Bagaimana Mengelola Usaha Tambang di Pulau Bali?

Usaha pertambangan di Bali yang sebelumnya illegal bisa mengurus izinnya setelah Perda tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral bukan Logam dan Batuan disahkan DPRD Bali pada Senin (29/05/2017) lalu. Bagaimana pemerintah akan mengelola usaha tambang di pulau kecil mengandalkan pariwisata alam seperti Bali? Apakah dampak lingkungan akibat usaha tambang sudah ditimbang?

Hal ini menjadi fokus pembahasan dalam Diskusi Lingkungan Mongabay Indonesia dihelat Jumat (09/6/2017) di Denpasar. Berkolaborasi dengan portal jurnalisme warga Balebengong.net dan sebuah NGO, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Udayana Bali.

Empat pembahas adalah Ketua Pansus Ranperda DPRD Bali, Ida Bagus Udiyana, Kepala Seksi Pertambangan Dinas Tenaga Kerja dan Energi Sumber Daya Mineral (Disnaker dan ESDM) I Nyoman Wiratmo Juniartha, Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Udayana, I Made Sudarma, dan Gede Sugiarta, Yayasan IDEP.

Perda ini juga mendapat kritik dan masukan dari sejumlah praktisi dan aktivis lingkungan yang hadir. Misalnya apakah Perda ini dibuat dengan memastikan sinkronisasi dengan regulasi terkait tata ruang dan dampak lingkungan yang akan muncul.

Perda ini sedang dikonsultasikan di Kementrian Dalam Negeri terkait sinkronisasi regulasi serta pengurusan administrasi hukumnya. Perda ini inisiatif Pemerintah Provinsi Bali dan sudah disiapkan rancangan Peraturan Gubernurnya.

Ketua Pansus Ranperda Pertambangan DPRD Bali, I.B. Udiyana mengatakan permintaan akan bahan tambang galian C seperti batuan dan pasir untuk pembangunan di Bali sangat tinggi karena itu harus dikelola. Pemprov Bali memiliki kewenangan untuk menetapkan wilayah ijin usaha pertambangan (WIUP) mineral bukan logam dan batuan dalam satu daerah provinsi dan wilayah laut sampai dengan 12 mil. Juga berwenang menerbitkan Ijin Usaha Pertambangan (IUP), Ijin Pertambangan Rakyat (IPR), Ijin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP), serta menetapkan harga patokan mineral bukan logam dan batuan.

 

Diskusi lingkungan Mongabay Indonesia tentang Perda Pengelolaan Penambangan di Bali dihadiri Ketua Pansus Perda DPRD Bali, wakil Pemprov dari Disnaker dan ESDM, PPLH Unud, Yayasan IDEP, dan sejumlah aktivis lingkungan seperti CI Indonesia, Walhi Bali, dan lainnya. Foto : Anton Muhajir

 

Perda ini ada karena perubahan kewenangan seiring terbitnya UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dari kabupaten ke provinsi. Untuk tambang, jenis usahanya di Bali adalah batuan dan mineral bukan logam. Istilah populernya Galian C.

Perda ini kontradiktif dengan Perda RTRW Karangasem yang mensyaratkan penambangan tak boleh melebihi 500 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan alasan banyak tempat suci di pegunungan, menjaga mata air, dan lainnya. Sementara di Perda ini tak mengatur ketinggian.

Udiyana menyebut tak ada ketentuan hukum yang mengatur batas ketinggian topografi. “Antara limestone di Badung dan Karangsem beda sehingga tak mencantumkan ketinggian,” ujarnya. Yang diatur normatif, masalah izin dominan. Petunjuk pelaksana dan teknisnya akan diatur di Pergub.

Untuk mengurangi kekhawatiran Karangasem soal tak ada batas ketinggian, Udiyana menambahkan dari proses ijin eksplorasi, operasi produksi, dan lainnya akan dinilai dari izin lingkungan oleh kabupaten. “Izin pemanfaatan ruang tak serta merta bisa keluar tanpa kajian layak. Itu filternya,” elaknya. Provinsi disebut tak akan mengobral izin.

