Saat Nelayan Desa Rungun Tolak Proyek Pembangunan Embung Danau Gatal

Laju perahu kelotok lamat-lamat membelah sungai Lamandau. Vegetasi pinggir sungai menjulang dalam jarak yang rapat. Beberapa dahan berdaun lebat terlihat rendah membentuk terowongan alami. Perahu pun berjalan menyusuri labirin yang dibentuk oleh dahan pohon-pohon tersebut. Sesekali suara burung terdengar bersahutan.

Sekira 45 menit melewati belokan percabangan sungai, kami tiba di Danau Gatal. Ia terhampar sangat luas. Beberapa kelotok milik masyarakat berganti papas dengan kami, untuk mencari ikan di danau tersebut. Beberapa jenis ikan diantaranya lais, baung, katulai, toman, haruan dan jenis ikan lainnya.

Namun di balik hasil tangkapan hari itu, para nelayan Danau Gatal sebenarnya dalam perasaan was-was.

“Kami kuatir akses masuk ke Danau Gatal akan sulit, karena kami dengar sungai akan dibendung. Kalau dibendung, sampan-sampan kami tak bisa lewat lagi. Saya khawatir dengan pembangunan embung, hasil ikan tangkapan saya bakal berkurang.” Gusti Hidayat, nelayan asal Desa Rungun, menjelaskan akhir bulan Mei lalu.

Ia mengaku sehari tangkapan ikannya antara 15-20 kilogram per tangkapan per hari, jumlah yang telah jauh menurun dari zaman dahulu yang bisa mencapai 100 kilogram.

“Juga kalau dibendung dan nantinya sewaktu-waktu embung itu pecah, kampung kami kena dampaknya,” lanjutnya.

Embung yang dia maksud adalah rencana pemda Kotawaringin Barat untuk pembendungan sungai sepanjang kurang lebih 600 meter yang posisinya berada persis antara sungai dan Danau Gatal. Diperkirakan butuh sepuluh ribu meter kubik material tanah untuk mewujudkannya. Dalam desain, bendungan akan berketinggian 10 meter dari dasar air.

“Tujuan pemerintah kan mau menampung air yang ada di danau itu. Nanti akan dimanfaatkan untuk penyediaan air bersih, juga untuk pariwisata. Air nantinya tak akan langsung ke sungai, kami akan bangun pintu airnya,” kata Sayuti, kontraktor pengerjaan proyek menjelaskan.

Katanya, nilai proyek pembangunan embung tersebut untuk tahun ini sebesar Rp12 milyar. Dana tersebut untuk membangun satu bendungan dan saluran masuk juga pembangunan jalan.

 

Aktivitas nelayan yang sedang mencari ikan di Danau Gatal. Foto: Indra Nugraha

 

Penolakan pembendungan sungai juga disampaikan tokoh adat Desa Rungun, Muhamad Baid. Menurut Baid warga tak setuju dengan pembangunan embung. Selain menghalangi akses ke danau, maka embung berpotensi menenggelamkan lahan-lahan warga bahkan permukiman warga.

“Kami bersikeras agar danau kami ini tetap seperti sekarang.  Karena dari 400 KK desa Rungun, mayoritas adalah nelayan pencari ikan di danau ini. Kami ingin danau gatal tetap alami seperti sekarang ini,” jelas Baid. Dia mengaku sudah menggalang menggalang tandatangan penolakan pembangunan embung yang akan diserahkan kepada Bupati dan DPRD.

Selain menghalangi akses ke danau, jelas Baid embung akan mengancam perkebunan warga, khususnya kebun sawit milik warga yang menjadi plasma dari perkebunan sawit PT BGA. Dia kuatir, jika danau dibendung, bisa membuat sekitar empat blok kebun plasma di muara danau terendam.

Meski telah memiliki kebun plasma, lanjutnya warga Desa Rungun tak dapat mengandalkan sawit sebagai satu-satunya sumber mata pencaharian.  “Hanya dapat Rp750 ribu sampai Rp1 juta per bulan”.

Jelas itu tak mencukupi untuk biaya hidup sehari-hari. Karenanya, ikan tangkapan yang berasal dari danau Gatal yang menjadi tumpuan hidup utama warga Desa Rungun.

