Pemanfaatan Zona Tradisional di Taman Nasional. Bagaimana Caranya?

Tidak bisa dipungkiri, keberadaan sebuah taman nasional tidak hanya berfungsi menjadi daerah konserasi saja, tetapi idealnya juga bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya.

Salah satunya adalah pemanfaatan Taman Nasional Bunaken (BTNB) untuk kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, untuk menyatukan persepsi dari pihak terkait, Balai Taman Nasional Bunaken (BTNB) menggelar workshop bertema “Pengembangan Kerja Sama dalam Pemanfaatan Zona Tradisional di Taman Nasional Bunaken”.

Melalui workshop itu, mereka berupaya menyatukan persepsi agar pengelolaan zona tradisional semakin baik. Sebab, terbatasnya informasi, komunikasi dan koordinasi di antara para pemangku kepentingan diduga menyebabkan perbedaan persepsi dalam memandang aturan.

(baca : Pengelolaan TN Laut Dialihkan Dari KLHK Ke KKP. Kenapa?)

 

 

Berdasarkan data Direktorat PIKA tahun 2016, dari luasan Taman Nasional yang diperkirakan mencapai 16 juta hektar, zona tradisional darat memiliki luas 564 ribu hektar. Sementar, zona tradisional perairan seluas 974 ribu hektar.

Suyanto Sukandar, Direktur Kawasan Konservasi Ditjen KSDAE KLHK dalam workshop yang digelar di Manado, Kamis (08/6/2016), dan dihadiri oleh perwakilan kelompok masyarakat, serta perwakilan instansi terkait, memaparkan setidaknya hingga tahun 2019, pemerintah menargetkan pengelolaan 100 ribu hektar Kawasan Hutan Konservasi pada zona tradisional. Pengelolaan itu nantinya dilakukan melalui kemitraan dengan masyarakat.

Suyanto menjelaskan, pada tahun 2015, eksisting kemitraan pemanfaatan zona tradisional telah dilakukan di wilayah seluas 36.850 hektar, tahun 2016 mencapai 3.531 hektar kemudian di tahun 2017 mencapai luasan 8.988 hektar.

Bentuk kegiatan dalam kemitraan atau kerjasama itu antara lain, pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), budidaya tradisional, perburuan tradisional untuk jenis yang tidak dilindungi serta pemanfaatan ikan secara terbatas.

Secara teknis, kemitraan pemanfaatan zona tradisional yang dimaksud harus memenuhi sejumlah kirteria. Pertama, terang Suyanto, kriteria lokasi. Dalam kriteria ini, zona tradisional merupakan zona yang sudah disahkan, bukan habitat atau wilayah jelajah flora dan fauna dilindungi, bukan lokasi sumber plasma nutfah. Lokasi tersebut juga tidak tumpang tindih dengan kerjasama atau perizinan lainnya.

“Kriteria kedua adalah kriteria masyarakat. Harus masyarakat setempat yang dibuktikan dengan KTP atau surat keterangan dari kepala desa setempat, mata pencaharian sangat bergantung pada hasil alam, yang dilakukan secara tradisional. Kemudian, tergabung dalam kelompok masyarakat yang bermitra dengan UPT TN atau KSDA setempat.”

(baca : Pemprov Sulut Gairahkan Pariwisata Maritim Dengan Festival Ini)

 

suasana workshop pengembangan kerjasama dan pemanfaatan zona tradisional di kawasan Taman Nasional Bunaken. Foto : Balai TN Bunaken

 

Zona atau blok tradisional, seperti tertulis dalam Permen LHK nomor P.76 tahun 2015, diartikan sebagai, “kawasan pelestarian alam yang ditetapkan sebagai areal untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat, yang secara turun temurun mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.”

Lebih lanjut, Permen tersebut mengatur sejumlah kegiatan yang bisa dilakukan, seperti perlindungan dan pengamanan, inventarisasi dan monitoring sumber daya alam hayati dan ekosistem, pembinaan habitat dan populasi dalam rangka mepertahankan keberadaan populasi hidupan liar, juga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan serta pendidikan.

Kegiatan lain yang bisa dilakukan adalah wisata alam terbatas, pemanfaatan sumber daya genetik dan plasma nutfah untuk menunjang budidaya, pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan terbatas, serta pemanfaatan potensi dan kondisi sumber daya alam oleh masyarakat secara tradisional.

 

PAAP di Taman Nasional Bunaken

Di Taman Nasional Bunaken, pemanfaatan zona tradisional dilakukan melalui Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP). Pemanfaatan tersebut merupakan kombinasi antara area tangkapan ikan dan area tabungan ikan. Diyakini, dengan melakukan preservasi, sumber daya perikanan akan selalu terjaga.

“Adapun kepatuhan segenap warga nelayan dalam menjalankan implementasi kelola perikanan sangat diperlukan manakala overfishing tersebut terjadi. Patuh dalam hal pembatasan alat tangkap, waktu menangkap ikan dan pengawasan lapangan,” terang Ari Subiantoro, kepala Balai Taman Nasional Bunaken (TNB).

 

Perahu nelayan di Teluk Manado memeriahkan Festival Pesona Bunaken. Foto :Themmy Doaly

 

Menurutnya, konservasi alam merupakan salah satu upaya strategis pembangunan nasional di sektor lingkungan hidup, perikanan dan kelautan. Selain itu, desentralisasi pengelolaan kawasan konservasi adalan tuntutan yang mendasar.

“Secara teoritis, pemanfaatan di zona tradisional merupakan salah satu bentuk desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konsevasi, khususnya pengelolaan Taman Nasional.”

Ari mengatakan, dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup, ketergantungan masyarakat pada kawasan Taman Nasional Bunaken terbilang tinggi.

Namun, meski telah diakomodir dalam zona tradisional seluas 10.460,69 ha, namun terkadang timbul perbedaan persepsi dalam menyikapi aturan. Dia menduga, penyebabnya adalah perbedaan persepsi dalam memandang aturan.

Masyarakat setempat diberi kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya di zona tradisional dengan menggunakan aturan yang berlaku di kawasan Taman Nasional. Serta, sesuai dengan pengetahuan ekologi atau kearifan lokal yang mereka miliki,” tambah Ari Subiantoro.

Taman Nasional Bunaken merupakan kawasan pelestarian alam berbasis perairan. Luasnya diperkirakan mencapai 89.065 hektar. Sampai tahun 2015, menurut catatan BTNB, di sekitar maupun di dalam kawasan tersebut, terdapat 25 desa, dan menjadi rumah bagi 35 ribu penduduk.

Dari total luasan itu, terdapat sejumlah zona di antaranya, zona inti (1.077,60 ha), zona rimba (1.528,32 ha), zona rehabilitasi (142,90 ha), zona pemanfaatan pariwisata (1.233,43 ha), zona pemanfaatan umum (72.279,77 ha), zona tradisional (10.460,69 ha), serta zona khusus daratan (2.342,29 ha).

Arifin Konteng, perwakilan KSM Cahaya Tatapaan mengatakan, zona tradisional yang pengelolaannya melibatkan kelompok nelayan memiliki luas keseluruhan 163 ha dan 32,5 ha.

Menurut Arifin, keterlibatan mereka dalam pengelolaan taman nasional Bunaken dilakukan untuk mewujudkan visi “Ikan Tetap Ada”. Untuk mecapainya, mereka melakukan pencatatan ikan tangkapan dengan menggunakan alat ukur dan timbangan, melibatkan diri dalam pengawasan, serta mengadakan pendidikan lingkungan hidup dan konservasi.

Berdasarkan hasil pencatatan KSM Cahaya Tatapaan, selama tahun 2016, sekali melaut mereka bisa memperoleh ikan antara 20 hingga 50 kg, dengan kisaran pendapat antara Rp25 ribu sampai Rp45 ribu.

Arifin berharap, ke depannya, kelompok mendapat program-program peningkatan kapasitas, contohnya pelatihan administrasi. Mereka juga meminta perhatian pemerintah dalam mengawasi dan mengoptimalkan bantuan alat tangkap perikanan.

“Kurangnya perhatian pemerintah dan program yang tidak tepat sasaran, bisa menyebabkan perpecahan dalam kelompok,” terangnya.

Dalam workshop tersebut, otoritas Balai Taman Nasional Bunaken menandatangani kesepahaman bersama KSM Cahaya Tatapaan.

 

Penandatangan kesepahaman untuk mengelola zona tradisional antara Balai TN Bunaken dgn kelompok masyarakat Cahaya Tatapaan. Foto : Balai TN Bunaken

 

Disepakati, KSM Cahaya Tatapaan akan membantu mengawasi perairan di zona tradisional dan tidak menggunakan alat tangkap yang merusak. Kelompok juga akan mencatat ikan tangkapan untuk mengetahui indikator perairan, terutama terjadi atau tidaknya overfishing.

Pada lain pihak, Balai Taman Nasional Bunaken berkomitmen mendampingi dan meningkatkan kapasitas kelembagaan dan administrasi. Serta, memfasilitasi pengembangan sumber daya manusia.

 

Sinkronisasi Lintas Lembaga

Johny Tasirin, staf khusus Gubernur Sulawesi Utara mengatakan, pembangunan nasional saat ini mengarah secara nyata ke bagian timur, dan menempatkan Sulawesi Utara sebagai gerbang Indonesia ke pasifik.

Karena itu, dia berharap, adanya sinkronisasi lintas lembaga untuk menjamin produksi yang berkelanjutan, berbasis kerakyataan dengan risiko bencana yang terprediksi. Sinkronisasi itu juga perlu memfasilitasi pakar dan praktisi dalam sebuah lokakarya yang secara komperhensif dan serius mengkaji setiap bentangan dengan nilai ekologi penting.

Kemudian, menghasilkan rekomendasi pembangunan yang konkrit, dan disusun berdasarkan skala prioritas yang tegas. “(Perlu juga) mendorong keterlibatan para pemangku kepentingan untuk menarik dana pihak ketiga, bagi pembangunan kawasan berfungsi lindung.”

“Diharapkan, lewat sinkronisasi itu, seluruh stakeholder memanfaatkan kekayaan alam hayati dengan usaha-usaha yang membina pelestarian dan kelestarian sumber daya hayati,” pungkas Johny.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,