Nasib Pengumpul Limbah Batubara, Disebut Ilegal dan Merusak Lingkungan. Bagaimana Permasalahannya?

 

 

Syahrul (45), warga Desa Durian Demang, dan Alun (43), warga Desa Suka Rami, Kabupaten Bengkulu Tengah bersiap pulang ke rumah. Duduk di atas tumpukan karung limbah batubara di pinggir Sungai Air Kemumu, Desa Tanjung Raman, sembari mengobrol, mereka menunggu mobil untuk ditumpangi keluar dari lokasi menuju ke jalan lintas Bengkulu – Curup di Desa Sukarami. Jaraknya, sekitar dua kilometer.

Hari itu, Minggu, 23 April 2017, limbah batubara yang mereka kumpulkan terbilang sedikit. “Air sungai tidak dalam, untuk mendapatkan 10 karung sehari, sulit. Kalau air dalam (setelah hujan besar), tiap orang bisa mengumpulkan hingga 25 karung,” kata Syahrul. Setiap hari, mereka memulai pekerjaannya pukul 09.00 WIB. Setelah istirahat pukul 13.00 WIB, mereka bekerja lagi hinga pukul 17.00 WIB.

Sudah 21 tahun Syahrul dan Alun menggeluti pekerjaan ini. “Saya tahu dari keluarga di Desa Penanding. Sudah satu tahunan, dia menjual ke peternakan ayam dengan harga Rp 4.000 per karung. Awalnya, cuma sedikit orang. Namun, sejak ada pengusaha yang datang dan siap membeli sekarungnya Rp18.000 sekitar 2006-an, banyak yang ikut mengumpulkan batubara, termasuk perempuan.”

Mereka tidak perlu membawa limbah batubara ke toke di Desa Sukarami. Cukup mengirim pesan singkat (SMS). “Ada mobil yang datang mengangkut. Pembayarannya mingguan, biasanya setiap Sabtu,” tambah Alun.

 

Baca: Aktivitas Tambang Batubara yang Meresahkan di Hulu DAS Air Bengkulu

 

Bukan hanya di Desa Tanjung Raman, pengumpulan limbah batubara juga dilakukan di sepanjang aliran DAS Air Bengkulu di Desa Kota Niur, Penanding, Tengah Padang, Jayakarta dan Desa Kembang Seri, Bengkulu Tengah. Serta, di Kelurahan Tanjung Jaya, Semarang, Tanjung Agung dan Rawa Makmur, Kota Bengkulu. Aktivitas yang sama juga terlihat di pesisir pantai, Desa Pondok Kelapa, Pekik Nyaring, juga di Kelurahan Pasar Bengkulu.

“Kalau dihitung, bisa ribuan orang. Apalagi kalau harga sawit atau karet murah, jumlah pengumpul akan bertambah,” kata Buyung (23), warga Desa Penanding, ditemui pada Senin (24/4/17).

 

Ibrahim menunjukkan tumpukan batubara di depan rumahnya yang belum bisa dijual karena izin angkut tidak dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu. Foto: Dedek Hendry

 

Buyung mulai menggeluti pekerjaan tersebut sejak 2007. “Dulu, hanya ukuran besar atau babon yang diambil. Sekarang susah, kecuali setelah hujan deras, batubara di lokasi pertambangan terbawa air dan hanyut ke sungai. Sehingga, saat ini, ukuran sebesar biji jagung atau pasir pun diambil. Walau harganya lebih murah, yang penting ada penghasilan.”

Pada 2010, para pengumpul nyaris demonstrasi. “Sempat akan dilarang pemerintah (daerah). Dianggap ilegal karena tidak memiliki izin. Waktu itu, para pengumpul limbah Namun, dibatalkan,” kata Buyung. Selain dianggap ilegal, pengumpul limbah batubara juga dituding sebagai pencemar air sungai. “Pekerjaan kami dianggap merusak lingkungan hidup, sedangkan perusahaan tidak.”

 

Baca juga: Kerusakan Lingkungan Akibat Tambang Batubara Terus Berlanjut, Apa Solusinya?

 

Bila di wilayah Bengkulu Tengah tidak pernah ditertibkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), berbeda dengan Kota Bengkulu. “Sekarang memang sudah tidak pernah lagi. Beberapa tahun lalu, Satpol PP sering datang dan melarang. Kami dianggap merusak lingkungan hidup. Padahal, kalau pemerintah paham, sebenarnya kami membantu mengatasi pendangkalan sungai,” kata Aheri, warga Kelurahan Kampung Kelawi, ditemui di sela-sela aktivitasnya di Hulu DAS Air Bengkulu.

