Aktivitas penambangan pasir yang dilakukan sejumlah perusahaan di perairan Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan terus mendapat penolakan warga. Beragam aksi telah dilakukan, mulai dari aksi unjuk rasa, pencegatan kapal hingga melaporkan kasus ini ke sejumlah kementerian, termasuk ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.
Kepastian dilaporkannya kasus ini ke sejumlah kementerian dan KPK disampaikan Nurlinda Taco, salah seorang warga Galesong Utara, ketika ditemui di rumahnya di Desa Tanete, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Kamis (01/06/2017).
“Saya baru pulang dari Jakarta mengunjungi sejumlah kementerian, antara lain Setneg, Kementerian Maritim, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Besok rencana kita juga laporan hal ini ke KPK. Malam ini salah seorang warga akan berangkat ke Jakarta,”ungkap Nurlinda sambil memperlihatkan tumpukan dokumen yang telah dijilid rapi.
Menurut Nurlinda, ada beberapa hal yang mereka sampaikan dalam pelaporan tersebut, . antara lain berisi penolakan warga atas keberadaan tambang pasir tersebut, serta tentang perusahaan yang melanggar kesepakatan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilakukan sebelumnya di DPRD Sulsel.
“Kita juga meminta agar RZ (rencana zonasi) ditunda pengesahannya. Bahkan kalau bisa dikaji ulang kembali, karena prosesnya tidak partisipatif. Sepanjang pengetahuan kami proses pengesahan zonasi ini harus melibatkan pubik yang sebesar-besarnya. Ini yang tidak terjadi. Konsultasi publiknya baru satu kali dimana saat itu tak ada pembahasan sedikit pun terkait alokasi ruang untuk tambang. Tetapi ketika pembahasan di Jakarta tiba-tiba muncul angka 19.805,1 hektar lebih lokasi tambang di perairan Takalar.”
Menurut Nurlinda, upaya menentang penambangan pasir tersebut karena adanya kekhawatiran yang besar warga akan masa depan pesisir dan laut mereka. Apalagi sebagian besar warga adalah nelayan kecil yang akan terdampak langsung dari keberadaan tambang tersebut.
Makanya kemudian mereka melakukan pencegatan sebuah kapal yang akan melakukan penambangan pasir secara diam-diam pada 18 Mei 2017 lalu.
“Kejadiannya sekitar pukul 10 malam. Kapalnya kita cegat dan paksa merapat ke perairan dangkal terdekat. Paginya baru ada mediasi dari Kapolres,” ungkap Nurlinda sambil memperlihatkan sejumlah video dan foto-foto pencegatan dan penyanderaan tersebut.
Aksi pencegatan yang melibatkan seratusan warga tersebut bukan tanpa alasan. Nurlinda menilai pihak perusahaan telah melanggar empat butir kesepakatan bersama dalam RDP di DPRD Sulsel sebelumnya.
Keempat poin kesepakatan tersebut antara lain, pertama, semua proses terkait perizinan atau operasional yang perusahaan lakukan harus ditunda sampai semua konflik yang terjadi di masyarakat bisa diselesaikan.
Kedua, harus ada kajian ulang untuk melihat lokasi-lokasi lain yang potensial di Sulsel yang kemungkinan materialnya bagus dan bisa digunakan, tanpa berdampak langsung pada masyarakat.
Ketiga, akan ada RDP lanjutan yang akan menghadirkan semua pihak-pihak terkait. Dan keempat, akan ada pertemuan yang melibatkan tenaga-tenaga ahli, yang bisa memberikan penjelasan yang lebih rinci, sehingga kecemasan warga bisa hilang terkait dampak penambangan.
“Dari empat kesepakatan tersebut belum ada satu pun yang dilakukan, lalu tiba-tiba pihak perusahaan sudah melakukan penambangan. Alasannya mereka baru ambil sampel. Lebih parah lagi, dari kasus pencegatan ini kita dapat data baru bahwa ternyata ada tambahan perusahaan yang diberi izin penambangan, yaitu PT Banda Samudera. Ini membuat kasusnya semakin melebar,” jelas Nurlinda.
Disayangkan Nurlinda karena aktivitas penyedotan pasir itu ternyata sudah berlangsung lama. Sejumlah warga mengakui sudah sering melihat kapal tersebut.
“Ketika dipertanyakan alasan keberadaan mereka kata awak kapalnya mereka mengeruk pantai untuk kepentingan pembangunan pelabuhan. Mereka juga sering kerja malam-malam. Warga pikir hanya kapal biasa saja.”
