Anomali Cuaca Picu Serangan Hama

Siang sudah cukup terik, ketika dua petani tengah memanen padi di Desa Silado, Kecamatan Sumbang, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng). Seharusnya, pada saat panen, petani setempat berbahagia, namun tidak demikian dengan keduanya. Ternyata, hasil panen mereka merosot tajam, sebab terkena serangan hama wereng batang coklat (WBC). Hama tersebut cukup ganas, sehingga sebagian besar tanaman padi puso dan tidak dapat menghasilkan gabah.

“Meski kami tengah panen, tetapi tidak terlalu bergembira. Sebab, hasil panen merosot tajam. Dari luasan sekitar 2.500 meter persegi (m2) yang biasanya mampu menghasilkan 1,5 ton, kini maksimal hanya sekitar 7-8 kuintal. Atau merosot hingga 50%. Hal ini akibat terkena serangan wereng. Padahal, saya sudah berkali-kali melakukan penyemprotan dengan pestisida, namun hanya wereng masih tetap menyerang. Makanya, hasil panen jadi menurun drastis,”ungkap Kasiran (48) salah seorang petani di Desa Silado, Kecamatan Sumbang.

 

 

Tak hanya di Desa Silado, serangan WBC juga terjadi di Purbalingga. Di Desa Sokawera, Kecamatan Padamara, serangan juga terjadi. Sehingga petani juga mengalami nasib yang sama. Hasil panen turun, sementara ongkos produksi melonjak untuk membeli pestisida guna menyemprot WBC.

“Ongkos produksi jadi mahal, karena harus membeli pestisida untuk penyemprotan wereng. Meski sudah disemprot, tetapi produksi juga merosot tajam. Hasil panen hanya mencapai 1 ton, padahal biasanya saya mendapatkan 3 ton dari luasan sawah sekitar 0,5 ha,”jelas Yanto (45) petani di desa setempat.

Sedangkan petani di Desa Kedungrandu, Kecamatan Patikraja, Sukarso (65) mengungkapkan kalau sawah di tiga lokasi miliknya di kecamatan tersebut juga terserang WBC. “Karena adanya serangan, maka saya mendapat bantuan pestisida dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Dispertan KP). Tetapi saya semprot dua kali, ternyata hama wereng masih menyerang. Oleh karena itu, saya menyemprot dengan membeli pestisida yang lebih bagus. Ternyata sama saja. Saya jadi bingung, ternyata sebagian wereng sudah kebal terhadap pestisida,”ungkapnya.

Bahkan, dia telah mengeluarkan ongkos hingga Rp1,5 juta untuk areal sekitar 1 ha. Biaya tersebut sebetulnya tidak akan dikeluarkan kalau tidak ada serangan hama WBC. Namun, meski telah ada bantuan pestisida dari dinas, tetapi pada kenyataannya, dirinya harus membeli pestisida yang lebih tinggi dosisnya karena obat biasanya sudah tidak mempan.

 

Petani di Sumbang, Banyumas, Jateng memanen tanaman padi dengan produksi turun akibat serangan wereng batang coklat. Foto : L Darmawan

 

Kepala Dispetan KP Banyumas Widarso mengakui merebaknya serangan WBC di wilayah Banyumas. Bahkan, data terakhir menyebutkan kalau WBC telah menyerang 13 kecamatan di wilayah setempat. “Tahun ini, serangan WBC mengalami peningkatan. Dari pendataan yang kami lakukan, luasan serangan telah mencapai 500 ha yang tersebar di sekitar 13-14 kecamatan di Banyumas,” jelasnya.

Dikatakan oleh Widarso, serangan WBC salah satunya dipicu adanya perubahan cuaca. Seharusnya, pada Juni sudah memasuki musim kemarau, tetapi pada kenyataannya, sampai sekarang hujan masih terus berlangsung.

“Perubahan cuaca inilah yang memicu populasi WBC di areal persawahan di Banyumas. Kondisi saat sekarang, pada siang hari panas, tetapi kemudian hujan. Dengan cuaca seperti ini maka kelembaban jadi lebih tinggi. Anomali cuaca seperti itulah yang sesuai memicu cepatnya perkembangbiakan WBC. Akibatnya, populasi wereng semakin melonjak dan mengalahkan predator alami yang ada,”ungkapnya.

Dijelaskan oleh Widarso, dalam perhitungan musim tanam, April-September adalah sudah mulai kering. Namun, pada kenyataannya di Banyumas masih turun hujan. Di sisi lain, tahun sebelumnya ditandai dengan musim kemarau basah. Sehingga banyak petani memaksakan untuk menanam padi-padi-padi.