I Nyoman Wiratmo dari Disnaker dan ESDM Provinsi Bali menyebut inisiatif Perda ini dari Pemprov agar ada payung hukum. “Mineral bukan logam sering bentrok dengan lingkungan, sering muncul kejadian merusak lingkungan kita,” katanya. Sudah ada Pergub tentang tambang namun menurutnya ada sedikit kekurangan, yakni tak bisa memberikan sanksi hanya pelayanan izin.

Izin Pertambangan Rakyat akan diberikan untuk skala kecil dan tak menggunakan bahan peledak. Kemudian diatur juga tentang jaminan reklamasi. “Jaminan reklamasi ditaruh di bank. Akan dicairkan dengan bunganya ke pengusaha tambang kecuali tidak bisa maka uangnya digunakan (untuk reklamasi),” jelas Wiratmo.

 

foto diskusi perda tambang: Diskusi lingkungan Mongabay Indonesia tentang Perda Pengelolaan Penambangan di Bali dihadiri Ketua Pansus Perda DPRD Bali, wakil Pemprov dari Disnaker dan ESDM, PPLH Unud, Yayasan IDEP, dan sejumlah aktivis lingkungan seperti CI Indonesia, Walhi Bali, dan lainnya. Foto : Anton Muhajir

 

I Wayan Sudarma dari PPLH Unud mengingatkan Perda ini rohnya harus penyelamatan lingkungan. “Idealnya tetap menjaga tapi dalam implementasi tak mudah,” ingatnya. Ia berharap ada penyederhanaan izin tapi memastikan tak menyalahi tata ruang wilayah. Kritik lainnya pada Perda ini, kenapa judulnya pengelolaan tapi lebih fokus pada izin.

Ia juga memberi catatan soal mekanisme reklamasi pasca tambang. “Membentuk kubangan jika ditinggalkan akan berisiko, apakah ditetapkan sumber bahan baku untuk reklamasi? Ini perlu kajian lingkungan lagi. Agar tak memindahkan masalah,” paparnya.

Gede Sugiartha dari Yayasan IDEP sudah setahun mendokumentasikan dan memetakan masalah serta tawaran solusi untuk mengurangi penambangan illegal batu paras di aliran Tukad Petanu, Kemenuh, Sukawati, Gianyar. Ia menyebut ada sejumlah dampak lingkungan yang muncul. Misalnya sedimentasi dan kualitas air akibat pembuangan limbah tambang ke sungai. “Keselamatan kerja rentan, banyak meninggal. Kena mesin dan kecelakaan,” katanya memprihatinkan kondisi para pekerja.

Walau area tambang yang disewakan pemilik tanah terlihat kecil, rata-rata 1-2 are menurut perhitungannya ini bukan bisnis kecil. Nilainya menggiurkan, sampai milyaran sehingga makin banyak peminat sementara pengendalian dan tata kelola pemerintah tak ada.

Dampak lain yang sudah terjadi lainnya adalah saluran irigasi jebol akibat penambangan tebing sungai, muncul konflik dengan kelompok subak karena lahan pertanian jadi kering. Lalu terjadi alih fungsi lahan pertanian karena sulit air. Kisah penambangan di Kemenuh ini pernah ditulis di Mongabay dalam tiga seri artikel.

“Sejauh ini bagaimana pemerintah memantau penambangan seperti ini? Secara teknis bagaimana?” tanyanya. IDEP menawarkan sejumlah solusi, misalnya pemanfaatan limbah tambang, potongan tak terpakai dirakit jadi paras untuk mengalihkan penambangan baru.

 

Buruh angkut paras harus cukup berani melewati medan cukup berat dengan beban di kepala di Tukad (sungai) Petanu di Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali. Foto Luh De Suriyani

 

Made Sara, Sekretaris PPLH Unud mengingatkan daerah pertambangan biasanya milik negara, namun di Bali kebanyakan lahan milik masyarakat. Bagaimana ini akan dikendalikan misalnya terkait masalah lingkungan yang akan muncul.

Ngurah Karyadi, aktivis hak asasi manusia di Bali berargumentasi pendekatan hukum tak mempan, karena kerap berurusan dengan orang kuat. “Saya pikir bisa lewat budaya atau kultural, misal di daerah tambang tengetin tongose (jadikan tempat sakral),” serunya. Jika menggunakan penegakan hukum tak hanya Pergub juga Peraturan desa agar daya tekannya lebih mengakar.

