Aksi penolakan masyarakat Galesong Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, terhadap penambangan pasir di perairan mereka terus berlanjut. Memanfaatkan momentum peringatan World Ocean Day, sekitar 1000-an orang melakukan aksi unjuk rasa di pintu masuk kawasan Centerpoint of Indonesia (CPI) Makassar, yang sementara dalam proses pembangunan, pada Minggu (11/6/2017).
Aksi unjuk rasa ini dimulai sekitar pukul 07.30, dimulai setelah sekitar 100-an perahu tradisional jolloro mulai berdatangan ke Pantai Losari. Mereka berangkat dari pukul 06.00 dari Kampung Beru, Galesong Utara. Tidak hanya melalui laut, mereka juga datang mengendarai mobil dan motor dengan titik kumpul di pintu masuk kawasan CPI.
Hujan rintik-rintik tak menghalangi niat mereka berunjuk rasa. Perahu-perahu yang berdatangan mulai membentuk formasi sambil membentangkan spanduk panjang menolak penambangan pasir tersebut. Mereka naik ke darat bersama pengunjuk rasa lain yang telah terlebih dahulu tiba mengendarai mobil dan motor.
Aksi mulai memanas ketika pengunjuk rasa mulai semaki banyak. Sesekali terdengar teriakan ‘bakar’ yang kemudian diikuti oleh yang lainnya.
Cuplis Mappasomba, salah seorang pengunjuk rasa mengambil mikrofon dan berteriak lantang, “Pemerintah, jangan paksa kami menjadi teroris!”, yang diikuti teriakan pengunjuk rasa “Betuul”.
Pernyataan ‘teroris’ini terkait ancaman warga Galesong yang akan membakar setiap kapal penyedot pasir yang akan di perairan mereka. Ancaman dianggap tidak main-main. Mereka bahkan mengakui mudah saja memperoleh bom ikan yang bisa digunakan untuk menghancurkan setiap kapal penyedot pasir yang beraktivitas di perairan mereka.
Daeng Tobo, salah seorang warga Desa Tamalate, Kecamatan Galesong Utara, mengungkapkan kegeramannya atas penambangan pasir tersebut. Menurutnya, aksi uniuk rasa ini adalah aksi terakhir secara damai. Jika saja perusahaan tidak mengindahkan tuntutan tersebut maka mereka tidak menjamin keselamatan kapal yang akan datang menambang di kemudian hari.
“Kita menuntut agar pemerintah mencabut izin prinsip penambangan itu. Hentikan segera penambangan jika tak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kalau kami dapat kapal mengeruk maka mungkin akan terjadi aksi anarkis,” ungkapnya.
Amrul Daeng Nompo, warga Galesong Utara lainnya juga menyayangkan penambangan itu, yang dilakukan secara diam-diam. Belakangan mereka mengetahui ada sosialisasi namun hanya melibatkan orang-orang tertentu yang dekat dengan kepala desa setempat.
“Makanya kita kaget tiba-tiba air laut sudah keruh, tangkapan ikan kurang, ternyata sudah ada penambangan diam-diam dari perusahaan,” ujarnya.
Nurlinda Taco dari Forum Informasi dan Komunikasi Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Takalar, menyatakan aksi dengan memanfaatkan momentum World Oceans Day yang diperingati setiap tangal 8 Juni ini memiliki makna tersendiri.
“Ini adalah bentuk kekhawatiran kami yang hidup di pesisir bahwa laut dan pesisir kita terancam kerusakan dan kehancuran yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah Sulsel yang pro terhadap eksploitasi laut melalui reklamasi dan penambangan pasir,”ungkapnya.
Tujuan utama aksi ini sendiri, menurutnya, menuntut perusahaan untuk segera menghentikan penambangan pasir di perairan Galesong karena telah mengancam ekosistem laut dan pesisir serta menganggu aktivis ekonomi masyarakat nelayan.
“Reklamasi dan penambangan pasir laut akan sangat berpotensi mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir lau dan pulau-pulau kecil. Akan memicu banjir rob ke daerah pemukiman warga, merubah pola arus laut dan menambah persentasi kerusakan terumbu karang hingga 60 persen dan merusak pesisir Takalar,” tambahnya.
Nurlinda selanjutnya menyampaikan tuntutan dari aliansi yang terdiri dari Aliansi Masyarakat Takalar, Aliansi Selamatkan Pesisir Makassar, Walhi Sulsel dan FIK KSM Takalar.
“Pertama kita jelas menuntut agar segera hentikan penambangan pesisir laut di Kabupaten Takalar.”
Tuntuntan kedua, hentikan proyek CPI dan reklamasi oleh private sector lainnya di Kota Makassar. Ketiga, stop pengerukan pasir putih di Pulau Gusung Tangayya.
