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), banyak peneliti yang datang.

“Pada 2014, stasiun ini kembali dibuka untuk peneliti dan kita menunggu,” tuturnya sembari menyusuri hutan alami Ketambe untuk melihat orangutan.

 

Baca: Berharap Orangutan Kembali ke Ketambe

 

Setelah berjalan 45 menit, kami melihat kawanan orangutan berjumlah lima individu berlompatan di atas pohon. Kelompok ini dipimpim oleh jantan dominan Dedi, bersama dua betina dewasa dan dua anakan.

“Mereka di sini karena sedang banyak buah, kalau tidak ada buah akan pindah ke tempat lain. Tapi, masih di sekitar stasiun riset.”

Arwin menambahkan, staf Stasiun Riset Ketambe saat ini sedang mendata kembali jumlah orangutan. Sebelum stasiun tutup, jumlahnya mencapai 50 individu. “Selain orangutan, peneliti juga dapat meneliti satwa lain dan beragam tumbuhan yang ada.”

 

 

Stasiun Riset Ketambe memang identik dengan penelitian orangutan. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah

 

Jalan panjang

Stasiun Penelitian Ketambe didirikan pada 1971 oleh peneliti berkebangsaan Belanda, Herman D. Rijksen yang bekerja untuk Universitas Wageningen, Belanda.

Pembangunan ini didanai oleh Netherlands Foundation for the Advancement of Tropical Research dan Netherlands Appeal of the World Wildlife Foundation. Awal pendiriannya, stasiun ini ditujukan sebagai lokasi rehabilitasi orangutan sekaligus sebagai pusat penelitian

Pada 1980, pengelolaan stasiun diserahkan ke PHPA dan sejak itu Ketambe dijadikan sebagai pusat penelitian. Sementara, pusat rehabilitasi orangutan dipindahkan ke Bukit Lawang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Hingga sekarang, Stasiun Penelitian Ketambe menjadi laboratorium alam yang istemewa. Menjadi daya tarik tersendiri bagi peneliti dalam dan luar negeri, khususnya primata.

 

Baca juga: Beginilah Kala Leonardo DiCaprio Mampir ke Taman Nasional Leuser di Ketambe

 

Selain orangutan sumatera (Pongo abelii), jenis primata lainnya yang banyak terdapat disana antara adalah kukang sumatera (Nycticebus coucang), monyet ekor panjang, beruk, kedih, sarudung, serta siamang. Ada juga macan dahan dan beruang madu.

 

 

Selain orangutan, banyak potensi satwa liar dan tumbuhan yang bisa diteliti di Ketambe. Foto atas (kupu-kupu) dan bawah (Sungai Ketambe yang bermuara ke Sungai Alas): Junaidi Hanafiah

 

Pada mulanya tempat ini dipilih karena kaya dengan tumbuhan pakan orangutan sumatera. Dari hasil penelitian diperoleh informasi tentang keberadaan berbagai jenis tumbuhan rambung (Ficus sp.) yang merupakan makanan favorit primata di kawasan tersebut. Jenis-jenis Dipterocarpaceae yang dijumpai di kawasan ini tercatat enam jenis yaitu Shorea multiflora, Shorea leprosula, Vatica wallichii, Parashorea malaanonan, Shorea sp. dan Vatica sp.

Ketambe diapit dua sungai yaitu Lawe Ketambe dan Lawe Alas di Kabupaten Aceh Tenggara. Pada awalnya, pusat penelitian ini seluas 1,5 km persegi (Rijksen 1978). Pada 1979, Dr. Chris Schrümann memperluas, mengukur, dan memetakan dengan sangat akurat sehingga luasnya menjadi 4,5 km persegi.

 

 

Orangutan sumatera yang hidup di Ketambe saat ini sedng disurvei kembali, data sebelumnya menunjukkan 50 individu. Foto atas (survei populasi orangutan) dan bawah (orangutan): Junaidi Hanafiah

 

Stasiun ini menjadi lokasi peneliti terkenal seperti, Dr. Chris Schrümann (1975-1979), Dr. Carel van Schaik (1979-1984), Dr. Maria van Noordwijk (1979-1984), Dr. Jito Sugardjito (1979-1983), Dr. Tatang Mitra Setia (1991-1993), Dr. Serge Wich (1993-1995, 1998-2000), dan Dr. Sri Suci Utami Atmoko (1993-1996).

Keberadaan para peneliti lapangan yang hampir tanpa jeda dan berkesinambungan, dimulai oleh proyek perintis yang dilakukan Rijksen pada 1970-an yang menempatkan stasiun ini dalam salah satu tempat untuk kegiatan penelitian kera besar dalam jangka paling panjang. Selain Budongo Conservation Field Station di Uganda (simpanse), Gombe Stream Research Center di Tanzania (simpanse), Karisoke Research Center di Rwanda (gorilla), Mahale Mountains Research Project di Tanzania (simpanse), Camp Leakey di Kalimantan Tengah (orangutan kalimantan), dan Wamba Research Station di Kongo (bonobo).

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,