Evakuasi Bukan Solusi Jangka Panjang Penyelamatan Orangutan

 

 

Kerusakan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) akibat perambahan, pembalakan, dan pembukaan lahan untuk perkebunan, tidak hanya membuat luas tutupan hutan di wilayah tersebut berkurang. Tetapi juga, merusak habitat satwa dilindungi yang memang hidup di sana. Puluhan orangutan sumatera, khususnya, telah merasakan pahitnya kehilangan tempat tinggal akibat kondisi buram itu.

Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) mencatat, dari 2015 hingga Juni 2017, jumlah orangutan sumatera yang dievakuasi ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) karena terisolir di sekitar perkebunan di KEL, sekitar 20 individu.

“Itu jumlah yang hanya dievakuasi OIC di Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Barat dan Kota Subulussalam, belum termasuk Kabupaten/Kota lain di Aceh. Dari jumlah tersebut, paling banyak orangutan yang harus dievakuasi berada di Kabupaten Aceh Selatan,” sebut Abdul Kadir Siregar, Koordinator Human Orangutan Conflict Response Unit (HOCRU) OIC Kabupaten Aceh Selatan, Aceh.

Abdul Kadir merincikan, pada 2015, OIC di Kabupaten Aceh Selatan dan Kabupaten Aceh Barat Daya, tim mengevakuasi tujuh individu orangutan dan menyita satu individu. Pada 2016, di Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Barat, dan Kota Subulussalam, juga mengevakuasi enam orangutan dan menyita tiga individu.

“Januari – Juni 2017, kami telah mengevakuasi tiga individu di Aceh Selatan. Dari 20 kasus tersebut, yang paling banyak terjadi di Aceh Selatan, yaitu 14 kasus yang 12 individunya berasal dari Kecamatan Bakongan,” sebut Abdul Kadir.

 

 

Orangutan sumatera betina ini dievakuasi dari pohon setinggi hampir 15 meter akibat terisolir. Evakuasi bukan solusi jangka panjang penyelatan orangutan. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah

 

Kamis, 15 Juni 2017, Mongabay Indonesia mengikuti langsung apa yang dinamakan evakuasi orangutan dan bagaimana penanganannya. Evakuasi satu individu orangutan betina usia 35 tahun yang dilakukan OIC di kebun masyarakat Desa Ujung Padang, Kecamatan Bakongan, Kabupaten Aceh Selatan. Sebagian besar hutan desa yang jaraknya sekitar satu jam perjalanan mobil dari Tapak Tuan, Ibu Kota Aceh Selatan, ini telah berubah menjadi kebun jagung dan sawit.

Proses evakuasi tidak mudah. Tim harus terlebih dahulu memantau pergerakan orangutan, sebelum perlengkapan seperti senapan, obat-obatan, dan pastinya jaring untuk menangkap orangutan agar tidak terjatuh ke tanah disiapsiagakan.

Proses evakuasi ini butuh waktu seharian. Tim pertama yang berada di lokasi sejak pagi, memantau pergerakan satwa liar tersebut, sementara tim kedua membawa segala perlengkapan.

Proses evakuasi juga harus melibatkan dokter hewan yang bertanggung jawab membuat takaran sesuai obat bius yang ditembakkan dengan senapan angin ke orangutan. Dokter ini juga terus memantau kondisi orangutan yang telah ditangkap agar kondisnya selalu stabil, akibat pengaruh obat bius maupun karena stres.

Untuk mengevakuasi orangutan, jarang yang sekali bius. Biasanya beberapa kali hingga orangutan tertidur dan terjatuh dari atas pohon. “Saat orangutan akan jatuh, tim harus menampung dengan jaring di bawahnya. Tujuannya, agar tidak terluka akibat terbentur tanah,” lanjut Abdul Kadir.

Tim evakuasi pastinya membutuhkan fisik dan stamina yang tangguh. Termasuk pula manjat pohon, jika orangutan yang bakal dievakuasi ternyata tertidur di tempat yang nyaman sehingga kemungkinan “jatuh” tidak mungkin.

“Setelah orangutan ditangkap, pekerjaan belum selesai. Tim harus menandunya dan berjalan paling dekat satu kilometer ke jalan yang bisa dilalui mobil. Karena, kandang besi tempat orangutan dimasukkan nanti, tidak mungkin diangkat dua orang.”

Bahkan, saat evakuasi ini, tim membawa orang menggunakan sepeda motor. “Kalau orangutan itu sadar sebelum waktunya, bahaya juga. Selain menyerang, tak jarang ia melukai dirinya sendiri,” tambah Abdul Kadir.

 

 

Tampak dokter hewan (atas) dari OIC menyiapkan dosis bius untuk orangutan yang akan dievakuasi. Tak selamanya evakuasi berjalan mulus, pastinya tim evakuasi melakukan itu semua dengan kesabaran dan ketangguhan stamina. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah

 

Evakuasi bukan segalanya

Direktur YOSL-OIC, Panut Hadisiswoyo menjelaskan, evakuasi orangutan yang terisolir di hutan yang telah berubah menjadi lahan perkebunan, bukan solusi jangka panjang. Konflik orangutan dengan masyarakat akan terus terjadi jika habitat primata ini, hutan, terus dirusak.

