Mengapa Tanggung Jawab Mutlak dan Kearifan Lokal Penting dalam UU Lingkungan? Berikut Pendapat Para Pakar

 

 

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengajukan uji materi UU Lingkungan Hidup dan UU Kehutanan, dan pada Senin, (12/6/17), mereka mencabut gugatan di Mahkamah Konstitusi.

Pasal-pasal gugatan mereka merupakan poin penting bagi pemerintah menghukum perusahaan pembakar hutan yakni pengujian Pasal 69 ayat (1) dan (2), Pasal 88, Pasal 99 UU Nomor 32/2009 juncto Pasal 49 UU Nomor 41/1999.

Merespon itu, para pengajar hukum lingkungan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta tegas menyatakan, gugatan akan merusak tatanan penegakan hukum lingkungan di Indonesia.

Baca juga: Akhiri-Gugatan APHI-GAPKI Cabut Uji Materi UU Lingkungan

Harry Supriyono, Ketua Departeman Hukum Lingkungan UGM, mengatakan, dari awal keliru jika pasal-pasal penting digugat. UUD 1945 menyatakan, lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia, seperti tercantum di Pasal 28H ayat 1.

Peraturan tentang Lingkungan Hidup, katanya,  mengalami dinamika sejak 1982. Ia satu instrumen dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan.

Karakteristik lingkungan dinamis dan kompleks, dan pengaturan lingkungan, katanya, disusun mempertimbangkan berbagai aspek guna jadi kerangka pengaturan memayungi pengelolaan lingkungan di Indonesia. Termasuk, ketentuan memperhatikan kearifan lokal sebagai bentuk pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat seperti diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (1).

Baca juga: Panas dengan Hukum Kebakaran Huran, Asosiasi Pengusaha Kayu dan Sawit Gugat UU Lingkungan

Kearifan lokal,  katanya, merupakan nilai kebersamaan masyarakat nusantara dalam waktu lama dan dilestarikan turun temurun antargenerasi. Keutuhan nilai kearifan lokal, katanya, wajib terjaga harmonis, tanpa dipertentangkan dengan ketidakarifan nasional maupun global yang sarat kepentingan politik dan kapital.

Dia contohkan, kearifan lokal seperti nataki, pembukaan lahan dengan membakar lahan yang dipraktikkan turun temurun pada masyarakat adat Dayak dan lain, perlu terakomodir sungguh-sungguh agar sejalan dengan semangat perlindungan dan pengelolaan lingkungan.

Totok Dwi Diantoro, pakar hukum Lingkungan UGM mengatakan, UUPPLH wujud pengakuan dan jaminan perlindungan hukum bagi warga dalam mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan bersih. Ia bagian dari HAM.

Ketentuan tanggung jawab mutlak (strict liability), katanya, berfungsi melindungi warga negara atas risiko serius atau ancaman bahaya dari aktivitas usaha dan kegiatan.

Perkembangan strict liability, dimulai sejak 1868 pada putusan kasus Rylands v. Fletcher di Inggris, berdasarkan isu sulitnya pembuktian perkara lingkungan maupun karakter lingkungan yang sulit diprediksi.

Pada kepentingan ini, konsep strict liability diawali dari burden-shifting doctrine (membebaskan penggugat dari beban pembuktian). Fakta-fakta suatu berbahaya, dampak negatif atau kerugian suatu aktivitas lingkungan yang terjadi, merupakan bukti cukup atas pelanggaran kewajiban hukum tergugat (res ipsa loquitur).

 

Penegakan hukum lingkungan, malah harus terus ditingkatkan, bukan sebaliknya dilemahkan, salah satu lewat ingin mengubah soal tanggung jawab mutlak dalam UU Lingkungan. Foto: Sapariah Saturi

 

Pertanggungjawaban berbasis strict liability dilekatkan pada suatu sifat aktivitas usaha atau kegiatan sangat berbahaya (extra-hazardous) maupun memiliki risiko serius terhadap manusia dan lingkungan. Strict liability, dimaknai pertanggungjawaban hukum melekat pada sifat dari suatu aktivitas usaha dan atau kegiatan, yang akan timbul seketika saat terjadi perbuatan, tanpa mempersoalkan terlebih dahulu kesalahan tergugat.

