Yuk, Sama-sama Awasi Aktivitas Penangkapan Ikan yang Merusak

Ajakan untuk memerangi perikanan ilegal atau illegal, unreported, unregulated (IUU) Fishing terus dikampanyekan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hingga kini. Walaupun kampanye tersebut sudah dilakukan sejak penghujung 2014 saat Susi Pudjiastuti resmi dilantik sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, namun praktik ilegal tersebut masih terus saja terjadi.

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Eko Djalmo Asmadi di Jakarta belum lama ini mengatakan, persoalan IUUF mengakibatkan munculnya perikanan yang tidak bertanggung jawab. Di antaranya, adalah penangkapan ikan dengan cara penangkapan yang merusak (destructive fishing).

Menurut Eko, meski sejak 2014 moratorium eks kapal asing sudah diberlakukan dan pemberantasan IUUF dilakukan secara bersamaan, namun faktanya hingga saat ini aksi tidak terpuji tersebut masih ada di sejumlah wilayah perairan Indonesia. Dari IUUF, dia menyoroti destructive fishing yang hingga kini masih ada dan dilakukan oleh nelayan Indonesia.

 

 

“Kalau dulu itu dilakukan oleh kapal asing, karena mereka tidak merasa memiliki sama laut kita. Nah, kalau sekarang destructive fishing itu dilakukan olen nelayan kita. Ini yang harus diwaspadai,” jelas dia.

Eko menyebut, karena dilakukan oleh warga lokal, pihaknya sulit mendeteksi aksi mereka saat menangkap ikan dengan cara merusak. Padahal, cara tersebut terbukti sudah merusak ekosistem laut yang ada di sekitar lokasi penangkapan.

“Kegiatan ini juga dapat menyebabkan kerugian yang besar terutama terhadap kelestarian ekosistem perairan yang ada,” tutur dia.

Untuk bisa melakukan penangkapan seperti itu, Eko menerangkan, nelayan biasanya akan menggunakan bahan peledak disertai bahan yang beracun. Bahan-bahan tersebut didapat dari toko-toko kimia yang ada di sekitar kampung mereka.

Dengan bahan-bahan tersebut, menurut Eko, menangkap ikan memang biasanya jauh lebih mudah dan dalam jumlah yang banyak. Tetapi, dampak yang ditimbulkan dari penggunaan bahan-bahan tersebut untuk diledakkan di laut, adalah merusak terumbu karang dan juga ekosistem di sekitarnya.

Setidaknya, kata Eko, dari hasil penelitian World Bank pada 1996, penggunaan bahan-bahan peledak untuk destructive fishing menunjukkan akibat adanya kerusakan ekosistem. Dia menyebut, dengan penggunaan bahan peledak seberat 250 gram saja, itu akan menyebabkan luasan terumbu karang yang hancur mencapai 5,30 m2.

 

Kondisi ketertutupan terumbu karang di Kepulauan Spermonde, termasuk di sekitar Pulau Samalona yang berada di Kota Makassar menurun drastic dalam beberapa tahun terakhir. Kini jumlahnya diperkirakan tak lebih dari 19 persen. Salah satu penyebabnya karena perikanan yang merusak (destructive fishing) Foto: Wahyu Chandra

 

Modus Operandi

Lebih jauh Eko menjelaskan, dalam melaksanakan destructive fishing, para pelaku biasanya memilih untuk berkelompok yang terdiri sekitar 3-4 orang. Dengan jumlah tersebut, operasi bisa dilakukan lebih tertib dan rapi di lokasi penangkapan ikan yang menjadi target.

“Jadi, biasanya itu ada empat lapisan. Ada yang fokus sebagi peninjau lokasi, ada yang bawa bahan peledak, ada yang bertugas untuk meledakkan bom, dan ada yang bertugas untuk mengumpulkan ikan-ikan yang sudah mati karena dibom,” ungkap dia.

Dengan modus seperti itu, Eko menilai, pelaku sangat sulit dideteksi dan selalu berhasil melarikan diri jika terpantau oleh nelayan atau warga lokal. Akibatnya, lokasi perairan yang diledakkan bom dari waktu ke waktu terus bertambah jumlahnya.

“Misal, lapisan pertama sampai ketiga berhasil dilaksanakan, namun pas keempat itu ada nelayan yang melihatnya. Nah, orang keempat tersebut akan langsung kabur tanpa sempat mengambil ikan. Jadi, aman dan tidak tertangkap,” kata dia.

Sebenarnya, menurut Eko, pihaknya selalu berhasil menangkap para pelaku destructive fishing di perairan tertentu. Namun, karena modus yang digunakan rerata seperti itu, maka yang berhasil ditangkap biasanya bukan orangnya, melainkan hanya peralatannya saja.

“Sampai sekarang belum ada yang tertangkap, kecuali oleh Polisi. Itu juga cuma barang bukti pupuk dan dirigen alat peledak,” ungkap dia.

