Sedih, Anak Gajah yang Terpisah dari Induknya Itu Mati

 

 

Masih ingat dengan anak gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang ditemukan sakit setelah terpisah induknya di perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, 13 Januari lalu? Sedih. Meski telah dirawat intensif di Pusat Konservasi Gajah (PKG) Saree, Kabupaten Aceh Besar, nyawanya tidak terselamatkan.

Anak gajah jantan usia 16 bulan itu, mati pada 13 Juni 2017 siang. Semua usaha telah dilakukan untuk mengobati anak gajah malang tersebut, yang saat ditemukan kekurangan nutrisi dan dehidrasi.

“Kami telah memberikan yang terbaik, bahkan dokter dan mahout tidak pernah jauh. Kami telah berusaha sebaik mungkin,” terang Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo, kemarin.

 

Baca: Usia Belum Setahun, Anak Gajah Sumatera Ini Hidup Sebatang Kara

 

Sapto mengatakan, BKSDA Aceh bersama tim dokter dari FKH Unsyiah dan Vesswic telah berusaha maksimal. Kesehatannya menurun seminggu sebelum kematiannya, akibat depresi yang menyebabkan selera makan tidak stabil.

“Anak gajah ini sudah lima bulan dalam perawatan tim Pusat Konservasi Gajah. Depresi membuat selera makannya turun dan beberapa kali diare. Hasil nekropsi menunjukkan ada luka infeksi pada usunya,” sebut Sapto yang telah melaporkan kejadian tersebut ke KLHK di Jakarta.

Saat anak gajah tersebut ditemukan terpisah dari induknya, drh. Rosa, dokter hewan di PKG Saree, mengatakan, anak gajah tersebut harus mendapatkan perawatan intensif. Kekurangan nutrisi dan stres adalah permasalahan seriusnya.

“Berat badannya hanya 350 kilogram, seharusnya 500 kilogram.”

Selain itu, sambung Rosa, anak gajah ini juga masih menyusu pada induknya, termasuk belajar makan. ASI merupakan makanan utamanya. “Merawat anak gajah jantan yang terpisah dari induknya juga tidak mudah, karena dia stres, mengganggu selera makannya.”

Kondisi yang belum stabil berpengaruh pada ketahanan tubunya; mudah terserang penyakit, termasuk tulangnya yang rentan karena tidak ada ASI. “Anak gajah minum ASI hingga dua tahun. Seperti manusia, gajah yang mendapatkan ASI dari induknya, ketahanan tubuhnya lebih kuat,” tuturnya.

 

Anak gajah sumatera ini, saat ditemukan pertama kali kondisinya lemah, dehidrasi dan kekurangan nutrisi. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Nasib yang terancam

Kerusakan habitat akibat pembukaan lahan untuk perrkebunan dan perburuan menyebabkan populasi satwa berbelalai ini semakin terancam.

“Sebenarnya, kerusakan habitat gajah hampir terjadi di seluruh Pulau Sumatera. Provinsi Aceh merupakan daerah yang masih banyak memiliki gajah liar, tapi kondisinya sangat tidak aman karena sebagian besar habitatnya di luar kawasan konservasi seperti di areal penggunaan lain maupun hutan industri,” sebut Sapto.

Sapto juga mengatakan, konflik antara satwa liar khususnya gajah dengan manusia di Aceh tidak akan berakhir jika habitat satwa dilindungi tersebut dirusak. Seperti kegiatan pertambangan, perkebunan, atau pembangunan jalan.

Menggiring gajah liar dari satu tempat ke tempat lain, bukan solusi yang tepat. Kegiatan ini hanya memindahkan konflik dari satu tempat ke tempat lain. “Hal yang harus dilakukan adalah memastikan habitat gajah tidak diganggu.”

Sapto menambahkan, daerah-daerah yang rawan terjadi konflik, harus berpikir mencari solusi dengan merubah pola tanaman. Jangan menanam tanaman yang disukai gajah, seperti kelapa sawit, pinang, jagung, dan lainnya.

“Banyak tanaman lain yang bernilai tinggi tapi tidak disukai gajah. Masyarakat harus diajak membudidayakan tanaman tersebut,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,