Selain pengakuan dari warga, bukti aktivitas penambangan pasir itu juga bisa dilihat dari banyaknya tumpukan pasir di sekitar kawasan Center Point of Indonesia (CPI), yang telah dikonfirmasi berasal dari Takalar.
“Saya tanya orang-orang yang kerja di sana, darimana pasir tersebut, dijawab dari Takalar. Dan itu sudah lama.”
Nurlinda sendiri sedikit optimis dengan respons sejumlah kementerian yang mereka kunjungi, khususnya dari KKP.
“Yang paling cepat responnya itu dari KKP. Begitu kami laporkan tim dari dua direktorat di KKP langsung diturunkan ke lapangan. Mereka sudah ke lokasi dan bertemu warga Senin kemarin ini,” tambah Nurlinda.
Atas saran dari KKP ini juga lah Nurlinda kemudian menembuskan laporan tersebut ke KPK, karena telah adanya MoU antara dengan KKP dan KPK terkait pengelolaan pesisir dan laut.
Amrul Daeng Tompo, adalah pedagang pengumpul ikan dari Galesong atau biasa disebut papalele. Ia juga termasuk warga yang sangat menentang penambangan tersebut. Ia khawatir keberadaan penambangan tersebut akan berdampak drastis pada produksi ikan di daerahnya.
“Sekitar 97 persen warga di desa ini adalah nelayan, dan sebagian besarnya adalah nelayan pancing. Selama ini mereka menggantungkan hidup dari hasil nelayan, tak ada pekerjaan sampingan lain. Kalau ikan sudah tak ada lagi jangan kaget jika mereka menjadi pencuri karena tak ada lagi yang bisa mereka kerjakan,” katanya.
Area tambang pasir ini sendiri memang cukup besar, mencakup puluhan desa pesisir yang ada di Galesong, belum termasuk di perairan Tanakeke yang berada di wilayah Kecamatan Mappkasunggu.
Menurut Daeng Tompo, ada banyak dampak sampingan sebagai dampak dari tambang tersebut. Selain terjadinya kekeruhan air, abrasi pantai juga berdampak pada rusaknya ekosistem terumbu karang. Ikan-ikan pun semakin susah diperoleh. Daeng Tompo memperkirakan sekitar 20 ribu nelayan yang akan terkena dampak langsung dari adanya tambang tersebut.
“Kalau lautnya semakin dalam maka ombaknya juga akan semakin tinggi. Akan semakin sulit bagi nelayan untuk menangkap ikan sekitar sini,”tambahnya.
Menurut Asmar Exwar, Direktur Walhi Sulsel, dari awal ia sudah menduga akan adanya penambangan tersebut sebagai implikasi dari dari adanya reklamasi di pesisir Makassar.
“Ada kebutuhan sekitar 22 juta ton kubik pasir untuk reklamasi. Di sini terlihat bahwa proses penambangan di Takalar dipercepat untuk menyiapkan material dari proyek reklamasi tersebut,” katanya.
Asmar melihat, baik kasus reklamasi ataupun penambangan pasir tersebut, adalah bagian dari kesalahan perencanaan dalam konteks pengalokasian ruang dan prosedur perizinan.
“Di sisi lain hingga saat ini belum ada payung hukum untuk semua proses tersebut seperti Perda Zonasi. Zonasinya belum kelar, izin tambangnya sudah diurus.”
Asmar menilai jika kasus pertambangan ini tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan gejolak di masyarakat, apakah itu terjadi di darat ataupun di laut pasti akan ada gejolak sosialnya.
“Selain itu, terlepas dari faktor ketidakjelasan perizinan dan cantolan hukumnya, alokasi ruang dan izin ini tidak memberikan ruang yang besar bagi masyarakat untuk menerima atau tidak. Masyarakatlah yang harus didengarkan suaranya karena merekalah yang memanfaatkan lautnya. Reaksi pencegatan kapal itu menunjukkan bahwa masyarakat melawan. Kalau misalnya ini diteruskan maka akan menimbulkan gejolak sosial yang besar di masyarakat.”
Walhi Sulsel sendiri meminta kepada Pemprov Sulsel untuk menghentikan reklamasi CPI dan tak boleh menggunakan prinsip keterlanjuran, karena sudah terlanjur ada Amdalnya dan sebagainya, sehingga harus diakomodir.
“Justru menurut Walhi, baik reklamasi atau tambang pasir ini harus dihentikan, karena sudah banyak protes. Mereka harus berkaca daerah lain yang telah menghentikan proses reklamasinya. Kebijakan yang ada harus ditujukan untuk perluasan konservasi dan perlindungan masyarakat dan nelayan-nelayan kecil,” tambahnya.