 

Pulau Rajuni sebagai salah satu pulau di Kawasan TN Takabonerate hingga kini masih marak terjadi destructive fishing. Kerap terjadi konflik antara nelayan dan petugas patroli TN Takabonerate. Foto: Wahyu Chandra

 

Impor dari Malaysia

Mengingat praktik destructive fishing di Indonesia sudah menjadi aktvitas terlarang, para pelaku biasanya akan kesulitan mendapatkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk melakukan peledakkan. Untuk itu, biasanya mereka mendatangkan pasokan langsung dari Malaysia, yakni dari Kinabalu dan Johor Bahru.

“Masuknya mereka rata-rata impor dari Malaysia. Terbagi dua, dari Johor dan Kinabalu. Titik tujuan ada paling banyak di Selayar, Makasar dan ke Bali. Seperti yang baru ditangkap Polair di Bali,” papar dia.

Akan tetapi, walau sudah diketahui jaringan pemasok bahan peledak, Eko Djalmo tidak menyebutkan bagaimana jaringan tersebut bisa dihentikan. Yang jelas, kata dia, jaringan pemasok tersebut sangat licin dan sulit untuk dideteksi keberadaannya.

Namun demikian, menurut Eko, pihaknya bersama aparat terkait berusaha melakukan penangkapan pada para pelaku destructive fishing. Caranya, dengan memantau langsung di lokasi perairan yang menjadi target.

“Cara tersebut biasanya karena sebelummnya ada laporan dari warga. Namun, karena modusnya sangat rapi dan tertata, walau ada info dari warga, tetap saja kesulitan untuk menangkap mereka langsung di laut,” sebut dia.

Direktur Pengawasan dan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Matheus Eko Rudianto mengatakan, pada 2016, PSDKP bersama Polair berhasil mengungkap 33 kasus penggunaan bom ikan. Namun, untuk tahun ini, pihaknya baru mengusut 5 kasus aktivitas peledakan di laut.

“Kejadiannya banyak, hanya yang bisa kami deteksi dan kita tangkap itu 33 kejadian. Kalau tahun ini sejak Januari sampai sekarang baru 5 kejadian,” ungkap dia.

 

Salah satu upaya pendekatan yang dilakukan dalam mengurangi praktek destructive fishing adalah melalui pencegahan dengan stakeholder approach, berupa edukasi dan penyadaran kepada masyarakat serta memberikan alternatif pendapatan kepada masyarakat berupa modal usaha. Salah satu usaha yang bisa dikembangkan adalah budidaya rumput laut. Foto: Wahyu Chandra

 

Rudi memaparkan, sejumlah wilayah yang diidentifikasi banyak aktivitas pengeboman ikan, adalah perairan Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), Belitung (Bangka Belitung), Lampung, Karimun Jawa (Jawa Tengah), Bawean (Jawa Timur), Kepulauan Spermonde dan Pangkep (Sulawesi Selatan), Flores Timur dan Alor (Nusa Tenggara Timur).

 

Peran Masyarakat

Mengingat aktivitas destructive fishing masih sulit untuk dideteksi, Eko Djalmo Asmadi menghimbau kepada masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir untuk bisa menginformasikan dugaan aktivitas tersebut kepada tim PSDKP yang ada di lokasi-masing.

“Dengan luasnya wilayah laut Indonesia, memang terdapat keterbatasan Pemerintah untuk mengawasi kegiatan destructive fishing. Untuk itu, peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk bersama-sama memerangi pelaku destructive fishing,” ungkap dia.

Sementara bagi Matheus Eko Rudianto, selain pengawasan yang dilakukan langsung oleh masyarakat, untuk bisa menghentikan aktivitas destructive fishing harus juga diilakukan dengna memetakan kerawanan wilayah perairan. Menurutnya, peta rawan yang sudah ada sekarang banyak dan sudah dimiliki kepolisian.

“Dengan demikian, polisi juga diharapkan bisa bekerja lebih baik lagi karena peta kerawanan sudah dipelajari,” tandas dia.

Berkaitan dengan penggunaan bahan peledak, Rudi menyebut, pihaknya tidak bisa melakukan penangkapan para pelaku di atas laut. Hal itu, karena untuk modus seperti itu yang berwenang untuk menangkapnya adalah aparat kepolisian.

“Jadi sulit sekali pelaksanaan, tidak pernah menangkap tangan orangnya tapi hanya peralatan saja. Lari ke perairan dangkal dan siap dengan kendaraan sampai darat,” jelas dia.

Di sisi lain, menurut Rudi, meskipun diawal dengan menggunakan kapal pengawas, para pelaku biasanya akan langsung kabur lebih dulu. Sementara, jika menggunakan pengawasan dari nelayan, itu juga sama karena mereka sudah terencana dengan baik.

Karena sulit untuk dideteksi, baik Eko maupun Rudi meminta masyarakat untuk bergerak aktif mengawasi aktivitas perikanan ilegal tersebut. Jika menemukan sedikit saja gerak gerik mencurigakan, keduanya menghimbau masyarakat untuk melaporkannya kepada petugas PSDKP ataupun aparat terkait di kampung masing-masing.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyebutkan bahwa setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, atau menggunakan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,