Made Iwan Dewantama dari Conservation International Indonesia mengingatkan UU 23/2014 yang beri kewenangan provinsi harusnya dijadikan momentum semangat mengelola lebih baik. “Terkait sarana, dokumen, personil, persoalan tambang dan laut sangat krusial. Saya yakin UU 23 sangat tepat untuk Bali. Sangat ironi jika menghancurkan Bali,” katanya. Ia bertanya apakah pemerintah dan DPRD tahu data tambang di Bali. Harapannya bisa lebih tegas mengatur agar korupsi tak pindah ke provinsi. “Semua izin harus terdeteksi sehingga bisa dikontrol. Siapa yang punya tambang ini? Berani nggak?” pancingnya agar tak hanya keras pada penambangan skala kecil.

Iwan menyebut pemerintah harus berhati-hati mengeluarkan Perda ini. “Saya pernah ke Kalteng, izin tambang kalau dikumpulkan lebih luas dari wilayah Kalteng,” sebutnya. Ia juga mengutip sebuah riset pada 2012, ada pola menunjukkan izin tambang muncul banyak saat Pilkada.

“Ini bisnis besar dan dampaknya lebih besar. Ke depan alam makin marah karena perubahan iklim. Ke depan intensitas curah hujan makin tinggi. Tak bisa cegah, bagaimana beradaptasi agar pertambangan bisa ditekan,” urainya.

 

Seorang tukang tambang sedang memotong batu paras di tebing Tukad Petanu di Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali, yang kualiatasnya cukup tinggi. Foto Anton Muhajir

 

Contoh bagus menurutnya ada di sebuah kabupaten di Raja Ampat pada 2005. Izin tambang banyak dikeluarkan karena potensi besar bauksit, nikel, dan tembaga. Kemudian ada yang memberikan kesadaran konservasi perairan sehingga semua izin tambang dilepas karena pengelolaan limbahnya akan lebih berat.

Suriadi Darmoko, Direktur Eksekutif Walhi Bali mengatakan Pemprov tak serius mengelola wilayah pesisir dan tambang. Misalnya pentingnya pentingnya Perda RTRWP dalam konsideran dan memastikan peta wilayah pertambangan. “Nanti serampangan nambang sana sini. Pulau ini harus dihitung daya dukung dan tampungya,” ujarnya.

Udiyana menyambut masukan terkait pertimbangan lingkungan ini dan akan mendiskusikannya karena tanggung jawab sebagai ketua Pansus. Perda ini memang diarahkan ke upaya proteksi agar usaha tambang tak ada di ruang abu-abu, banyak yang liar dan timbul kecemburuan. Karena itu Perda ini cepat diketok palu. “Dilematis juga saat pelarangan tambang illegal karena supply dan demand tinggi,” urainya.

Contohnya di Kintamani, walau statusnya sudah warisan dunia Geopark masih ada aktivitas penambangan. Dalam Perda diatur sanksi pidana, penjara 6 bulan dan denda 50 juta. Lebih ringan dari UU tentang pertambangan yakni 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar.

Arya Ganaris yang memantau aktivitas penambangan batu paras di Tukad Petanu bersama IDEP meminta kepastian bagaimana pemerintah mengelola tambang yang sudah ada. Ia khawatir Perda ini tak berlaku surut. Walau area tambang diklaim milik pribadi menurutnya sempadan sungai adalah kawasan pemerintah.

Wiratmo mengakui di tempat penambangan lain seperti Kelating, Tabanan juga sudah menelan jiwa. “Mereka pernah mengurus izin, tapi masalah administrasi pemanfaatan ruang karena bukan kawasan tambang dan izin lingkungan, kecuali kabupaten mau melonggarkan izin,” katanya.

Solusi menurutnya izin penambangan rakyat dan bupati harus menetapkan wilayah penambangan rakyat. Penambangan rakyat ini menurutnya tanpa melakukan alat mekanis, tak sporadis, dan bentuknya terasering.

Ada 5 pemohon penambangan rakyat di Tukad Petanu, Kemenuh tapi terhadang persyaratan izin juga. “Kami tak punya kewenangan jika tak berizin. Setelah diundangkan Perda ini nanti, Satpol PP yang melakukan penertiban,” katanya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,