Donald Trump, Perusahaan dan Perubahan Iklim: Pedang Bermata Dua

Keputusan Trump dan Penentangan Perusahaan

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, lewat keputusan sepihak untuk keluar dari Kesepakatan Paris—hanya didorong oleh 22 senator Partai Republik yang diketahui dibayar industri fosil sebanyak USD10 juta—telah menimbulkan gejolak yang besar. Kekecewaan dan kemarahan di satu sisi, namun juga optimisime di sisi lain. Bagaimana mungkin?

Entahlah, namun yang jelas pencarian ‘climate change’ di Google mencapai titik tertinggi yang pernah dicapai sepanjang sejarah. Protes dari masyarakat merebak, bukan hanya di AS, namun juga di berbagai belahan dunia. Media massa dibanjiri komentator yang mewakili semangat mengritisi keputusan tersebut. Para pemimpin kota dan negara bagian di AS menyatakan akan terus memegang teguh komitmennya untuk menurunkan emisi, tidak mempedulikan keputusan itu. Berbagai negara juga mengeluarkan pernyataan resminya, mulai dari menyayangkan hingga mengutuk Trump.

Tetapi yang sangat menonjol dari semua respons itu adalah yang berasal dari perusahaan. Ketika Trump naik tahta, gerakan perusahaan-perusahaan progresif sudah sangat terasa. Mereka mengirimkan pernyataan dukungan agar AS tetap berada di dalam Kesepakatan Paris. Lebih dari 900 perusahaan di AS menandatangani dukungan tersebut hingga detik-detik menjelang keputusan.

 

 

Trump tetap bergeming. Jumlah perusahaan yang begitu besar itu tak mampu mencegah climate denialism dan lobi para senator yang telah disumpal oleh industri bahan bakar fosil. Trump pun membuat pernyataan yang oleh Jeffrey Sachs dan Naomi Klein dilabel sebagai idiot. Banyak pengamat—termasuk yang berada di dunia usaha—menyatakan itu adalah keputusan terburuk yang pernah diambil oleh seorang presiden AS.

Kalau seorang penggede Wall Street seperti CEO Goldman Sachs, Lloyd Blankfein, saja mengomentari negatif keputusan Trump, lalu Elon Musk (CEO Tesla) dan Bob Iger (CEO Disney) menyatakan berhenti menjadi penasihat ekonomi Trump, jelaslah bahwa keputusan Trump itu dipandang bukan cuma buruk buat lingkungan, namun juga membahayakan ekonomi AS. Demikian juga, dalam waktu 24 jam setelah keputusan itu, banyak sekali perusahaan progresif yang mengeluarkan pernyataan resmi akan terus menghormati Kesepakatan Paris.

Yang menjadi latar belakang pernyataan perusahaan-perusahaan itu adalah kesadaran atas apa disebut sebagai new climate economy, di mana menangani perubahan iklim sesegera mungkin bukan saja diyakini lebih murah, namun juga membawa banyak peluang ekonomi baru. Keyakinan tersebut, dengan dasar ilmiah yang kokoh memang bertentangan secara diametrikal dengan apa yang diimani Trump, yaitu bahwa perubahan iklim adalah hoax belaka, yang diciptakan Tiongkok untuk membuat ekonomi AS tak kompetitif.

Trump yakin bahwa mengembalikan pekerjaan-pekerjaan di industri migas dan batubara adalah kunci kemajuan AS. Yang dia tak ketahui adalah bahwa bahwa pekerjaan yang terkait dengan energi bersih dan terbarukan di AS sudah mencapai 2,5 juta orang, yang telah jauh melampaui jumlah tenaga kerja di sektor energi fosil! Industri migas dan batubara sendiri berhadapan dengan ancaman menjadi stranded assets yang terus turun nilainya, juga gerakan divestasi, bahkan sebelum dunia menyepakati pajak karbon. Membangkitkan industri tersebut bukan saja sulit dan mahal, tetapi juga hanya akan membawa manfaat bagi segelintir orang dalam jangka pendek.

Singkatnya, banyak pengamat yang optimis bahwa seluruh perusahaan cenderung untuk berada di seberang Trump. Business backs low-carbon USA, demikian klaim banyak pihak setelah melihat respons yang muncul. Apakah ini adalah klaim yang realistis atau kelewat optimis? Juga, apakah di bagian dunia yang lain kecenderungannya sama atau berbeda dengan apa yang ditunjukkan perusahaan-perusahaan di AS?

 

Presiden terpilih Amerika Serikat yang baru, Donald Trump. Foto : AP Photo/LM Otero

 

Dua Buku, Dua Kubu

Diskusi masalah ini mengingatkan kita kepada dua buku yang berbeda posisinya terkait perusahaan dan perubahan iklim. Di tahun 2011 Hunter Lovins, sang punggawa teknologi hijau kawakan menulis buku terkenal, Climate Capitalism, bersama Boyd Cohen. Buku itu memiliki argumentasi bahwa tanpa mengubah perusahaan menjadi lebih peduli pada perubahan iklim, mendorong perubahan teknologi yang dipakai perusahaan, dan mengubah sifat dan struktur insentif bagi mereka, mustahil perubahan iklim ditangani. Buku itu juga berisikan beragam perkembangan di sisi perusahaan yang membuat optimisme pembacanya membuncah.

Tetapi optimisme seperti itu bukannya tidak ada tandingannya. Tiga tahun setelah buku Lovins dan Cohen, Naomi Klein menuliskan This Changes Everything, Capitalism vs. the Climate. Sebagai pemikir Kiri kontemporer paling berpengaruh di benua AS, Klein menyajikan analisisnya yang sangat tajam bahwa Kapitalisme-lah yang sesungguhnya merupakan biang kerok kerusakan lingkungan, termasuk perubahan iklim. Karenanya, perusahaan perlu untuk dikekang dengan regulasi dan gerakan sosial, agar kecenderungan kapitalistik dalam diri mereka bisa dikendalikan. Itu yang harus dilakukan bila umat manusia mau selamat dari perubahan iklim.

Jadi, manakah yang lebih pas untuk ditempuh? Mengarahkan perusahaan dan Kapitalisme agar bekerja untuk membereskan perubahan iklim, ataukah mengekangnya sehingga tidak menjadi kekuatan yang membuat perubahan iklim bertambah buruk dampaknya? Banyak orang mungkin akan kebingungan bila membaca kedua buku tersebut, karena sama-sama menyajikan data, analisis dan kesimpulan yang sangat meyakinkan.

Namun, yang sangat penting untuk dipahami adalah bahwa baik Lovins dan Cohen maupun Klein sama-sama memilih kasus yang bias. Lovins dan Cohen bertutur mengenai harapan yang bisa kita tuai apabila perusahaan-perusahaan cenderung pada nilai-nilai lingkungan, sosial, dan ekonomi progresif. Sementara, Klein memilih kasus-kasus di mana perusahaan bersifat tak peduli atau bahkan jahat. Sayangnya, kita memang berhadapan dengan situasi di mana majoritas perusahaan sesungguhnya adalah seperti yang dipaparkan oleh Klein.

 

Perubahan iklim dipengaruhi oleh penggunaan energi fosil. Source: eco.business.com

 

Kerangka Bisnis dan Perubahan Iklim

Mengapa demikian? Karena untuk menjadi perusahaan sebagaimana dideskripsikan Lovins dan Cohen—bukan sekadar mengutuki keputusan Trump—tidaklah mudah. Konsultan terkemuka, Ernst & Young pada tahun 2010 pernah menjelaskan apa saja yang dibutuhkan oleh perusahaan agar bisa menjadi sungguh-sungguh dalam pengelolaan perubahan iklim (lihat gambar). Secara lengkap, perusahaan harus memiliki visi, arah, tujuan, dan perencanaan; eksekusi; serta monitoring dan pengukuran.

Pada bagian visi, arah, tujuan, perencanaan, ada banyak hal yang harus dibuat oleh perusahaan. Untuk pengetahuan dasarnya, perusahaan harus mengidentifikasi terlebih dahulu seluruh business drivers dari pengelolaan perubahan iklim, termasuk di dalamnya peningkatan penghasilan, penurunan biaya, regulasi, serta ekspektasi pemangku kepentingan. Pertimbangan geografi di mana perusahaan beroperasi serta industrinya juga sangat penting. Demikian juga, pilihan teknologi yang hendak dipergunakan. Yang tak kalah pentingnya adalah baseline emisi, yang akan bisa menunjukkan kemajuan yang diperoleh dari waktu ke waktu setelah perusahaan melakukan pengelolaan perubahan iklim.

Secara internal, perusahaan perlu memiliki tata kelola yang memang memertimbangkan perubahan iklim dalam pengambilan keputusan. Rencana strategis serta tujuan pengelolaan perlu dibuat, dengan turunan program dan prosedur yang diperlukan. Di satu sisi, program harus dibuat untuk mengelola ancaman dari perubahan iklim, namun di sisi lainnya perusahaan perlu sensitif terhadap berbagai peluang yang juga hadir dari pengelolaan perubahan iklim. Akhirnya, perusahaan perlu untuk memiliki dokumen portofolio inisiatif perubahan iklim yang menjadi rujukan seluruh pihak.

Dalam bagian eksekusi, pekerjaan rumah perusahaan juga banyak. Pengembangan produk yang ramah iklim tentu salah satunya. Namun, bukan sekadar produk perusahaan saja yang perlu menjadi ramah iklim, namun juga seluruh rantai nilainya. Oleh karena itu, bagian pengadaan di dalam perusahaan harus bekerja memastikan itu, dengan cara memilih input produksi yang ramah iklim, atau memperbaiki kinerja iklim pemasoknya. Untuk bisa menjadi seperti itu, seluruh bagian di dalam perusahaan harus bekerja sama. Mulai dari operasi, keuangan, IT, pemasaran, hingga bagian kepatuhan.

