Sampah makin jadi momok di laut. Tak sulit menemukan plastik dan sampah anorganik lain di pantai. Deklarasi Stop Buang Sampah ke Laut jadi simbol komitmen bersama dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup, Hari Laut Dunia dan Hari Segitiga Karang 2017 yang dihelat 6-9 Juni di sejumlah pesisir di Bali dan Lombok.
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Pemerintah Propinsi Bali, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Karangasem dan para mitra pengelolaan konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan di Bali mendeklarasikan Stop Buang Sampah Ke Laut pada peringatan Hari Lingkungan Hidup, Hari Laut Dunia dan Hari Segitiga Karang 2017 di Perairan Padang Bai, Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali (Kamis, 8/6/2017).
Deklarasi juga dilakukan di Perairan Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida, Bali (Jumat, 9/6/2017) dengan pementasan seni edukasi Wayang Samudra di Pura Ped. Selain itu juga di Pantai Ampenan, Mataram (Jumat, 9/6/2017).
(baca : Paus Sperma Itu Pun Mati karena Sampah Plastik)
Dalam siaran pers, BPSPL Denpasar menyebut Indonesia merupakan penghasil sampah nomor dua terbesar di dunia. Sampah plastik dan mikroplastik menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan laut dan keanekaragaman hayati pesisir.
Sebagian faktor penyebab pencemaran sampah plastik adalah buruknya manajemen sampah di darat dan aktivitas masyarakat di wilayah pesisir atau sampah yang berasal dari kapal. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi memberi catatan, pencegahan mengurangi produksi sampah secara terpadu harus dilakukan mulai dari rumah tangga hingga pabrik serta melibatkan banyak pihak.
Pada acara World Ocean Day tahun ini di Bali, Pemerintah Indonesia berkomitmen mengurangi 70% sampah plastik di laut pada tahun 2025. Mengurangi pemakaian sampah plastik disebut harus menjadi prioritas saat ini.
Rencana Aksi Nasional untuk mengurangi sampah plastik laut yang sudah disusun oleh Pemerintah Indonesia mendesak dilaksanakan. Pilar utama rencana aksi ini yaitu perubahan perilaku, mengurangi produksi sampah di darat, mengurangi produksi sampah dari aktivitas di laut, mengurangi produksi dan penggunaan sampah, meningkatkan mekanisme pendanaan, reformasi kebijakan dan penegakan hukum, dan pelaksanaan membutuhkan perubahan perilaku yang besar.
(baca : Bersih Laut, Mencegah Lautan agar Tak Jadi Tempat Pembuangan Sampah)
“Ikan adalah yang paling terdampak akibat sampah mikroplastik di laut. Karena berukuran sangat kecil, mikroplastik bisa termakan oleh ikan yang akhirnya dimakan manusia,” kata Suko Wardono, Kepala BPSPL Denpasar.
“Ini peringatan bagi kita semua bahwa bisa jadi populasi ikan pari manta bahkan mola-mola yang menjadi ikon Nusa Penida terancam di masa yang akan datang. Pada akhirnya minat wisatawan akan menurun,” ujar Suko.
Banyaknya inisiatif kelompok masyarakat yang merayakan hari segitiga karang 2017 ini diharap tidak hanya seremonial saja dan setelah itu berhenti. Juga menjadi gerakan masyarakat secara luas dalam mewujudkan Indonesia bebas sampah plastik di laut.
Aksi lingkungan di Bali ini juga dilakukan oleh Coral Triangle Center (CTC), Perkumpulan Penyelam Profesional Bali (P3B), Gahawisri Klungkung, Gahawisri Karangasem, Lembongan Marine Association (LMA), Nusa Dua Reef Foundation (NDRF) serta sejumlah operator selam di Bali.
Acara perayaan Hari Lingkungan Hidup dimulai dari tanggal 6 Juni berupa bersih pantai dan lomba cerdas cermat tingkat SMP se Kecamatan Nusa Penida, dilanjutkan perayaan Hari Laut Dunia 8 Juni di Padang Bai dengan acara deklarasi stop buang sampah ke laut dan bersih laut. Juga di Nusa Penida dan Nusa Lembongan berupa bersih laut dan penanaman karang. Acara puncak perayaan Hari Segitiga Karang (Coral Triangle Day) dilaksanakan di wantilan Pura Ped, Nusa Penida pada 9 Juni.
Pada puncak acara akan disampaikan pemberian piagam penghargaan oleh Bupati Klungkung kepada pemenang lomba cerdas cermat tingkat SMP se-Nusa Penida, masyarakat dan kelompok masyarakat yang aktif mendukung KKP Nusa Penida, dan para kontributor pendukung KKP Nusa Penida lainnya. Penandatanganan deklarasi Stop Buang Sampah ke Laut dan dilanjutkan dengan pementasan wayang samudera dengan pesan konservasi sumberdaya ikan khususnya ikan langka dan terancam punah dan pemanfaatan laut yang berkelanjutan.