Keempat, hentikan pembangunan energi kotor PLTU yang mencemari pesisir laut. Kelima, pulihkan lingkungan pesisir dan laut. Dan keenam adalah jaga laut kita.
Dalam aksi ini juga diserukan tentang RZWP3K yang kini tengah dalam pembahasan di Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta.
“Kita minta agar finalisasi draft RZWP3K Sulsel ditunda dan dilakukan kembali pembahasannya bersama masyarakat secara lebih luas,” ungkap Gassing Rapi dari Forum Masyarakat Pesisir dan Nelayan Galesong Raya (Formasi Negara).
Tuntutan lainnya adalah agar pasal-pasal yang bermasalah, seperti poin-poin yang terkait reklamasi dan pasir laut ditinjau ulang serta meninjau ulang alokasi ruang untuk semua rencana zonasi.
Dipermasalahkan juga komposisi alokasi ruang dalam draft RZWP3K yang sebagian besar justru lebih diarahkan untuk kepentingan investasi. Dari luas lautan Sulsel 94.399,85 km2, luas wilayah untuk pertambangan pasir mencapai 67.208,89 km2, sangat besar dibanding zona lindung yang hanya 8 km2 dan konservasi perairan hanya sebesar 2.156,27 km2. Untuk zona budidaya laut jumlahnya juga kecil, yaitu hanya 7.490,72 km2, zona konservasi PPK 1.079,99 km2 dan untuk penggaraman 2,75 km2.
Menurut Nurlinda, dari komposisi alokasi ruang RZWP3K terlihat jelas bahwa rencana zonasi lebih diarahkan sebagai payung kebijakan pesisir yang eksploitatif dibandingkan sebagai fungsi perlindungan dan pengelolaan kawasan yang berkelanjutan.
“Alokasi ruang pertambangan yang sangat besar merupakan ancaman terhadap pesisir dan laut Sulsel. Di sisi lain alokasi ruang konservasi sangat minim. Terdapat ketidakjelasan wilayah-wilayah kelola masyarakat dalam zona budidaya,” katanya.
Terkait aksi ini, Nurlinda menilai wajar dilakukan karena kekhawatiran masyarakat akan dampak penambangan pasir yang akan berlangsungan hidup nelayan. Akan ada sekitar 20 ribuan nelayan dari belasan desa yang akan terkena dampak langsung dari penambangan tersebut.
Aksi ini sempat memacetkan jalan menuju kawasan Tanjung Bunga. Beberapa kali warga sempat terprovokasi untuk melakukan aksi anarkis namun oleh kordinator aksi diingatkan untuk tetap tenang dan tak terprovokasi
“Aksi kita ini aksi damai jangan sampai terprovokasi, waspadai ada penyusup yang akan menodai perjuangan kita,” terdengar berkali-kali dari mikorofon mencoba menenangkan pengunjuk rasa.
Sejumlah mahasiswa dari Persatuan Mahasiswa Takalar (Permata) juga melakukan aksi teaterikal, yang menggambarkan bagaimana pihak perusahaan masuk dan mencoba menyogok warga, namun kemudian ditolak mentah-mentah. Lalu digambarkan juga warga terpaksa bernafas menggunakan slang terkapar tak berdaya. Di akhir aksi dua replika kapal yang tertulis ‘Boskalis’ dibakar, yang diiringi teriakan warga yang berkerumun ‘bakar, bakar’.
Kapoltabes Makassar, Kombes Polisi Endi Sutendi sendiri baru datang sekitar dua jam kemudian. Setelah diadakan negosiasi ia berjanji memfasilitasi untuk berdialog dengan pihak CPI.
Beberapa petugas kepolisian terlihat hanya berjaga-jaga, tidak mengambil sikap konfrontatif atau menghalangi peserta aksi, termasuk sejumlah satpam CPI yang terlihat tenang dan membiarkan pengunjuk rasa berkeliaran di sekitar kawasan tersebut.
Setelah sekitar 3 jam, pengunjuk rasa mulai merengsek masuk ke dalam kawasan CPI untuk melakukan ‘penyegelan’ dan menyampaikan tuntutan tertulis kepada pihak CPI.
Yusran, mewakili pihak CPI, di depan pengunjuk rasa dan Kapoltabes Makassar, berjanji akan menyampaikan tuntutan warga tersebut ke atasannya secepat mungkin. Ia juga berterima kasih karena aksi tersebut dilakukan dengan damai dan tak anarkis.
Pengunjuk rasa yang diwakili Muhammad Ali Daeng Mangung, tokoh masyarakat Galesong, kembali menegaskan agar pihak CPI tidak lagi melakukan penambangan pasir di kawasan Galesong dan Sanrobone, baik secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi.