Mendorong Implementasi Rencana Aksi Nasional Konservasi Penyu

Pada 2017 ini, Turtle Conservation and Education Center (TCEC) Serangan, Denpasar, Bali melakukan relokasi 93 sarang dengan jumlah telur 9306 butir. Sarang peneluran penyu ini berasal dari sejumlah kabupaten seperti Badung, Kota Denpasar, Gianyar, dan Klungkung.

Made Sukanta, Direktur TCEC Serangan menyebut ada sejumlah faktor yg menyebabkan kepunahan penyu laut bisa terjadi. Perdagangan ilegal, rusaknya habitat peneluran akibat aktivitas manusia seperti kegiatan wisata, pembangunan di daerah pesisir, juga abrasi pantai. Berikutnya dari aktivitas perikanan seperti penggunaan trawl, limbah minyak kapal dan jaring nelayan serta penggunaan mata pancing yang tidak sesuai.

“Kami berusaha untuk meminimalisir faktor pertama dan kedua dengan program penyelamatan penyu hasil sitaan kepolisian dan dengan program relokasi sarang penyu ke tempat yang lebih aman dan terkontrol,” jelas pria ini. Jika telur-telur tersebut dibiarkan di pantai, maka keselamatan hidup dari telur penyu terancam.

 

 

Ancamannya bisa dari hewan liar, kenaikan muka air laut yg menyebabkan telur penyu menjadi gagal menetas, dan masih maraknya pencurian terhadap telur penyu. Program relokasi sarang penyu alami ini ke sarang semi-alami.

Kepala Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Suko Wardono mengatakan pihaknya mulai melakukan pembinaan secara intensif kepada kelompok masyarakat pelestari dan pelaku konservasi penyu di wilayah Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Untuk melaksanakan amanat Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 526 Tahun 2016 tentang pelaksanaan perlindungan penyu, telur, bagian tubuh dan/atau produk turunannya.

Tiga isu utama implementasi pengelolaan konservasi penyu, mengacu pada Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Penyu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) adalah pengurangan perdagangan ilegal dan pengurangan konsumsi ilegal, proteksi habitat peneluran penyu, dan stabilnya populasi 6 spesies penyu yang ada di Indonesia.

Hal ini didiskusikan dalam sebuah kunjungan kerja oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Brahmantya Satyamurti Poerwadi bersama Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Viva Yoga Mauladi di TCEC Serangan, Balipada Jumat (16/06/2017).

Dalam siaran pers BPSPL Denpasar disebutkan diskusi ini memperkuat pengelolaan konservasi penyu oleh KKP ini dipandu Dr. drh. Windia Adnyana, peneliti penyu dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana dan Suko Wardono.

“Implementasi RAN Penyu membutuhkan dukungan dan mandat yang jelas oleh Undang-Undang, dimana saat ini ketidakjelasan tersebut membutuhkan penyempurnaan pengelolaan sehingga akan berdampak positif bagi penyu dan masyarakat,” ujar Brahmantya.

 

Sarang-sarang sem alami di TCEC Serangan termasuk hasil relokasi dari lokasi-lokasi lain untuk memperpanjang kemungkinan menetas dan dilepaskan karena ancaman lingkungan. Foto: BPSPL Denpasar

 

Ketidakjelasan dukungan peraturan perundang-undangan yang ada dapat merugikan upaya pelaksanaan strategi, sebagai contoh masih maraknya perdagangan ilegal dan konsumsi ilegal penyu di wilayah Bali dan Nusa Tenggara.

Brahmantya menambahkan pengelolaan habitat dan proteksi habitat penyu juga membawa manfaat bagi pariwisata di Bali. “Inisiatif kelompok masyarakat pelestari penyu dalam melaksanakan konservasi penyu harus terus didampingi oleh Pemerintah. TCEC misalnya sebagai salah satu lokasi edukasi, banyak wisatawan membantu dan melihat langsung perawatan penyu maupun tukik,” katanya.

Hal senada disampaikan Viva Yoga Mauladi. “Inisiatif kelompok masyarakat dalam pengelolaan konservasi penyu harus mendapat pendampingan karena pengelolaan penyu harus mengacu pada prinsip kesejahteraan hewan”, tambah Viva.

Selama berada di TCEC Serangan mereka melihat kolam perawatan penyu-penyu yang sakit atau sedang diselamatkan. Penyu-penyu ini menjadi barang bukti sitaan perdagangan atau pemanfaatan ilegal. Selain itu ada juga penyu untuk tujuan penelitian dan pemanfaatan ritual keagamaan.

Brahmantya dan Viva Yoga juga melakukan pelepasliaran 2 ekor penyu hijau dalam kondisi sehat di Pura Campuhan Windhu Segara, Pantai Padang Galak, Denpasar. Penyu-penyu tersebut telah menjalani masa perawatan oleh tim kedokteran hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

Made Sukanta, Direktur TCEC Serangan menjelaskan kedua penyu tersebut sudah menjalani perawatan. Keduanya ditemukan oleh Kepolisian Polda Bali dalam operasi penangkapan jaringan perdagangan ilegal.

Perdagangan penyu di Bali yang banyak terekspos adalah yang verbal seperti pengangkutan dan pengolahannya. Sementara ada banyak usaha-usaha wisata dengan klaim konservasi menjadi objek wisata yang perlu diverifikasi agar warga mendapat pengetahuan yang benar bagaimana prinsip konservasi dijalankan.

 

KKP dan DPR sosialisasi UU Kelautan di Universitas Udayana. Foto: BPSPL Denpasar

 

Sosialisasi UU Kelautan

Usai acara di Serangan dan Padanggalak, tim KKP dan DPR ini melanjutkan kegiatan ke tempat lain untuk sosialisasi Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan di Gedung Pasca Sarjana, Universitas Udayana Bali. BPSPL Denpasar mencatat, sosialisasi UU Kelautan menuai banyak masukan dan tanggapan dari komponen yang hadir.

Viva Yoga memaparkan kebijakan maritim Indonesia. Negara Maritim adalah negara yang mampu memanfaatkan laut, walau negara tersebut mungkin tidak punya laut tetapi mempunyai teknologi, ilmu pengetahuan, peralatan dan lain-lain untuk mengelola dan memanfaatkan laut tersebut, baik ruangya maupun kekayaan alamnya dan letaknya yang strategis.

Kepentingan negara-negara luar kawasan atas wilayah perairan asia tenggara menjadi perhatian. Kepentingan utama bagi negara-negara luar kawasan terutama Cina (Tiongkok), Jepang, dan Amerika Serikat, adalah kepastian akses dan atau ketersediaan sumberdaya.

Kesimpulannya adalah untuk menuju poros maritim, terlebih dahulu Indonesia harus berupaya dan memperkuat statusnya ke arah negara maritim. Untuk itu Indonesia harus mampu memanfaatkan semua unsur kelautan di sekelilingnya untuk kepentingan nasional

Dukungan DPR menurutnya terlihat di pengalokasian anggaran. Ada peningkatan yang cukup tajam dilihat dari tahun 2007 sebesar Rp3,3 Triliun, ke tahun 2015 sebesar Rp10 Triliun dan terakhir tahun 2016 sebesar Rp11 Triliun.

“Pertanyaannya adalah apakah peningkatan anggaran berimbas terhadap produksi perikanan di Indonesia dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat?” kata Viva.

Berdasarkan UU 23/2014, kewenangan kini bergulir ke daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.

Hal ini menarik kewenangan kabupaten/kota ke provinsi dan proporsi dana ke daerah akan terkonsentrasi pada DAK dan transfer ke daerah.

Menyikapi sejumlah regulasi yang memantik perdebatan seperti Permen KP No. 56/2014 tentang Moratorium Perizinan Penangkapan Ikan; No. 57/2014 tentang Pelarangan Transhipment; No. 1/2015 tentang larangan menangkap kepiting, lobster dan rajungan ukuran tertentu; No. 2/2015 tentang larangan penggunaan jaring pukat tarik dan pukat hela, Viva menyampaikan sejumlah catatan.

Pertama, setiap daerah memiliki kekhasan, misalnya Jawa Tengah yang banyak nelayan Pantura menangkap ikan dengan cantrang, payang, dogol dan alat tangkap lain yang masuk dalam pelarangan Permen KP No. 2/2015.

Pelarangan menyebabkan keresahan di kalangan nelayan, karena menyebabkan nelayan menganggur, menurunnya pendapatan, dan menyumbangkan peningkatan angka kriminalitas. Menurutnya pemerintah harus memberikan ruang bagi daerah, terutama provinsi, untuk menentukan kebijakan dalam merespons kebijakan pusat.

Sejumlah pembahasan dalam UU tentang Kelautan ini misalnya dalam pasal 49 disebutkan setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap yang tidak memiliki izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

DIskusi lain misalnya menyoroti belum adanya mandat kewenangan pengelolaan spesies ikan (perairan) dan pentingnya mempercepat proses penetapan Rancangan Peraturan Daerah Propinsi Bali tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Perda ini akan memberikan dasar bagi perijinan lokasi dan perijinan pengelolaan bagi seluruh aktivitas di perairan laut yang menetap.

Ada juga permohonan bantuan Pokmaswas Yasa Segara Bengiat Nusa Dua Badung dalam pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan seperti terumbu karang dan sarang peneluran alami penyu di wilayah Nusa Dua.

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,