Tarian Pohon Kehidupan untuk Lingkungan

 

 

Rambut memutih. Kerut di wajah kian kentara. Meskipun begitu, sang maestro tari dari Padepokan Lemah Putih,  Suprapto Suryodarmo, tampak gesit dan lincah menari. Sore itu, badannya meliuk-liuk, merunduk, sesekali berlari. Dalam genggaman tangan ada setangkai daun pisang dikibar-kibarkan laksana panji.

“Saya senang (daun pisang) seperti kepet (tipas), itu melambangkan semangat tumbuh,” kata Prapto, panggilan akrabnya.

Senin, 5 Juni lalu itu beberapa komunitas seniman, dan warga desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Klaten,  menyelenggarakan peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Tempat acara di kompleks Candi Plaosan Lor, berjarak sekitar 2,5 km dari Candi Prambanan.

Sebelumnya, beberapa warga Desa Bugisan menampilkan musik gojek lesung di panggung. Dulu, musik yang dimainkan dengan cara memukulkan alu atau alat penumbuk padi ke lesung ini biasa dimainkan selepas panen.

Seiring pemakaian mesin dalam pengolahan hasil tanam, gojek lesung makin langka karena petani tak pakai lagi lesung untuk memisahkan padi dari gabah. Lesung dan alu akhirnya makin terpisah dari kehidupan petani.

Waktu beranjak petang. Candi Plaosan Lor makin syahdu diterangi matahari di batas cakrawala. Kali ini giliran John Edward Jacobs dari Inggris dan dua rekan membawakan gending Jawa Ketawang. Puspawarna di panggung. Mereka tak memakai alat musik gamelan, namun lewat terompet, cello, dan biola. Irama gamelan bersahaja yang kaya makna itu kali ini mendapat sentuhan alat musik barat.

 

Bibit pohon 

Prosesi peringatan dimulai dengan tarian Merti Bumi mengambil tempat di Kompleks Candi Plaosan Lor. Beberapa penari membawa bibit pohon, menari lemah gemulai di salah satu bangunan candi yang menyerupai panggung. Iringan suling dan tembang menemani. Ada wangi dupa menambah mistis suasana.

Bibit-bibit tanaman lalu dibawa ke area upacara didahului penampilan Prapto lewat tarian Umbul Donga Kalpataru.

Kalpataru adalah pohon kehidupan di relief Candi Prambanan, melambangkan pohon yang banyak memberi berkah untuk manusia.

Heru Nugroho, Kepala Desa Bugisan mengatakan, pohon-pohon itu akan dibagikan ke warga sekitar Bugisan untuk penghijauan lingkungan.

“Ada 1.000 bibit pohon perindang dan buah-buahan, seperti pohon tanjung, mahoni, munggur, klengkeng, dan jambu,” katanya.

Sebelum diserahkan kepada warga, tokoh agama di Klaten mendoakan bibit-bibit pohon itu. Harapannya, lingkungan asri mengundang minat wisatawan datang ke desanya.

 

Suprato Suryodarmo menari dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, dengan membawa daun pisang. Foto: Nuswantoro

 

 

Tarian pohon kehidupan

Prapto telah melalang buana ke mancanegara untuk pementasan karya tari dan workshop. Kepada Mongabay, dia menjelaskan, alasan mengapa mengakrabi candi, lokasi dari sebagian pementasan karya tari, seperti yang peringatan Hari Lingkungan Hidup itu.

Candi, katanya,  mengandung banyak pengajaran dan gagasan tentang alam dan kehidupan.

“Candi juga punya kekuatan karena ada kalpataru. Ada garuda, kinara kinari, sapi itu di relief candi,” katanya. “Dari sana datang gagasan mengembangkan ide tarian pohon kehidupan.”

Selain dari ISI, SMKI, pertunjukkan juga melibatkan seniman mancanegara seperti Inggris, Amerika, Jerman, Polandia.

Mereka, katanya, tergerak karena ingin menghayati nilai-nilai tradisi maupun modern terkait alam (lingkungan).

Dalam tarian itu, Prapto berpasangan dengan penari perempuan. “Penari perempuan itu mengambil inspirasi dari Lengger. Lengger sebenarnya tarian yang menghubungkan Tuhan dengan alam, mewujud dalam nilai-nilai kesuburan bagi desa.”

Sementara John Jacobs, doktor musik dari University of York Inggris yang mendalami jazz dan jatuh cinta dengan gamelan itu berujar, membawakan Ketawang Puspawarna karena menilai tembang itu tepat dengan tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

 

Menyatukan perbedaan

Dalam sambutan yang dibacakan Tri Hartono, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid menuliskan, dalam dunia yang mementingkan kecepatan, irama seolah diatur dorongan mempercepat penumpukan kekayaan material.

“Nyaris semua aspek hidup lain dikorbankan, termasuk alam dan lingkungan. Karena desakan ke percepatan ekonomi itu irama hidup kita tak lagi singkron dengan alam. Manusia jadi terasing, seperti anak hilang di alam sendiri.”

“Terhadap alam manusia modern menempatkan diri tak lagi sebagai anak ibu bumi, tetapi sebagai juru hitung yang beorientasi pada penarikan laba dari sumber alam.”

Dia pun mengapresiasi usaha Padepokan Lemah Putih, Work Art Garden, warga Desa Bugisan, dan Dharma Nature Time untuk mengorganisasi doa lintas agama dan penyerahan bibit pohon untuk masyarakat di sekitar candi dan Plaosan Lor itu.

Dengan mengambil tempat pada situs abad ke-9 ini, katanya, seperti hendak menelusuri kembali riwayat hubungan masyarakat dengan alam.

“Kembali ke masa sebelum sastra babad era sastra Kakawin, di mana hutan, gunung, dan bentangan alam adalah tempat bersemayam Sang Hyang Ilahi. Di situ ada hubungan yang sangat erat alam dan spiritualitas. Bertemu dengan alam berarti bertemu Ilahi.“

Hari Untoro, staf ahli Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyambut baik langkah seniman Prapto mengingat upaya tanpa lelah menghidupkan candi lewat sentuhan tarian.

Menurut dia, candi Buddha dan Hindu melambangkan cinta kasih yang tak membedakan satu dan yang lain.

Candi Plaosan adalah candi Buddha, terbangun masa pemerintahan Hindu, Sri Kahulunan, wangsa Syailendra. Suaminya, Rakai Pikatan, beragama Buddha dari wangsa Syanjaya.

“Perbedaan bisa terlihat, satu dari dinasti Syailendra, satu dari dinasti Syanjaya. Dua-duanya bisa menyatukan karena cinta kasih.”

 

Petani berkebun dengan latar belakang Candi Plaosan Lor. Foto: Nuswantoro

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,