“Karena pola tanam yang tidak ada variasinya menyebabkan WBC terus berkembang, apalagi cuaca cocok bagi perkembangbiakan WBC. Inilah faktornya, mengapa WBC menyerang areal padi di 13-14 kecamatan di Banyumas,”ujarnya.

 

Para petani di Desa Sokawera, Kecamatan Padamara, Purbalingga, Jateng mengeluhkan hasil panen yang merosot akibat terserang wereng batang coklat di wilayah setempat. Foto : L Darmawan

 

Widarso mengakui, perubahan cuaca yang memicu pertumbuhan tinggi hama seperti WBC tidak diimbangi dengan upaya seperti yang dulu pernah dilakukan yakni pengendalian hama terpadu (PHT). “Padahal upaya PHT sangat penting, salah satunya adalah melakukan deteksi dini terhadap serangan hama. Contohnya adalah, petani yang datang ke sawah, seharusnya tidak hanya melihat hamparan tanaman padi, tetapi juga mengecek rumpun padinya. Nah, kalau memang musuh alami dari wereng seperti laba-laba dan capung masih ada, maka dibiarkan saja. Jika WBC lebih banyak, memang dibutuhkan penyemprotan dengan pestisida yang paling rendah dosisnya. Harapannya adalah pestisida tersebut tidak mematikan musuh alami wereng,” jelasnya.

Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan jika WBC sudah semakin resisten. Karena ternyata pestisida yang disemprotkan sudah tidak mampu mematikan WBC. “Jika sudah seperti ini, maka diperlukan upaya untuk memutus rantai hidup WBC. Caranya tidak lain adalah jangan memaksakan untuk menanam dengan pola padi-padi-padi, melainkan padi-padi-palawija. Dengan variasi tanaman, maka WBC akan kesulitan berkembang biak dan akhirnya mati. Di sisi lain, kami juga menganjurkan untuk memperbarui lingkungan dengan cara mengurangi penyemprotan dengan pestisida. Sebab, salah satu dampak yang ditimbulkan, pestisida ternyata juga berdampak buruk bagi musuh alami wereng,”ujarnya.

Secara terpisah, Kepala Dinas Pertanian (Dispertan) Purbalingga Lily Purwati mengakui kalau serangan WBC di kabupaten setempat juga mengalami peningkatan signifikan terutama mulai April lalu. Sebab, sejak April hingga Juni masih ada hujan, tetapi siang hari panas. Dengan kondisi cuaca semacam itu dan kelembaban tinggi, maka hal itu memicu naiknya populasi WBC. “Apalagi, penyebaran WBC sangat cepat, bisa mengikuti lampu kendaraan saat malam hari. Di Purbalingga, serangan telah mencapai sekitar 300 ha yang tersebar di sejumlah kecamatan dan yang paling parah adalah Kecamatan Padamara,”ungkap Lily.

Ia mengatakan WBC atau brown planthopper (Nilaparvata lugens) termasuk dalam ordo Homoptera. Perkembangbiakannya cukup cepat dan menyerang pada fase nimfa dan imago. Pada saat stadium nimfa berlangsung selama 30 hari sebelum masuk fase imago. Ketika fase imago inilah, imago betina mampu bertelur hingga 600. Dikatakan oleh Lily, WBC merupakan salah satu hama berbahaya pada tanaman padi karena menimbulkan kerusakan baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Kerusakan langsung terjadi karena hama ini mempunyai kemampuan mengisap cairan tanaman yang menyebabkan daun menguning, kering dan akhirnya mati. Serangan tidak langsungnya, karena WBC menjadi vektor virus kerdil hampa dan kerdil rumput,” ujarnya.

 

Petani memasukkan gabah hasil panen ke dalam karung. Foto : L Darmawan

 

Upaya untuk mengendalikan terus dilakukan, bahkan secara khusus Purbalingga telah mencanangkan gerakan pengendalian hama WBC. “Kami mengupayakan pengendalian serangan dengan melakukan pengamatan hama secata berkala, pencegahan melalui gerakan tanam serempak dan penanaman refugia atau tanaman pengendali hama. Langkah itu dilakukan sebagai bentuk antisipasi pada lahan yang belum terkena serangan. Jika sudah diserang, maka kami memberikan bantuan pestisida untuk penyemprotan. Tetapi, untuk ke depannya memang harus disiapkan langkah antisipasif yang lebih ramah lingkungan,” tandasnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,