Aheri yang menggeluti pekerjaan itu sejak 2009, mengaku paham dengan kondisi air yang mengalir di hulu DAS Air Bengkulu. “Bukan hanya limbah batubara, limbah sawit dan karet juga sering mengalir. Kalau limbah sawit atau karet yang datang, kami kadang tidak turun, kulit bisa gatal-gatal.”

Pekerjaan mengumpulkan limbah batubara, ternyata juga menjadi alternatif pendapatan nelayan saat musim badai. “Mengumpulkan limbah batubara di pantai jadi pilihan kami. Saat musim badai, batubara terseret ke pinggir pantai,” kata Ibrahim (50), warga Kelurahan Pasar Bengkulu.

Ibrahim mulai menggelutinya pada 2008, namun perlahan beralih menjadi pedagang pengumpul pada 2009. “Kalau banyak, saya bisa mengirimkan hingga 10 truck fuso setiap hari ke pabrik-pabrik di Palembang, Lampung, Tanggerang, Bandung, Cirebon dan Purwokerto. Berapapun juga, akan diterima. Informasi yang saya peroleh, lebih murah menggunakan limbah batubara untuk pembakaran dibandingkan solar. Apalagi kalau kalori batubaranya tinggi, bara apinya tahan lebih lama,” ujarnya.

 

Menjadi pengumpul limbah batubara dilakukan masyarakat sebagai mata pencaharian. Foto: Dedek Hendry

 

Perlu Kebijakan Daerah

Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Laboratorium Dinas Lingkungan Hidup Bengkulu Tengah Fera Asantaria Pulungan mengaku dilematis. “Kalau disetop, kasihan, menyangkut hajat hidup orang banyak. Mereka mencari uang di sana. Kalau dibilang tidak boleh, sebenarnya juga belum ada aturan larangan mengambil batubara di sungai. Bila disebut tambang liar, memang benar, karena tidak ada izin,” katanya, Kamis (27/4/2017).

Menurut Fera, warga tidak berhak mengumpulkan dan menjual batubara. “Itu kan bukan hak mereka. Hanya, mereka mendapat imbas, saat hujan batubara mengalir ke sungai, batubara yang diletak di pinggir sungai atau tempat curam,” tambah Fera didampingi Kepala Seksi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup Bengkulu Tengah Ardiansyah. Fera juga menilai, aktivitas pengumpulan limbah batubara telah mencemari sungai karena air sungai menjadi keruh.

Dosen Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu Edra Satmaidi Jum’at (28/4/2017) mengatakan, pemerintah daerah perlu mengambil kebijakan. “Dalam kasus ini, bisa suatu kebijakan, agar legal izin pengumpulannya. Karena hanya mengambil, sudah ada barangnya. Tidak menggali, mereka tidak menambang di wilayah izin yang dimiliki pihak tertentu. Kalau mereka menambang di wilayah izin yang dimiliki pihak tertentu, itu baru ilegal.”

Menurut Edra, pembuatan kebijakan bagi pengumpul batubara merupakan peluang pemerintah untuk menunjukan keberpihakan kepada rakyat. “Jangan hanya pada pengusaha. Sepanjang apa yang dilakukan masyarakat, tidak merusak lingkungan, maka perlu ditata dan diberi izin. Tentunya, tidak serumit perusahaan. Inilah peluang pemerintah, karena yang diambil adalah batubara yang hanyut, dikumpulkan,” tambahnya.

Sekretaris Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bengkulu Oktavino mengatakan, pihaknya sedang memikirkan solusi. “Pola pembinaan seperti apa, itu yang sedang kami pikirkan. Namanya pemerintah, kalau sudah ambil sikap, harus ada solusi. Rumitnya, pengumpul batubara itu di sungai, tidak pakai alat. Mereka cuma mendulang. Kendati demikian, yang mereka lakukan itu justru membersihkan sungai. Hanya saja, mereka tidak bisa menjual tanpa izin,” kata Oktaviano yang ditemui bersama Kepala Dinas ESDM Provinsi Bengkulu Ahyan Endu, Selasa (25/4/2017).

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,