“Tanggung jawab dari tergugatlah membuktikan apakah dia semestinya bertanggungjawab atau tidak atas suatu bahaya atau kerugian terjadi,” ucap Totok.

Pengalihan beban tanggung jawab pada tergugat, katanya, jadi perlindungan hukum bagi tergugat, karena memiliki kebebasan menyampaikan bukti mengenai penaatan hukum atau upaya pencegahan. Kala penaatan hukum telah dilakukan, bahaya atau kerugian tak akan terjadi atau dapat  dicegah.

Dia bilang, dalam banyak kasus, pemanfaatan sumber daya alam (SDA), tergugat lebih mengetahui aktivitas usaha dan kegiatan beserta risiko bahaya. Diapun usulkan perlu mendorong segera pengaturan asuransi lingkungan sebagai bagian dari instrumen ekonomi lingkungan.

Pengajar hukum lingkungan lain, Agung Wardhana, mengatakan, dari aspek peristilahan “tanggung jawab mutlak” secara teoritikal tak tepat menterjemahkan strict liability.

Diksi “mutlak” lebih condong ke istilah Bahasa Inggris absolute daripada strict. Dalam absolute liability dilekatkan pada kewajiban atau tanggung jawab mengganti kerugian penuh atau mutlak tanpa batasan nilai ganti  kerugian dan tanpa ada pengalihan beban pembuktian.

Sedang strict liability,  yakni tanggung jawab dilekatkan berdasarkan sifat berbahaya atau risiko kegiatan, dan dengan beban pembuktian terbalik.

Pendapat Prof St. Munadjat Danusaputro menyebut strict liability sebagai tanggung jawab langsung dan seketika, lebih tepat dilekatkan pada pemahaman strict liability.

“Menjadi kemunduran hukum, ketika ketentuan strict liability dikerdilkan pemahamannya, menyamakan dengan konsep pertanggung-jawaban hukum pada umumnya ,” kata Agung.

Konsep strict liability, katanya merupakan doktrin pertanggungjawaban berlaku universal dan telah diterima oleh komunitas internasional beradab. Dengan melihat dinamika pemanfaatan lingkungan dan SDA yang makin kompleks, mempunyai risiko besar terhadap ekologi dan sosial.

“Pasal ini harus dikuatkan, bukan dipermasalahkan seolah bertentangan.”

Herdiansyah Hamzah, pengajar Universitas Mulawarman Samarinda mengatakan, sudah kewajiban konstitusional negara memberikan perlindungan hak atas lingkungan sehat dan bersih.

Negara, menjamin pemanfaatan SDA tetapi mencegah pemanfaatan yang menimbulkan pencemaran dan perusakan lingkungan. Dia bilang, negara tak boleh membiarkan praktik distribusi risiko lingkungan atas penggunaan SDA pada kelompok rentan terutama masyarakat lokal.

Prinsip tanggung jawab mutlak, katanya, berlaku pada kegiatan sangat berbahaya dan dirumuskan berdasarkan hasil perhitungan teknis ilmiah dan moral. Perhitungan ini berdasarkan empirik, kegiatan menghasilkan limbah berbahaya dan beracun hingga mengancam keselamatan manusia dan lingkungan.

Secara moral, korban berasal dari pihak tak mampu mengenali bahaya dan proses membuktikan kesalahan pelaku. Atas pertimbangan ini, sepatutnya prinsip strict liability, dipertahankan bahkan perlu lebih optimal dalam penegakan hukum lingkungan negeri.

“Negara harus lebih kuat menghadapi praktik penggunaan SDA eksploitatif dan merusak. Prinsip strict liability dipertahankan, bukti keberpihakan negara pada korban dan lingkungan di Indonesia.”

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,