Terakhir, pada bagian monitoring dan pengukuran, tentu yang pertama-tama harus diukur adalah gas rumah kaca yang diproduksi secara langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan. Secara khusus, emisi gas rumah kaca perlu untuk dilaporkan dengan standar-standar tertentu, misalnya yang sudah dibuat oleh GRI, yaitu GHG Protocol. Pilihan lainnya adalah melaporkan di dalam standar pelaporan keberlanjutan seperti yang dibuat Global Reporting Initiative. Jadi, ini bukan sekadar urusan KPI yang dibuat oleh perusahaan sendiri, karena sekarang beragam standar sudah eksis. Penting juga untuk diketahui bahwa verifikasi pihak ketiga sangatlah dianjurkan, bahkan dipersyaratkan oleh beragam standar.

 

Salah satu tambang batubara di Samarinda. Warga Kota Samarinda mengajukan gugatan perubahan iklim ke PTUN Samarinta. Foto: Jatam

 

Menjadi Lebih Realistis

 

Perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki apa yang oleh EY disebut ‘Kerangka Bisnis dan Perubahan Iklim’ itu akan bisa mengetahui secara detail ancaman dan peluang perubahan iklim apa saja yang mereka hadapi, dan bagaimana melakukan tindakan untuk meminimumkan ancaman dan memaksimumkan peluang. Risiko fisik, regulatori, pasar, dan reputasional seluruhnya akan bisa dikelola oleh perusahaan, sebagaimana yang digambarkan dalam artikel terkenal yang ditulis Nyberg dan Wright, Performative and Political: Corporate Constructions of Climate Change Risk (2015).

 

Dan, itu bukan saja terkait mitigasi, yang secara ilmu pengetahuan lebih mapan, namun juga terkait dengan adaptasi. 2015 Corporate Adaptation Survey misalnya mengungkap bahwa sebanyak 30% perusahaan-perusahaan progresif itu mengetahui secara persis apa saja dampak perubahan iklim yang sudah mengenai bisnis mereka, 67% sudah merasakan kenaikan biaya dalam operasi perusahaan karena perubahan iklim, dan 70% sudah memiliki rencana yang cukup detail untuk menanganinya. Mereka juga menegaskan bahwa adaptasi perubahan iklim juga berarti membantu masyarakat—yang menjadi konsumen, pekerja, maupun tetangga perusahaan—agar memiliki resiliensi.

Tetapi, kita harus kembali kepada realitas bahwa perusahaan-perusahaan yang digambarkan Lovins dan Cohen itu, juga yang memiliki kerangka kokoh sebagaimana digambarkan EY, sesungguhnya masih minoritas. Entah ada berapa ratus ribu atau bahkan beberapa juta perusahaan di AS, yang melakukan protes atas keputusan sepihak Trump hanyalah ratusan saja. Jadi, penting untuk diingat bahwa optimisme memang berdasar, tetapi tantangan yang dihadapi umat manusia dari perusahaan sesungguhnya jauh lebih besar. Perusahaan-perusahaan kapitalistik di seluruh dunia sebagaimana yang digambarkan Klein tidaklah memiliki segala kelengkapan sebagaimana yang digambarkan di atas.

Konsekuensinya, di samping upaya untuk memperkenalkan perusahaan-perusahaan progresif sebagai teladan yang perlu dicontoh, dan membantu perusahaan-perusahaan yang sedang memperbaiki dirinya dalam pengelolaan perubahan iklim, tindakan untuk memaksa dan memberi beragam disinsentif kepada perusahaan-perusahaan yang laggard tetap perlu dilakukan. Resep-resep Lovins dan Cohen perlu dipergunakan agar perusahaan bisa semakin tertarik mengelola perubahan iklim dengan baik; namun resep Klein juga harus ditegakkan untuk memperkecil jumlah perusahaan yang tak peduli, bahkan jahat.

Selain dukungan bagi perusahaan yang cenderung baik, gerakan sosial dan kebijakan publik dalam pengelolaan perubahan iklim masih harus digelorakan di seluruh dunia! Kiranya itu yang perlu menjadi salah satu pesan penting pada konferensi perubahan iklim (COP) mendatang. Dulu, Georges Clemenceau pernah menyatakan bahwa war is too important to be left to the generals. Kini, terkait dengan perubahan iklim, kesadaran manusia mungkin bisa dirumuskan dengan pernyataan climate change is too important to be left to the governments, or companies, or civil societies alone.

***

*Jalal, Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Ini merupakan opini penulis

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,