Wayan Suwarbawa, seorang warga Nusa Lembongan yang ikut dalam sejumlah kampanye lingkungan di wilayahnya mengatakan kondisi pesisir lebih baik, misalnya warga yang mengubur karung sampah di pantai sudah tak ada. Beberapa tahun lalu tak sulit menemukan bungkusan isi sampah di kubur di sejumlah titik pesisir Lembongan. Pengalaman mengikuti kegiatan bersih pantai sebelumnya, harus membawa alat untuk menggali pasir dan menarik bungkusan sampah.
“Pemerintah desa dan desa adat melakukan kegiatan bersih lingkungan setiap bulan yang melibatkan steakholder pariwisata khususnya pemilik dan karyawannya serta anak-anak sekolah dan karang taruna setiap bulan,” tambah Suwarbawa.
Juga didirikan bank sampah sebagai media edukasi dan menampung sampah anorganik. Membumikan kelestarian suberdaya laut menurutnya sangat penting agar masyarakat peduli dengan sampah yang menyemari lautan.
Sejumlah riset soal sampah laut di Bali
Sampah terutama plastik tak hanya berbahaya bagi ekosistem laut, juga manusia. Asumsi ini mulai dibuktikan sejumlah peneliti kelautan, mulai dari mengecek jumlah mikroplastik pesisir laut Bali dan NTT sejak akhir tahun lalu. Tepatnya di sekitar perairan jalur migrasi Pari Manta yakni Nusa Penida dan Taman Nasional Pulau Komodo.
Kolaborasi peneliti dari Marine Megafauna Foundation, Universitas Murdoch, Australia, dan Universitas Udayana, Bali menyimpulkan potensi Pari Manta menelan mikroplastik berkisar 40-90 potong per jam. Dan wilayah segitiga karang dunia (coral triangle) memiliki tingkat polusi mikroplastik yang tinggi.
Riset lain terkait sampah laut dilakukan Maret-Oktober 2014, sebuah tim oleh Dr I Gede Hendrawan dan peneliti lain di Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana mengadakan survei di sepanjang Pantai Kuta (bukan di perairan) untuk mengetahui jenis sampah yang terdampar atau terdeposisi di sepanjang pantai.
Hasil survei memperlihatkan sampah yang terdeposisi di pantai Kuta didominasi sampah plastik mencapai 75%, dengan konsentrasi rata-rata sampah sebesar 0,25/meter persegi. Tim ini juga melakukan klasifikasi sumber sampah dengan metode yang dikembangkan oleh Ocean Conservancy.
“Dari jenis sampah yang telah diperoleh dapat diklasifikasikan bahwa sumber sampah yang terdapat di pantai Kuta berasal dari aktifitas di darat mencapai sekitar 52%, aktifitas laut sekitar 14%, dan aktifitas secara umum baik darat maupun laut sebesar 34%,” papar peneliti muda ini.
(baca : Terus Berulang Terjadi, Dari Mana Sampah di Pantai Kuta?)
Apakah pergerakan sampah bisa ditelusuri? Hendrawan menjelaskan pengamatan sumber sampah yang memasuki perairan laut dari aliran sungai yang berhadapan langsung dengan Selat Bali di daerah Tabanan dan Jembrana telah dilakukan selama 3 bulan dari bulan Juli-September 2014.
Kondisi sungai pada saat daerah sekitarnya hujan telah mengalirkan sampah jauh lebih banyak daripada saat kondisi tidak hujan. Sungai Ijo Gading pada bulan Juli mengalirkan sampah mencapai 3000 sampah organik/jam dan 816 sampah plastik/jam.
Sungai Tukad Penet mengalirkan paling banyak sampah organik selama pengamatan, yaitu rata-rata berjumlah 230,66 sampah organik/jam, dan Tukad Ijo Gading mengalirkan paling banyak sampah plastik, dengan rata-rata sebanyak 32 sampah plastik/jam. Sementara rata-rata jumlah sampah yang mengalir di bulan Juli pada 8 sungai yang menjadi daerah kajian mengalirkan 503,25 sampah organik/jam dan 503,25 sampah plastik/jam.
Jika dikalkulasi, rata-rata dalam sehari atau 24 jam, ada aliran sampah lebih 24 ribu unit. Jika ditumpuk mungkin menyerupai gunung. Bayangkan jika sampah ini lalu robek dan jadi serpihan terutama mikroplastik yang sangat mudah dimakan binatang laut dan meracuni ekosistem laut.