Rohadi, ulama setempat menyebut proyek tersebut harus ditimbang baik-baik.

“Sebagai ulama amatan saya semua tergantung kemaslahatan. Kalau memberikan manfaat, keberkahan, kenyamanan ya silakan saja. Tapi kalau misalnya sebaliknya perencanaan itu akan menyengsarakan masyarakat, ya jangan,” katanya.

Menurutnya, persis di samping Danau Gatal, terdapat makam para leluhur dan ulama yang dikeramatkan oleh warga. Jumlah makan ada sekitar 20 buah. Juga ada jejak peninggalan pesantren, dimana sejarahnya keluarga Kesultanan Kotawaringin dahulu belajar disitu.

Menurutnya, jangan sampai jejak sejarah hilang karena adanya pembangunan embung. ”Mudah-mudahan pemerintah bisa memberikan penjelasan.”

 

Warga yang sedang memanjatkan doa di makam yang dikeramatkan di dekat Danau Gatal. Foto: Indra Nugraha

 

Yudi Harun, Camat Kotawaringin saat dihubungi Mongabay Indonesia melalui sambungan seluler mengatakan, ia memahami mengapa masyarakat Rungun menolak pembangunan embung tersebut.

“Kami berusaha memahami mengapa ada penolakan warga. Jadi sementara ini memang belum ada titik temu,” jelasnya.

Yudi mengatakan, pihaknya saat ini sedang berkoordinasi dengan Bupati Kotawaringin Barat yang baru. Ia menyarankan kepada Bupati untuk bisa menyelesaikan dulu permasalahan dengan warga, setelahnya bisa melangkah ke pelaksanaan proyek.

“Respon Bupati kalau ada kendala-kendala di masyarakat ya harus diselesaikan dulu. Jangan memaksakan pertimbangan teknis dan segala macamnya dengan mengatakan proyek ini diperlukan, tapi kalau melihat kondisi di lapangannya masyarakatnya menolak.  Tetap kita harus selesaikan,” ujarnya.

Ia meminta proyek pembangunan embung tersebut bisa dikaji ulang dan dikomunikasikan dengan warga mengapa sampai ada penolakan. Menurutnya, gelombang penolakan yang dilakukan oleh warga Desa Rungun cukup besar.

Yudi pun mengaku belum pernah melihat AMDAL proyek tersebut, karena itu diluar kewenangannya. “Akses saya gak sampai ke situ. Saya belum dapat gambaran secara utuh,” tuturnya.

Mardani, Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyayangkan minimnya sosialisasi proyek ini. Menurutnya, harusnya masyarakat dilibatkan sejak awal dan ada kesepakatan bersama dengan masyarakat sehingga tak ada pihak yang merasa dirugikan.

Mardani menyebut, pihak AMAN akan segera melakukan pemetaan wilayah adat di Desa Rungun.

“Rencananya komunitas adat ini akan memetakan wilayah adatnya sehingga mereka mempunyai kekuatan hukum. Selama ini pengakuan terhadap wilayah adat itu belum ada,” jelasnya.

Menurut Dani, Pemerintah wajib melindungi masyarakat adat di Desa Rungun termasuk sumber penghidupannya. Masyarakat melakukan penolakan embung bukan berarti menolak pembangunan. Tapi harus dipastikan program pembangunan yang ada tidak merusak lingkungan dan matapencaharian warga sekitar.

Mardani pun menyinggung tentang rusaknya Danau Asam, danau yang bersebelahan dengan Danau Gatal. “Seharusnya jika pemerintah mau membangun embung, prioritaskan di Danau Asam. Mengapa bukan itu yang diperbaiki? Mengapa pembangunan gak diarahkan ke sana? Jangan smapai ini jadi bencana ekologis,” ujarnya.

Padahal menurut Mardani, jika Danau Gatal tetap dipertahankan keaslian dan kelestariannya, ia sangat potensial untuk dikembangkan jadi destinasi pariwisata. Wisatawan yang datang ke Danau Gatal, selain bisa melihat keindahan alamnya, juga bisa sekaligus mempelajari adat budaya masyarakat sekitar.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,