“Memindahkan orangutan sumatera dari satu tempat ke tempat lain, bahkan ke dalam hutan lindung atau konservasi sekalipun, hanyalah jalan keluar sementara. Untuk itu, tata guna lahan yang carut-marut harus diperbaiki dengan cara melihat bentang alam Leuser secara keseluruhan. Bukan parsial. Terlebih, memandangnya dari sudut pembangunan yang menguntungkan investor,” ujar Panut, ditemui di Medan, Sumatera Utara, Sabtu (17 Juni 2017).

Panut menjelaskan, saat ini orangutan baik yang berada di Aceh maupun Sumatera Utara, tidak hanya hidup di dalam kawasan konservasi, akan tetapi, habitat mereka juga berada di areal penggunaan lain, bahkan di wilayah hutan produksi terbatas.

“Orangutan tidak mungkin terus dievakuasi, selain sangat berisiko, juga akan memadatkan populasi yang ada di satu wilayah. Pada akhirnya, mereka juga akan turun ke hutan yang telah berubah menjadi areal perkebunan.”

 

 

Orangutan yang telah ditangkap, tak jarang harus ditandu sekitar satu kilometer perjalanan atau juga diangkat dengan kendaraan roda dua menuju kandang karantinanya yang telah disiapkan. Semua proses tersebut dilakukan hati-hati dan orang yang ahli di bidangnya. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah

 

Panut menambahkan, konversi kawasan hutan menjadi perkebunan harus dihentikan karena merupakan ancaman terbesar terhadap habitat orangutan. “Bila kita lihat seluruh tutupan hutan Pulau Sumatera sekarang, justru luasannya didominasi perkebunan sawit yang luasannya empat kali habitat orangutan. Areal perkebunan sawit saat ini diperkirakan sekitar empat juta hektare, di luar dari perkebunan lainnya.”

Terisolirnya orangutan di hutan yang telah beralih fungsi menjadi perkebunan, nyatanya dimanfaatkan para pemburu untuk menangkap atau membunuhnya. Ini dikarenakan, menangkap anak orangutan yang terperangkap di perkebunan, jauh lebih mudah daripada di hutan.

“Dua tahun terakhir, total 60 individu orangutan yang telah diselamatkan dari hutan yang telah berubah jadi kebun, maupun yang dipelihara masyarakat. Dari jumlah itu, delapan individu tidak dapat dilepasliarkan lagi karena cacat.”

Kami pun tidak ingin hanya me-rescue orangutan yang selanjutnya dikirim ke pusat rehabilitasi. Ini bukan tujuan utama konservasi. Persoalan jangka panjang yang harus kita pahami bersama adalah bagaimana hutan itu tetap terjaga selamanya.

“Pertahanan terakhir kehidupan orangutan sumatera adalah wilayah Sumatera paling utara, Aceh dan Sumatera Utara. Ingat, Kawasan Ekosistem Leuser yang membentang seluas 2,6 juta hektare adalah bentangan alam paling potensial untuk kehidupan orangutan, gajah, badak, dan harimau sumatera yang semua itu satwa liar kebanggaan Indonesia,” tandas Panut.

 

Peta Distribusi orangutan di Indonesia. Sumber: Forina.or.id

 

Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, sedangkan tiga kerabatnya yaitu gorila, simpanse, dan bonobo ada di Afrika. Diperkirakan, sekitar 20 ribu tahun lalu, orangutan tersebar di seluruh Asia Tenggara, dari ujung selatan Pulau Jawa hingga ujung utara Pegunungah Himalaya dan Tiongkok bagian selatan. Kini, 90 persen orangutan hanya ada di Indonesia yaitu di Sumatera dan Kalimantan, sementara sisanya ada di Sabah dan Sarawak, Malaysia.

Persebaran hidup orangutan makin menyempit, dikarenakan adanya kesamaan antara manusia dan orangutan yang menyukai tempat hidup yang serupa: dataran di sekitar daerah aliran sungai dan rawa gambut. Alih fungsi lahan yang dilakukan manusia untuk kegiatan ekonomi, budaya, dan sosial adalah menu utama yang membuat habitat orangutan tergerus.

Mengenai persebaran orangutan, para ahli primata sepakat, orangutan yang hidup di Sumatera atau Pongo abelii merupakan jenis berbeda dengan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus). Populasi orangutan sumatera terbesar ada di wilayah Leuser. Jumlahnya diperkirakan sekitar 6.500 individu. IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkan statusnya Kritis (CR/Critically Endangered) atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar.

Terkait berkurangnya luasan tutupan hutan KEL, berdasarkan pantauan Geographic Information System (GIS) Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA), Januari 2015 hingga April 2017, kerusakannya mencapai 22.021 hektare. Rinciannya, Januari – Desember 2015 (10.478 hektare), Januari – Desember 2016 (9.741 hektare), sedangkan Januari – April 2017 seluas 1.802 hektare.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,